Bungkam hak masyarakat Meranti, anggota DPR RI ini sebut dua kementerian bersebrangan

id PIPPIB ,Hak tanah masyarakat Meranti

Bungkam hak masyarakat Meranti, anggota DPR RI ini sebut dua kementerian bersebrangan

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Syamsurizal saat diwawancarai sejumlah wartawan. (ANTARA/Rahmat Santoso)

Selatpanjang (ANTARA) - Polemik hak milik tanah masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti yang terbentur dengan kebijakan moratorium permanen atau penghentian izin baru di hutan alam dan gambut terus bergulir.

Kebijakan yang dituangkan melalui instruksi Presiden (Inpres) itu menjadi keluhan penduduk dan kepala daerah setempat. Bahkan, persoalan ini menjadi atensi Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Syamsurizal.

"Ini buka menjadi keluhan warga Meranti saja. Kami di komisi II juga telah mempertanyakan itu kepada Presiden dan sejumlah Kementerian terkait Inpres tersebut. Seperti KLHK dan Kementerian ATR/BPN," ungkap Syamsurizal ketika menghadiri kegiatan Muscab PPP di Kepulauan Meranti, belum lama ini.

Inpres yang dimaksud yakni Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang penghentian pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Di situ Kepulauan Meranti termasuk ke dalam area Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).

Sementara informasi yang diterima Syamsurizal hingga saat ini, dua kementerian tersebut dinilai tak sejalan dalam melaksanakan program skala prioritas, sehingga mengorbankan hak warga.

"Dari hasil yang kami dapat dua kementerian ini dianggap tak sejalan, sehingga menimbulkan keresahan, khususnya masyarakat Meranti," ungkap anggota DPR RI Dapil Riau ini.

Seperti diketahui, KemenATR/BPN memiliki fungsi dan tugas strategis nasional melalui program prioritas nasional dalam percepatan pendaftaran tanah sistematis lengkap. Selain itu pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah, serta penanganan masalah agraria pertanahan, pemanfaatan ruang.

Sementara di sisi lain dijelaskannya, fungsi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjaga keutuhan lingkungan termasuk dalam penerbitan PIPPIB yang melarang menerbitkan izin di hutan dan lahan gambut. Sementara 80 persen tanah di seluruh Sumatera merupakan gambut, apalagi Meranti mencapai 90 persen.

"Jadi ini yang kami pandang tidak adil. Sehingga kita juga terus menggesa untuk meminta pertanggungjawaban itu. Berulang kali sudah bincang panjang lebar soal ini. Namun belum final karena dua kementerian masih dengan ego sektoralnya masing-masing. Jadi inilah yang mesti terus kita dudukkan di komisi II agar dapat membawa mereka untuk dapat berunding sama," terang Syamsurizal.

Sebelumnya Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti, Muhammad Adil mengaku, terus mendesak pemerintah pusat untuk mengevaluasi kembali moratorium lahan gambut yang telah diterbitkan beberapa tahun terakhir.

Langkah itu dilakukan untuk melepas belenggu hak penduduk Kepulauan Meranti yang masuk dalam Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB).

Dalam peta tersebut tidak kurang 96 persen luas wilayah Kepulauan Meranti masuk dalam zona konservasi gambut dan hutan. Sementara sisa empat persen pemukiman.

"Sudah kita kirim surat berulang kali agar pemerintah pusat mengevaluasi kebijakan tersebut. Kepada presiden juga sudah kita surati. Namun hingga kini masih stagnan 96 persen wilayah ini, masuk dalam peta itu," ungkap Bupati Adil, Senin (1/11).

Bahkan kata dia, Wakil Menteri ATR/BPN, Surya Tjandra juga pernah ke berkunjung ke daerah setempat membahas soal tersebut. Namun tetap tidak pengaruh dan belum ada lanjutan.

"Wamen ATR juga sudah ke sini kemarin, tapi tak ada guna. Persentase dan jumlahnya masih sama. Berkurangpun tidak. Untuk itu, tolonglah jangan rampas tanah milik penduduk Meranti ini. Cabut saja itu," pinta mantan Legislatif Provinsi Riau itu.