Pekanbaru (ANTARA) - Vandalisme adalah tindakan merusak, mencoret-coret, atau menghancurkan fasilitas umum, bangunan, benda seni, atau barang milik orang lain tanpa izin, biasanya dilakukan tanpa tujuan yang jelas selain mengekspresikan emosi, protes, atau sekadar iseng.
Perbuatan perusakan terhadap barang milik orang lain pada hakikatnya merupakan tindakan yang dicela, karena bertentangan dengan ajaran agama, nilai sosial, maupun hukum yang berlaku. Dalam perspektif agama, khususnya Islam, setiap manusia diajarkan untuk menjaga amanah dan menghormati hak orang lain. Merusak atau menghancurkan barang yang bukan miliknya termasuk perbuatan zalim dan bentuk fasad yang jelas-jelas dilarang. Agama manapun di dunia menentang vandalisme sebagai perbuatan terkutuk yang merusak tatanan kehidupan dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Setiap ajaran agama mengajarkan penghormatan terhadap hak orang lain, menjaga kedamaian, dan menolak segala bentuk tindakan yang menimbulkan kerugian serta keresahan di tengah masyarakat.
Perbuatan yang mencederai nilai agama tidak sekadar merusak secara fisik, melainkan juga merusak secara moral, spiritual, dan sosial. Jika merusak barang atau fasilitas dapat terlihat secara kasat mata, maka mencederai nilai agama jauh lebih dalam karena menyentuh ranah keyakinan, etika, dan hubungan antar manusia. Tindakan seperti berbohong, menipu, berbuat zalim, menyebarkan kebencian, serta melanggar amanah pada hakikatnya adalah bentuk perusakan yang tidak kasat mata, namun dampaknya lebih luas karena menumbuhkan keretakan sosial, memicu permusuhan, dan mengikis keimanan. Dalam perspektif agama, merusak nilai kebenaran sama dengan merusak pondasi kehidupan.
Vandalisme merupakan penistaan terhadap adab dan budaya berbangsa dan bernegara, di mana setiap tindakan perusakan yang dilakukan tidak hanya merugikan secara material, tetapi juga melukai nilai moral, etika, dan peradaban yang telah dibangun bersama. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong, penghormatan terhadap hak-hak personal maupun orang lain.
Penjarahan terhadap barang milik orang lain tidak hanya menimbulkan kerugian secara materi, tetapi juga dapat melukai kejiwaan. Bagi korban, kehilangan harta benda akibat dijarah sering kali meninggalkan trauma mendalam, menimbulkan rasa takut, cemas, dan hilangnya rasa aman dalam kehidupannya. Kepercayaan terhadap lingkungan sosial pun terkikis, karena tindakan penjarahan mencerminkan pengkhianatan terhadap nilai kebersamaan dan solidaritas yang seharusnya dijaga.
Traumatik yang dialami korban adalah catatan psikologis yang membutuhkan penanganan serius, karena pengalaman kehilangan akibat penjarahan atau peristiwa serupa meninggalkan bekas pada alam bawah sadar. Dalam perspektif psikologi, trauma pasca peristiwa itu bisa berkembang menjadi Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), di mana korban mengalami kilas balik (flashback), mimpi buruk, rasa cemas yang berlebihan, bahkan gangguan tidur.
Beban psikologis yang dialami korban tidak berhenti pada dirinya sendiri, melainkan dapat bergeser ke keluarga, bahkan ke lingkup komunitas. Dalam psikologi keluarga, trauma individu sering kali menimbulkan secondary trauma, yakni kondisi di mana anggota keluarga ikut merasakan tekanan emosional karena melihat penderitaan orang yang mereka cintai. Rasa cemas berlebihan, kekhawatiran terus-menerus, bahkan ketegangan dalam relasi keluarga bisa muncul akibat situasi ini. Keluarga yang seharusnya menjadi ruang pemulihan justru ikut tertekan, karena energi emosional terkuras dalam menghadapi perubahan perilaku korban, seperti mudah marah, menarik diri, atau tidak mampu berfungsi normal dalam keseharian.
Di samping meninggalkan luka traumatik yang mendalam, peristiwa penjarahan atau vandalisme juga berpotensi mengikis kesadaran diri korban maupun pelaku, termasuk nilai luhur seperti empati. Trauma berat sering kali membuat korban terjebak pada mekanisme bertahan hidup (survival mode), sehingga energi mentalnya habis untuk melawan rasa takut, cemas, dan kehilangan. Dalam keadaan demikian, kapasitas untuk merasakan, memahami, dan memberi respon empatik kepada orang lain bisa menurun drastis. Korban dapat menjadi lebih sensitif, mudah curiga, atau bahkan dingin terhadap lingkungan sosialnya.
Perbuatan vandalisme tidak dapat dipandang sebatas tindakan perusakan barang, melainkan harus dibaca sebagai gejala psikologi sosial yang kompleks. Dalam perspektif psikologi sosial, vandalisme sering muncul sebagai bentuk ekspresi kemarahan, frustrasi, atau protes terhadap sistem sosial yang dianggap tidak adil. Pelaku kerap mencari pengakuan melalui cara destruktif karena merasa tidak memiliki saluran positif untuk menyalurkan ketidakpuasan. Hal ini menunjukkan adanya dinamika antara individu dengan kelompoknya, di mana tekanan sosial dapat mendorong seseorang bertindak di luar norma.
Secara psikologi hukum, perilaku penjarahan dipahami sebagai tindakan kriminal yang merugikan orang lain sekaligus fenomena kejiwaan yang berkaitan erat dengan persepsi individu terhadap hukum, otoritas, dan norma sosial. Penjarahan sering terjadi dalam situasi krisis, ketika kontrol sosial melemah dan persepsi terhadap hukum mengalami distorsi. Dalam kondisi seperti itu, individu atau kelompok merasa hukum kehilangan peran sebagai pelindung, sehingga muncul keyakinan bahwa aturan tidak lagi relevan. Persepsi tersebut menumbuhkan legitimasi psikologis bagi individu untuk melakukan pelanggaran.
Dengan demikian, vandalisme adalah perbuatan yang harus diwaspadai karena merusak tatanan sosial, melemahkan nilai budaya, dan mencederai moralitas beragama. Semua elemen masyarakat harus terlibat secara masif, baik dari keluarga, lembaga pendidikan, tokoh agama, hingga aparat penegak hukum. Keluarga berperan menanamkan nilai moral dan rasa tanggung jawab sejak dini, sekolah/madrasah menguatkan pendidikan karakter dan disiplin sosial, tokoh agama meneguhkan nilai spiritualitas sebagai benteng moral, sementara aparat penegak hukum memastikan adanya sanksi yang tegas untuk menciptakan efek jera.
Allahu a'lam bisshowab.