Pekanbaru (ANTARA) - Dalam Sejarah sastra Melayu, Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji bukan hanya dianggap sebagai karya sastra klasik, tetapi juga sebagai pedoman moral dan dakwah. Pembuatan karya ini dilatarbelakangi oleh konflik internal kerajaan dan tekanan penjajah yang ada pada kerajaan Riau-Lingga saat itu. Meski ditulis sudah lama, lebih tepatnya pada 23 Rajab Tahun 1263 Hijriah (1846 Masehi) di Pulau Penyengat, nilai-nilai yang terkandung di dalam Gurindam Dua Belas ini masih sangat relevan hingga sekarang bahkan terasa semakin penting ketika melihat dunia dengan beragam karakter manusia seperti sekarang ini. Dimana masyarakat sudah mulai menjauh dari akhlak dan kesantunan. Raja Ali Haji tidak berdakwah dengan suara keras ataupun menghakimi, ia menggunakan bahasa yang lembut, puitis, dan penuh nasihat. Dengan memilih bentuk gurindam, dua baris yang saling menyempurnakan, beliau berhasil menyampaikan pesan agama dengan cara yang menyentuh hati. Inilah kekuatan gurindam, sederhana tapi sarat makna. Halus, tapi kuat.
Salah satu bagian yang paling terkenal berbunyi: “Barang siapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang yang ma’rifat.” Di balik bait pendek ini, Raja Ali Haji mengajarkan bahwa kehidupan spiritual tak cukup hanya dengan ritual saja. Ia mengingatkan pentingnya mengenal diri, tujuan hidup, mengenal tuhan, dan mengenal tanggung jawab di dunia. Gurindam Dua Belas juga menekankan akhlak sebagai fondasi dari identitas melayu. Dalam banyak pasalnya, Raja Ali Haji mengajak pembaca untuk menjaga lidah, menahan amarah, menghormati orang tua, bersifat jujur, serta menjauhi perbuatan zhalim. Nilai-nilai inilah yang menjadi karakter kuat masyarakat Melayu Riau.
Adapun dalam pasal pertama Gurindam disebut: “Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.” Baris ini menegaskan bahwa agama bukan sekedar identitas saja tetapi sebagai fondasi hidup manusia. Pesan seperti ini relevan bagi siapa saja, dimana saja, termasuk masyarakat modern yang asik mengejar dunia dan lupa terhadap akhirat. Di tengah perkembangan zaman saat ini, dengan adanya media sosial yang membuat orang lebih mudah melukai sesama dengan kata-kata, ayat-ayat gurindam ini seperti panggilan kembali untuk mengingatkan kita bahwa sebelum bicara, periksa dulu hati. Apakah ada adab, kejujuran, dan akhlak? Padahal melayu sejak dulu menjunjung budi bahasa sebagai mahkota.
Di sinilah fungsi Gurindam itu dapat terlihat, dimana ia bukan sekedar karya sastra saja, tetapi cerminan moral yang mengingatkan kita pada akar budaya sekaligus ajaran islam yang lembut. Dakwah dalam gurindam tidak menakut-nakuti, melainkan mengajak. Tidak memaksa, tetapi memberi kesadaran. Gurindam Dua Belas mampu menyatukan iman, akhlak dan budaya sehingga menjadikannya simbol dakwah kebudayaan. Pada akhirnya, Gurindam Dua Belas mengajarkan kita bahwa moral, adab, dan akhlak adalah identitas sejati Melayu. Karya ini adalah warisan dakwah yang tidak berkurang nilainya meski zaman telah berubah.
Penulis :
Rabiatun Nisa, Mahasiswi UIN Bukittinggi, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
