Pekanbaru (ANTARA) - Pemerintah melalui Menteri Keuangan yang baru mengumumkan rencana penyaluran dana sebesar Rp200 triliun ke sektor perbankan. Kebijakan ini dijustifikasi (diberikan alasan pembenar) dengan tujuan memperkuat likuiditas (ketersediaan dana tunai), memperluas penyaluran kredit, menggerakkan sektor riil (sektor ekonomi nyata seperti industri, perdagangan, pertanian), serta mengoptimalkan Saldo Anggaran Lebih/SAL (sisa lebih anggaran pemerintah yang belum digunakan) yang selama ini ditempatkan di Bank Indonesia.
Di permukaan, argumentasi (alasan logis) tersebut tampak rasional dan sejalan dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, jika ditelaah dari perspektif hukum perbankan, bank sentral, serta regulasi keuangan negara, kebijakan ini menyimpan problem mendasar: ketiadaan dasar hukum yang kuat, potensi pelanggaran prinsip independensi moneter (kemandirian bank sentral dalam mengatur kebijakan uang), serta risiko moral hazard (perilaku menyimpang akibat merasa ada jaminan sehingga abai risiko) yang justru dapat merusak stabilitas sistem keuangan nasional.
1. Perspektif Hukum Perbankan
Undang-Undang Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998) menegaskan fungsi utama bank adalah menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit untuk mendukung pembangunan ekonomi. Sumber dana perbankan berasal dari dana pihak ketiga, modal sendiri, dan instrumen keuangan (produk/sarana pengelolaan keuangan seperti obligasi atau surat berharga) lain yang sah.Tidak ada ketentuan dalam UU tersebut yang memberikan ruang bagi pemerintah untuk menyuntikkan dana dalam jumlah masif ke bank umum. Memang, penempatan dana pemerintah dimungkinkan, tetapi hanya dalam bentuk simpanan sementara, bukan instrumen untuk menopang likuiditas secara permanen. Dengan demikian, alasan Menteri Keuangan bahwa bank memerlukan tambahan likuiditas dari pemerintah tidak sesuai norma hukum perbankan. Likuiditas seharusnya dikelola melalui mekanisme pasar dan instrumen bank sentral, bukan melalui intervensi fiskal (kebijakan anggaran pemerintah) yang berpotensi mengganggu fungsi intermediasi perbankan (penyaluran dana dari masyarakat kepada debitur).
2. Perspektif Undang-Undang Bank Indonesia
Undang-Undang Bank Indonesia (UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 3 Tahun 2004) menegaskan prinsip independensi BI. BI memiliki mandat eksklusif menjaga stabilitas nilai rupiah, mengatur sistem pembayaran, dan memastikan stabilitas sistem keuangan.Penyaluran likuiditas ke bank, misalnya melalui instrumen lender of the last resort (fungsi BI memberi pinjaman darurat pada bank yang kesulitan likuiditas), hanya dapat dilakukan oleh BI dengan syarat agunan berkualitas tinggi dan terbatas untuk kesulitan jangka pendek.
Kebijakan pemerintah menyalurkan Rp200 triliun jelas melampaui kewenangannya. Penggunaan SAL sebagai justifikasi juga keliru, karena SAL adalah instrumen fiskal, sedangkan pengaturan likuiditas adalah domain (wilayah kewenangan) moneter BI. Intervensi ini berpotensi menggeser peran BI, melemahkan independensinya, serta menimbulkan ketidakpastian hukum dalam tata kelola moneter.
3. Perspektif Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (UU No. 21 Tahun 2011) memberikan mandat OJK untuk mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan. Jika pemerintah menempatkan dana Rp200 triliun tanpa mekanisme pengawasan ketat OJK, hal ini melanggar prinsip prudential banking (perbankan yang berhati-hati).Risiko moral hazard bisa muncul: bank menjadi terlena dengan dana pemerintah, merasa aman karena ada dukungan negara, sehingga berkurang insentif menjaga manajemen risiko. Alasan Menkeu bahwa kredit akan meningkat justru berpotensi memunculkan non-performing loan (NPL) atau kredit bermasalah bila dana dipaksa tersalurkan tanpa analisis kelayakan yang memadai.
4. Perspektif Keuangan Negara dan Konstitusi
Undang-Undang Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003) dan UU APBN mengatur bahwa setiap penggunaan dana APBN, termasuk SAL, harus mendapat persetujuan DPR. Pemerintah tidak bisa sepihak memindahkan Rp200 triliun ke perbankan.Langkah itu melanggar asas legalitas (harus sesuai hukum), transparansi (terbuka), dan akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan). Jika dipaksakan, kebijakan ini bisa inkonstitusional (bertentangan dengan konstitusi) dan melemahkan fungsi DPR dalam check and balance (mekanisme saling mengawasi kekuasaan).
Dengan mempertimbangkan aspek hukum tersebut, kebijakan penyaluran Rp200 triliun ke perbankan dapat dikatakan cacat hukum. Alasan ekonomi yang diajukan Menteri Keuangan memang logis, tetapi tanpa pijakan hukum yang kuat.
Kebijakan ini berpotensi menabrak UU Perbankan, menggeser peran BI, melemahkan OJK, dan inkonstitusional dalam tata kelola keuangan negara. Jika tujuan pemerintah adalah menggerakkan sektor riil, instrumen fiskal sah seperti insentif pajak, belanja infrastruktur, atau subsidi langsung lebih tepat digunakan.
Menempatkan dana Rp200 triliun di bank hanyalah jalan pintas berisiko tinggi yang bisa merusak stabilitas keuangan nasional. Karena itu, pemerintah sebaiknya mengevaluasi secara mendalam kebijakan ini dan mempertimbangkan kritik hukum demi menjaga integritas sistem hukum serta keberlanjutan stabilitas ekonomi Indonesia.
Penulis opini :
Dr. Saut Maruli Tua Manik, SHI., SH., MH,
Dosen Ilmu Hukum Perbankan dan Perbankan Syariah di Universitas Muhammadiyah Riau -Managing Partner’s Law Firm SmartMan & Associates