Pekanbaru (ANTARA) - Di tengah gejolak zaman yang penuh turbulensi, baik spiritual maupun psikologis—manusia modern semakin haus akan figur keteladanan yang mampu menuntun pada keseimbangan batin dan kejernihan jiwa. Di sinilah pentingnya mengangkat kembali kepribadian rasuli sebagai pusat gravitasi psiko-spiritual dalam Islam; kepribadian Nabi Muhammad SAW yang bukan hanya membawa risalah ketuhanan, tetapi juga menyembuhkan luka-luka terpedih dalam jiwa manusia.
Kepribadian Rasulullah SAW adalah representasi paripurna dari integrasi antara akal (kognisi), ruh (transendensi), dan emosi (afeksi)—tiga pilar utama dalam pemahaman psikologi holistik Islam. Ia adalah insan kamil manusia sempurna—yang tidak hanya mengajarkan wahyu, tetapi juga mempraktikkannya secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. Beliau menjadi pembimbing jiwa (murabbi), penyembuh luka batin (muhaddib), dan pendidik spiritual (mu’allim) yang membentuk manusia menjadi pribadi utuh dan merdeka secara ruhani.
Dalam perspektif psikologi Islam, kepribadian rasuli mencerminkan pendekatan holistik terhadap kesehatan jiwa, yang dalam literatur psikologi disebut sebagai integrative healing. Ia menyatukan aspek-aspek spiritualitas, afeksi, dan perilaku dalam satu kerangka tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Rasulullah tidak memisahkan antara kejiwaan dan spiritualitas, antara hati dan akal, antara dunia dan akhirat. Ia mengintervensi bukan hanya gejala lahiriah, tetapi masuk ke dalam struktur batin terdalam manusia.
Beliau adalah psikoterapis agung, yang mampu menerapkan empathy-based therapy, cognitive restructuring, dan behavioral modeling dalam interaksi sehari-hari. Terapi beliau bukan dengan farmakologi atau intervensi klinis, tetapi dengan mahabbah (cinta), hikmah (kebijaksanaan), dan rahmah (kasih sayang ilahi).
Misalnya, saat seorang Arab Badui kencing di dalam masjid, para sahabat bereaksi keras. Namun Rasulullah menahan mereka dan bersabda, “Biarkan ia menyelesaikan urusannya, kemudian bersihkan dengan air.” Setelah itu, Nabi memanggil lelaki itu dan berbicara dengan lembut. Reaksinya? Orang Badui itu terharu dan berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan jangan rahmati seorang pun selain kami berdua.” Ini bukan hanya tindakan kasih, tapi bentuk nyata dari non-judgmental intervention dan compassionate guidance, prinsip-prinsip utama dalam terapi berbasis belas kasih (compassion-focused therapy).
Contoh lain adalah ketika seorang pemuda meminta izin untuk berzina. Para sahabat murka, namun Rasulullah memintanya mendekat. Dengan teknik Socratic questioning yang juga dikenal dalam terapi kognitif—beliau bertanya: “Apakah engkau rela jika ibumu atau saudara perempuanmu diperlakukan seperti itu?” Dengan logika yang menyentuh afeksi, Nabi membimbing kesadaran moral si pemuda. Lalu, beliau menyentuh dadanya dan berdoa, “Ya Allah, bersihkan hatinya…” Sentuhan spiritual dan afirmasi emosional ini menjadi spiritual catharsis yang menyembuhkan.
Terapi psiko-spiritual yang Rasulullah lakukan juga tampak dalam kasus perempuan kulit hitam yang menderita epilepsi. Saat ia meminta doa kesembuhan, Nabi memberi dua opsi: kesembuhan atau surga melalui kesabaran. Ini adalah bentuk logotherapy ala Viktor Frankl dalam tradisi Islam membantu seseorang menemukan makna spiritual dalam penderitaan fisik.
Begitu pula kisah yang menyentuh tentang seorang Yahudi buta yang setiap hari dihina oleh mulutnya sendiri, namun tetap disantuni dengan makanan dan kasih sayang oleh Rasulullah. Tanpa pernah mengungkap jati diri, Nabi terus menyuapinya. Setelah wafatnya beliau, Abu Bakar RA mencoba menggantikan kebiasaan itu. Si buta lalu berkata, “Tangan ini bukan tangan yang biasa.” Abu Bakar menangis dan berkata, “Itu adalah tangan Rasulullah.” Lelaki Yahudi itu pun tersentuh dan bersyahadat. Kisah ini mencerminkan bentuk silent therapy pengaruh kebaikan tanpa verbal, di mana embodied empathy Nabi telah menembus sekat ideologis dan kebencian. Ini adalah contoh puncak dari compassion in action, yang menjadi prinsip etika sekaligus strategi penyembuhan dalam psikologi Islam.
Kisah nenek tua yang sedih karena merasa tak mungkin masuk surga pun dijawab Rasulullah dengan gaya yang humoris namun sarat harapan. Humor Nabi tidak sekadar tawa, tetapi positive reappraisal—strategi dalam psikologi positif untuk merekonstruksi persepsi negatif menjadi makna yang menyelamatkan.
Dari semua ini, terlihat bahwa kepribadian rasuli tidak hanya berfungsi sebagai teladan spiritual, tetapi juga sebagai kerangka terapi jiwa yang efektif. Ketika psikologi modern cenderung terjebak dalam pendekatan biologis atau behavioristik yang kering spiritualitas, Islam tampil dengan pendekatan bio-psycho-social-spiritual yang komprehensif. Di sinilah letak keunikan psiko-spiritual Islam: mengobati jiwa bukan hanya dengan intervensi kognitif atau perilaku, tetapi dengan tauhid, sabar, syukur, dan cinta ilahi sebagai fondasi eksistensial.
Kepribadian Rasulullah juga memperkuat resiliensi psikologis (ketahanan jiwa). Ia mengajarkan bahwa menghadapi derita bukan berarti tunduk, tetapi transformasi diri menuju kemuliaan. Tawakal, sabar, dan ikhlas tiadalah sikap pasif, melainkan mekanisme coping spiritual yang memperkuat stabilitas emosi dan daya lenting jiwa.
Kini saatnya umat Islam kembali merujuk kepada kepribadian Rasulullah sebagai fondasi pengembangan diri dan penyembuhan jiwa. Bukan sekadar dalam ibadah ritual, tetapi dalam pola pikir, regulasi emosi, komunikasi empatik, dan kepemimpinan spiritual. Ia adalah paradigma psikoterapi profetik, yang menyatukan etika, cinta, dan kekuatan ruhani.
Dengan meneladani kepribadian Nabi, terbentuklah peradaban batin yang sehat—yang tidak hanya damai dengan diri sendiri, tetapi menjadi sumber kedamaian bagi dunia. Dan dari sinilah, psiko-spiritual Islam bukan hanya relevan, tapi sangat dibutuhkan di era disrupsi psikologis dan spiritual hari ini.
Allahu a‘lam bis-shawab.