Suku bunga acuan turun, MAMI nilai akan berdampak positif bagi obligasi
Jakarta (ANTARA) - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai, dunia saat ini tengah memasuki siklus pemangkasan suku bunga yang memiliki dampak positif terhadap instrumen obligasi.
Diketahui, Bank Sentral AS atau The Fed telah memangkas suku bunganya sebesar 50 bps menjadi 4,75-5,00 persen, sementara Bank Indonesia (BI) menurunkan BI-Rate 5 basis poin atau 0,25 persen ke level 6 persen.
Jika bercermin pada empat siklus pemangkasan suku bunga BI sebelumnya yang terjadi di 2011, 2016, 2019, dan 2020 secara rata-rata indeks BINDO mencatat kinerja positif 18 persen.
"Turunnya suku bunga cenderung berdampak langsung terhadap pasar obligasi karena hubungan yang erat antara suku bunga, imbal hasil obligasi, dan harga obligasi, karena instrumen obligasi diminati ketika suku bunga turun karena investor dapat ‘mengunci’ imbal hasil di level tinggi," kata Portfolio Manager, Fixed Income MAMI Laras Febriany dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat.
Menurut Laras, pada dasarnya Indonesia memiliki profil ekonomi yang menarik di antara negara berkembang lain, didukung oleh tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang stabil, inflasi rendah, tingkat utang negara rendah, kondisi politik stabil, dan tingkat imbal hasil obligasi yang tinggi.
Hal itu yang menjadikan daya tarik investor asing untuk masuk ke pasar obligasi Indonesia.
Langka bagi suatu negara berkembang memiliki profil yang cukup baik secara menyeluruh, karena biasanya ada saja masalah pada salah satu faktor tersebut.
“Dengan profil yang menarik itu, faktor kunci bagi investor adalah pada stabilitas nilai tukar rupiah, karena pelemahan nilai tukar akan menggerus potensi imbal hasil bagi investor asing, membuat obligasi Indonesia kurang menarik, dan pada akhirnya dapat membuat arus dana asing berbalik. Dimulainya siklus pemangkasan suku bunga The Fed diperkirakan dapat menjadi iklim yang suportif bagi Rupiah dan bisa menarik arus dana asing masuk ke pasar obligasi Indonesia lebih lanjut,” kata Laras pula.
Sebagai informasi, pasar obligasi sudah konsisten mencatat kinerja positif sejak periode Juli-Agustus, dan terlihat masih terus berlanjut.
Sementara itu, nilai tukar rupiah juga cenderung terus menguat, saat ini di kisaran Rp15.340 (per 18 September 2024), dan arus dana investor asing ke pasar obligasi pun meningkat.
Kemudian Laras menilai ke depannya, konsensus pasar memperkirakan BI akan bergerak lebih konservatif dibanding The Fed, dengan The Fed diperkirakan menurunkan suku bunga di kisaran 200 bps hingga akhir 2025, sementara BI di kisaran 100 bps di periode sama.
Di tengah banyaknya pilihan investasi di pasar modal saat ini, Laras melihat pasar obligasi masih memiliki peluang yang menarik. Obligasi menawarkan potensi capital gain dan elemen stabilitas bagi portofolio investor.
Kelas aset obligasi secara historis mencatat kinerja baik dalam periode pemangkasan suku bunga, sehingga dapat menjadi opsi bagi investor untuk mendapatkan potensi capital gain memasuki periode pemangkasan suku bunga global.
Di sisi lain, lanjut Laras, pasar tidak bergerak dalam garis lurus, selalu saja ada dinamikanya, oleh karena itu karakter obligasi yang defensif memberikan elemen stabilitas untuk menjaga keseimbangan portofolio investor.
“Reksa dana obligasi dapat menjadi opsi bagi investor untuk menangkap potensi di pasar obligasi. Dengan reksa dana obligasi investor dapat memiliki eksposure obligasi yang terdiversifikasi di berbagai tenor dan jenis obligasi, serta pengelolaan secara aktif yang dilakukan manajer investasi untuk menyesuaikan strategi portofolio dengan kondisi terkini," ujarnya lagi.
Baca juga: BI nyatakan ekonomi Indonesia tetap baik di tengah gejolak perekonomian dunia
Baca juga: BI sebut transaksi QRIS melonjak tajam hingga 226,54 persen
Diketahui, Bank Sentral AS atau The Fed telah memangkas suku bunganya sebesar 50 bps menjadi 4,75-5,00 persen, sementara Bank Indonesia (BI) menurunkan BI-Rate 5 basis poin atau 0,25 persen ke level 6 persen.
Jika bercermin pada empat siklus pemangkasan suku bunga BI sebelumnya yang terjadi di 2011, 2016, 2019, dan 2020 secara rata-rata indeks BINDO mencatat kinerja positif 18 persen.
"Turunnya suku bunga cenderung berdampak langsung terhadap pasar obligasi karena hubungan yang erat antara suku bunga, imbal hasil obligasi, dan harga obligasi, karena instrumen obligasi diminati ketika suku bunga turun karena investor dapat ‘mengunci’ imbal hasil di level tinggi," kata Portfolio Manager, Fixed Income MAMI Laras Febriany dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat.
Menurut Laras, pada dasarnya Indonesia memiliki profil ekonomi yang menarik di antara negara berkembang lain, didukung oleh tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang stabil, inflasi rendah, tingkat utang negara rendah, kondisi politik stabil, dan tingkat imbal hasil obligasi yang tinggi.
Hal itu yang menjadikan daya tarik investor asing untuk masuk ke pasar obligasi Indonesia.
Langka bagi suatu negara berkembang memiliki profil yang cukup baik secara menyeluruh, karena biasanya ada saja masalah pada salah satu faktor tersebut.
“Dengan profil yang menarik itu, faktor kunci bagi investor adalah pada stabilitas nilai tukar rupiah, karena pelemahan nilai tukar akan menggerus potensi imbal hasil bagi investor asing, membuat obligasi Indonesia kurang menarik, dan pada akhirnya dapat membuat arus dana asing berbalik. Dimulainya siklus pemangkasan suku bunga The Fed diperkirakan dapat menjadi iklim yang suportif bagi Rupiah dan bisa menarik arus dana asing masuk ke pasar obligasi Indonesia lebih lanjut,” kata Laras pula.
Sebagai informasi, pasar obligasi sudah konsisten mencatat kinerja positif sejak periode Juli-Agustus, dan terlihat masih terus berlanjut.
Sementara itu, nilai tukar rupiah juga cenderung terus menguat, saat ini di kisaran Rp15.340 (per 18 September 2024), dan arus dana investor asing ke pasar obligasi pun meningkat.
Kemudian Laras menilai ke depannya, konsensus pasar memperkirakan BI akan bergerak lebih konservatif dibanding The Fed, dengan The Fed diperkirakan menurunkan suku bunga di kisaran 200 bps hingga akhir 2025, sementara BI di kisaran 100 bps di periode sama.
Di tengah banyaknya pilihan investasi di pasar modal saat ini, Laras melihat pasar obligasi masih memiliki peluang yang menarik. Obligasi menawarkan potensi capital gain dan elemen stabilitas bagi portofolio investor.
Kelas aset obligasi secara historis mencatat kinerja baik dalam periode pemangkasan suku bunga, sehingga dapat menjadi opsi bagi investor untuk mendapatkan potensi capital gain memasuki periode pemangkasan suku bunga global.
Di sisi lain, lanjut Laras, pasar tidak bergerak dalam garis lurus, selalu saja ada dinamikanya, oleh karena itu karakter obligasi yang defensif memberikan elemen stabilitas untuk menjaga keseimbangan portofolio investor.
“Reksa dana obligasi dapat menjadi opsi bagi investor untuk menangkap potensi di pasar obligasi. Dengan reksa dana obligasi investor dapat memiliki eksposure obligasi yang terdiversifikasi di berbagai tenor dan jenis obligasi, serta pengelolaan secara aktif yang dilakukan manajer investasi untuk menyesuaikan strategi portofolio dengan kondisi terkini," ujarnya lagi.
Baca juga: BI nyatakan ekonomi Indonesia tetap baik di tengah gejolak perekonomian dunia
Baca juga: BI sebut transaksi QRIS melonjak tajam hingga 226,54 persen