Pekanbaru (ANTARA) - Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang sering menyorot kasih sayang seorang ibu, 12 November hadir mengingatkan masyarakat Indonesia pada sosok yang kerap menaruh cinta dalam diam: seorang ayah. Tanggal ini diperingati sebagai Hari Ayah Nasional, momen untuk menghargai peran ayah yang tak kalah penting dalam kehidupan keluarga.
Berbeda dari Hari Ibu yang telah lama ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959, mengutip laman dalam jaringan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Rabu, Hari Ayah Nasional lahir dari gerakan masyarakat sipil, bukan keputusan pemerintah. Gagasan itu muncul dari Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi (PPIP) di Kota Solo, Jawa Tengah, pada tahun 2006.
Kala itu, PPIP sering menggelar kegiatan memperingati Hari Ibu. Namun, dalam satu kesempatan, muncul pertanyaan polos dari sejumlah anak, “Kalau Hari Ibu ada, kapan Hari Ayah?” Pertanyaan sederhana itu menggugah para penggagas untuk mencari tanggal yang tepat bagi Hari Ayah.
Pencarian tersebut berujung pada sebuah momentum bersejarah. Pada 12 November 2006, PPIP menggelar deklarasi Hari Ayah Nasional di Balai Kota Surakarta (Solo). Acara tersebut turut dihadiri oleh Wali Kota Solo saat itu, Joko Widodo, yang kini menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Dalam deklarasi itu, PPIP menyerahkan Piagam Penghargaan untuk Ayah kepada berbagai tokoh masyarakat serta mengirimkan 1.000 surat cinta untuk ayah dari anak-anak di berbagai daerah di Indonesia. Surat-surat itu menjadi simbol kasih sayang tulus yang sering kali tak terucap, namun nyata dirasakan dalam kehidupan keluarga.
Hari Ayah Nasional menjadi ajang refleksi tentang makna kehadiran seorang ayah. Ia bukan sekadar pencari nafkah, tetapi juga penjaga, pendidik, dan sumber keteladanan. Dalam banyak keluarga, peran ayah sering hadir dalam bentuk kerja keras yang sunyi, peluh yang tak dikeluhkan, atau keputusan bijak yang melindungi keluarganya dari kesulitan.
“Kasih ayah itu sering tanpa kata, tapi nyata dalam tindakan,” demikian ungkapan yang kerap muncul di berbagai kampanye peringatan Hari Ayah.
Momentum ini sekaligus menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa ayah juga membutuhkan ruang apresiasi dan dukungan emosional, sama halnya dengan ibu. Di era modern, peran ayah semakin luas — tidak hanya mencari nafkah, tetapi juga turut aktif mengasuh, mendidik, dan menjadi teman tumbuh anak-anaknya.
Peringatan Tanpa Tanggal Merah, Tapi Sarat Makna
Berbeda dengan Hari Ibu yang dikenal luas dan dirayakan secara nasional, Hari Ayah Nasional belum menjadi hari libur resmi. Namun demikian, sejumlah daerah dan komunitas mulai menggelar berbagai kegiatan simbolis setiap 12 November, mulai dari lomba menulis surat untuk ayah, kampanye media sosial, hingga kegiatan keluarga bertema kebersamaan.
Meski tanpa gemerlap perayaan besar, makna Hari Ayah justru terasa dalam kesederhanaan. Banyak anak yang menggunakan momen ini untuk sekadar menelepon, mengirim pesan singkat, atau menyapa sosok ayah yang mungkin jauh di perantauan.
Bagi sebagian orang, tanggal 12 November juga menjadi momen mengenang dan mendoakan ayah yang telah tiada. Di media sosial, ucapan syukur dan kenangan terhadap figur ayah kerap membanjiri linimasa, menjadi bentuk penghormatan atas kasih tanpa pamrih.
Tradisi Dunia, Nilai yang Sama
Perayaan Hari Ayah tidak hanya ada di Indonesia. Di berbagai negara, penghormatan terhadap sosok ayah juga dilakukan dalam tanggal yang berbeda. Amerika Serikat dan lebih dari 70 negara lainnya menetapkannya pada Minggu ketiga bulan Juni, sementara Thailand memperingatinya pada 5 Desember, bertepatan dengan hari lahir Raja Bhumibol Adulyadej.
Perbedaan tanggal itu menunjukkan bahwa setiap bangsa memiliki cara dan waktu tersendiri untuk menghormati ayah, namun nilai yang dijunjung tetap sama: kasih sayang, pengorbanan, dan keteladanan seorang ayah dalam menjaga keluarganya.
Hari Ayah Nasional mengingatkan masyarakat untuk menoleh sejenak ke sosok yang mungkin tak banyak bicara, namun selalu hadir saat dibutuhkan. Dalam diamnya, ayah sering memikirkan masa depan anak-anaknya; dalam tegurnya, terselip doa agar mereka tumbuh kuat dan mandiri.
Peringatan ini bukan sekadar seremonial, melainkan panggilan moral untuk mengucapkan terima kasih kepada ayah, baik yang masih ada maupun yang telah tiada.
