Selatpanjang (ANTARA) - Angin sepoi bertiup lembut di bawah rindang pohon ketapang. Karpet tipis terbentang sederhana, menjadi alas bagi obrolan siang itu. Tak ada meja bundar, tak ada ruangan ber-AC. Hanya permukaan air berwarna kehitaman, udara segar yang memeluk kulit, dan semangat kolektif yang mengalir deras.
Di tepi Telaga Air Merah, sekumpulan wartawan, perwakilan PT Energi Mega Persada (EMP), PT Imbang Tata Alam (ITA), dan para penggiat wisata duduk melingkar. Percakapan mereka bukan sekadar basa-basi, melainkan refleksi tentang bagaimana sebuah danau yang dulu terabaikan kini menjelma menjadi nadi ekonomi Desa Tanjung, Kecamatan Tebing tinggi Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti.
Dari waduk terlupakan ke destinasi harapan
Perjalanan menuju telaga tidaklah singkat. Dari Kota Selat panjang, butuh sekitar 46 menit menempuh jarak 17 kilometer dengan sepeda motor. Namun begitu sampai, panorama alam yang tenang membuat letih perjalanan seolah sirna.
Telaga ini awalnya hanyalah waduk milik PDAM ketika Meranti masih bagian dari Kabupaten Bengkalis. Sejak 2010, waduk itu terbengkalai, ditelan semak dan cerita-cerita angker. Fungsinya hilang, manfaatnya nihil.
Barulah pada 2018, sekelompok pemuda desa menyalakan kembali nyala harapan. Mereka membersihkan kawasan itu dengan tangan sendiri, tanpa investor, tanpa jaminan sukses.
“Inisiatif awalnya hanya patungan pemuda desa. Kami bergotong royong membersihkan kawasan yang penuh rumput dan semak,” kenang Selamat Riyadi, Ketua BUMDes Tanjung Mandiri.
Dari langkah kecil itu lahirlah Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), lalu terbentuk BUMDes Tanjung Mandiri. Pemerintah desa menyiapkan regulasi, bantuan provinsi menyusul. Pada Juni 2020, tepat di tengah pandemi, Telaga Air Merah resmi dibuka. Ironisnya, ketika perjalanan ke luar kota terbatas, warga justru menemukan destinasi baru di halaman sendiri.
Ekonomi yang bertumbuh dari air tenang
Awalnya, warga Desa Tanjung hidup dari karet. Kini, telaga menghadirkan peluang lain. Ada yang berjualan makanan, menyewakan tikar, hingga menyediakan wahana seperti sampan dan sepeda air.
Tiket masuk hanya Rp5.000. Namun data BUMDes mencatat, pada libur Natal dan Tahun Baru 2024/2025, lebih dari 7.000 pengunjung datang. Dalam satu hari puncak, 2.500 orang memadati kawasan.
Dampaknya terasa nyata pada pendapatan desa.
2022: PAD Rp19,5 juta
2023: PAD Rp21 juta
2024: PAD melonjak menjadi Rp52 juta, dengan laba bersih Rp129 juta
Keuntungan itu tak hanya menumpuk di kas desa, tapi kembali ke masyarakat: dana sosial, bonus pengelola, hingga operasional harian. Telaga menjadi ruang ekonomi yang adil, dengan wajah kerakyatan.
Jejak perusahaan di tepi telaga
Kehadiran PT Imbang Tata Alam (ITA), anak usaha PT EMP, menambah warna. Melalui program CSR, mereka membangun fasilitas dasar, musala, toilet, tempat sampah, hingga sampan bebek kayuh. Bahkan, event budaya seperti pacu sampan tahunan kini menjadi tradisi.
“Kami bukan menggantikan peran pemerintah, tapi mempercepat pembangunan desa wisata,” ujar Arip Hidayatuloh, Field Sr. CSR Officer PT ITA.
Lebih dari fasilitas, perusahaan juga memfasilitasi pembangunan jalan desa. Meski terbatas oleh pandemi dan regulasi industri migas, kontribusi itu terbukti menjadi pemicu bagi gerakan warga.
“Yang paling penting bukan telaganya, tapi manusianya. Kami ingin masyarakat menjadi aktor utama pembangunan,” tambah Arip.
Tantangan dan kebersamaan
Perjalanan tidak selalu mulus. Pandemi sempat memaksa telaga tutup, bahkan pengelola harus “kucing-kucingan” dengan aparat agar roda wisata tetap berputar.
“Jangankan untuk mendapat uang rokok, untuk operasional saja susah. Tapi kami tetap semangat. Ada atau tidak ada pengunjung, kami tetap datang, tetap gotong royong,” kata Selamat.
Namun konsistensi berbuah manis. Pada 2024, berkat promosi media lokal, Telaga Air Merah kembali viral. Pengunjung membeludak, PAD melonjak, dan rasa percaya diri warga kian menguat.
Kini Telaga Air Merah bukan hanya tempat rekreasi. Ia adalah ruang sosial, ruang belajar, ruang ekonomi alternatif. Dari sini lahir kesadaran bahwa gotong royong bisa menciptakan sumber penghidupan baru.
“Bagi kami, nilai sosial lebih utama. Kami mungkin tak kaya dari telaga ini, tapi kami kaya pengalaman, persaudaraan, dan kebanggaan membangun desa sendiri,” ucap Selamat dengan mata berbinar.
Tantangan masih ada: infrastruktur yang terbatas, kapasitas pengelolaan yang perlu ditingkatkan, dan promosi yang harus berkelanjutan. Namun dengan sinergi masyarakat, pemerintah, BUMDes, dan perusahaan, jalan ke depan terbuka lebar.
Kepulauan Meranti, yang kerap dicap terpencil, kini mengirim pesan sederhana lewat telaga ini: perubahan bisa lahir dari langkah kecil, dari keberanian warga desa yang menolak menyerah.
Dan di tepi telaga berwarna merah gelap itu, lahirlah kisah tentang simbiosis: bagaimana masyarakat dan perusahaan bisa berjalan berdampingan, membangun bukan sekadar destinasi, melainkan ekonomi kerakyatan yang berdaya tahan.