Menyelamatkan Minyak Minas dengan Deterjen Anti Noda

id Lapangan minyak Minas, deterjen Anti Noda, pertamina hulu rokan

Menyelamatkan Minyak Minas dengan Deterjen Anti Noda

Perwira Pertamina Hulu Rokan berada di atas Tanki penampung pada Lapangan Minas yang akan dilakukan Proyek CEOR. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nz

Pekanbaru, (ANTARA) - Dari celetukan masyarakat, Minas dianggap sebagai akronim dari minyak nasional. Ini bukannya tanpa sebab karena Minas pernah menjadi penyumbang minyak bumi dan gas terbesar di Indonesia.

Sejarah mencatat Lapangan Minas pernah mencapai puncak produksi 440 ribu barel per hari pada tahun 1973. Jumlah tersebut hampir setengah dari Produksi Migas Indonesia yang sekitar 1 juta barel kala itu.

Waktu berjalan, sampai saat ini Minas masih menjadi salah satu sumber minyak di negeri ini. Akan tetapi saat ini produksinya jauh merosot, hanya pada angka 28 ribu barel per hari. Padahal cadangan di sana baru terhisap 5 miliar barel dari lebih 10 miliar barel terbukti.

Ladang minyak itu sekarang merupakan salah satu Lapangan Blok Rokan yang dikelola Pertamina Hulu Rokan. Dialih kelola pada tahun 2021 dari Kontraktor asal Amerika Serikat PT Chevron Pasific Indonesia, PHR sejak itu melakukan upaya peningkatan produksi dengan masif. Hingga saat ini perusahaan pelat merah itu telah melakukan pemboran 1.800 sumur baru dan pengembangan sumur lama.

Menurut General Manager PT PHR WK Rokan, Andre Widjanarko, upaya tersebut berhasil menahan laju penurunan produksi yang jika tidak ada upaya apapun kan menjadi sekitar 100 ribu barel per hari saja. Artinya PHR telah berhasil menambah produksi 50 ribu barel per hari.

"Produksi secara natural akan menurun, 35-40 persen kalau tidak ada aktivitas yang masif. Dari 2021 pertahankan produksi 150-160 ribu barel per hari, saat ini pada angka 152 barel per hari. 26 persen dari produksi nasional," sebutnya.

Namun demikian untuk Minas saat ini belum ada peningkatan produksi. Akan tetapi menurutnya ada rencana besar yang akan dilakukan untuk memperpanjang umur lapangan yang berproduksi pertama kali di Provinsi Riau ini.

Sekilas Sejarah Minyak Minas

Richard H Hopper dalam "Penemuan Lapangan Minyak Minas" pada Majalah Oil Progres terbitan Caltex Petroleum Coorporation edisi pertama tahun 1976 menyampaikan daerah ini dinamakan Minas karena mengambil nama sebuah perkampungan Sakai yang berdekatan dengan daerah itu. Konon nama itu berasal dari nama pohon minei, yang buahnya digunakan sebagai bahan minyak goreng.

Richard Hopper adalah Geolog Amerika Serikat yang merintis jalan khusus dari

dari Camp South Rumbai PHR Wilayah Kerja Rokan di Kota Pekanbaru menuju Minas yang saat ini masuk Wilayah Kabupaten Siak. Jalan sepanjang 35 kilometer itu adalah pintasan untuk mengangkut peralatan Mercu Bor dari Pelabuhan Sungai Siak menuju sumur Minas nomor 1 tahun 1941.

Ya, proses penemuan minyak Minas melewati tiga zaman sebelum dan sesudah republik ini berdiri. Lapangan ini digali sejak zaman Penjajahan Belanda di Indonesia. Saat Perang Dunia II meletus, pencari minyak minas asal AS harus meninggalkan Indonesia dalam keadaan belum menemukan minyak barang setetes.

Tentara Jepang yang ketika itu menduduki Indonesia juga menyasar pusat produksi minyak di Riau atau Sumatera Tengah. Jepang yang juga membawa para insinyur minyaknya ternyata untuk pertama kalinya berhasil menemukan minyak Minas.

Jepang menyerah tanpa syarat dan bersedia angkat kaki dari Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan, Kontraktor Amerika Serikat Caltex kembali lagi untuk menuntaskan pekerjaan ini hingga akhirnya berproduksi pada tahun 1952. Minas yang dikenal sebagai Sumatera Light Crude ini mencatatkan diri sebagai lapangan pertama yang berproduksi di Riau meskipun ditemukan lebih lambat dari Minyak Duri, Sebanga, dan Lirik.

Minyak Minas pun juga menjadi yang pertama dikapalkan untuk diekspor di Riau dari Sungai Siak melalui Pelabuhan Perawang. Oleh karena itu alangkah sangat sayangnya jika sumur yang berproduksi pertama di Riau ini juga menjadi yang pertama berhenti berproduksi.

Pertama di Indonesia

Perjalanan menuju Minas melalui jalan pintas PHR ditempuh dengan waktu yang kurang dari satu jam dari Pekanbaru. Ketika sampai hawa panas industri mulai terasa. Pipa berbagai macam ukuran hingga tangki besar menjadi pemandangan mata.

Saat menaiki tangga dalam suatu ruangan yang agak tinggi, akan terlihat suatu aktivitas pekerjaan konstruksi. Lapangan Minas yang biasanya hanya terlihat pompa dan pipa pada sumur-sumurnya, kini terlihat jejak-jejak pembangunan berupa tapak-tapak yang baru dibuat.

Usut punya usut pekerjaan tersebut merupakan upaya PT PHR untuk kembali meningkatkan produksi lapangan Minas. Lebih dari itu, proyek ini diharapkan untuk menyelamatkan Lapangan Minas dari kemerosotan terus menerus sehinga bisa berumur panjang.

Pekerjaan ini digadang-gadang belum banyak dilakukan di dunia. Bahkan di Indonesia, Minas akan menjadi yang pertama. Proyek ini disebut Chemical Enhance Oil Recovery atau CEOR.

Perwira Pertamina Hulu Rokan berada di area konstruksi Proyek CEOR di Lapangan Minas. (ANTARA/Bayu Agustari Adha)

Pekerjaan ini dikatakan menggunakan teknologi yang cukup tinggi dengan biaya yang juga fantastis. Minas dipilih untuk proyek ini karena dari segi ukuran lapangan adalah yang terbesar di Asia Tenggara dengan cadangan yang tersimpan masih cukup banyak.

Dijelaskan Senior Petroleum Engineer bagian Sub Surface Lapangan Minas PT PHR, Medika Wilza, Proyek CEOR adalah cara memproduksi minyak dengan melakukan injeksi bahan kimia ke dalam reservoir atau pori pori batuan di mana minyak terperangkap. Penggunaan bahan kimia dilakukan untuk melepaskan minyak dari tempatnya menempel di reservoir agar selanjutnya terpompa bersama air yang mengalir ke atas.

Hal itu dilakukan mengingat tingkat "water cut" atau kandungan air Lapangan Minas saat ini sangat tinggi, yaitu sekitar 99,5 persen. Artinya, dari 100 persen fluida yang terproduksi, hanya 0,5 persen yang merupakan minyak, sisanya air.

"Karena itu, Pertamina Hulu Rokan mencoba menerapkan metode Chemical Enhanced Oil Recovery (CEOR) untuk meningkatkan produksi dalam waktu relatif cepat. Metode ini diharapkan mampu mengambil sisa-sisa minyak yang masih terperangkap di dalam reservoir," ujarnya.

Metode CEOR yang digunakan adalah alkali-surfaktan-polimer (ASP). Alkali berfungsi seperti garam,Surfaktan berfungsi layaknya sabun, dan polimer sebagai pendorong.

Surfaktan nantinya akan menurunkan tegangan permukaan sehingga minyak yang menempel di pori-pori batuan bisa lepas. Selanjutnya Polimer akan menjadi pendorong untuk meningkatkan tegangan air sehingga lebih efektif melepaskan minyak keluar dari pori-pori reservoir.

Analoginya ketika mencuci kain yang memiliki noda minyak maka dengan air saja tidak cukup untuk menghilangkannya. Perlu deterjen yang ditaburkan di noda minyak tersebut lalu dikucek hingga turun dan larut.

Begitu juga cara kerja CEOR, surfaktan menenpel dan polimer mengucek untuk mendorong minyak yang masih menempel pada pori-pori batuan sehingga bisa terangkat. Jadi cara kerja CEOR ini mirip dengan deterjen anti noda.

Formulasi ASP yang digunakan di Minas ini ternyata dikembangkan sendiri oleh tim PHR melalui berbagai percobaan di laboratorium. Komponen kimia sebagian diproduksi dalam negeri, sementara surfaktan masih diimpor melalui kerja sama Pertamina.

"Keberhasilan PHR menemukan formulasi kimia yang tepat untuk kondisi minyak Minas ini menjadi pencapaian tersendiri, karena tidak banyak negara yang berhasil mengimplementasikan CEOR secara ekonomis. Cina menjadi salah satu contoh negara yang sudah lebih dulu menerapkan metode ini, Inggris juga," sebut Wildan.

Dengan cara kerja tersebut hasil studi menunjukkan potensi peningkatan produksi sekitar 13 persen penambahannya. Itu baru pada percobaan skala kecil dalam area 4,5 hektare. Peningkatan diyakini bisa mencapai 17–22 persen pada skala yang lebih besar.

Diproyeksikan Proyek CEOR ini bisa memperpanjang umur ekonomis Lapangan Minas sekitar 8–10 tahun untuk skala kecil. Bahkan bisa hingga 14 tahun jika dikembangkan lebih tinggi operasinya. Target produksinya bisa mencapai 2.800 barel per hari untuk pola 3 sumur injektor dan 8 sumur produksi.

Untuk proyek ini sekarang sedang dilakukan proses konstruksi untuk dua bagian yakni On-plot facilities dan Off–plot facilities. Bahan kimia akan dicampur di fasilitas on-plot, lalu dipompakan ke sumur injeksi untuk mendorong minyak keluar.

Fluida produksi dari sumur produser kemudian dipisahkan di fasilitas permukaan. Minyak dialirkan ke jalur produksi, sedangkan air hasil pemisahan diinjeksikan kembali ke reservoir bersama bahan kimia baru.

Sementara di Off-plot facilities dibangun fasilitas ke arah sumur injeksi dan produksi berupa jaringan pipa menuju sumur injeksi. Dalam proyek skala awal di Minas (Area A), terdapat 3 sumur injektor dan sekitar 13 sumur produser.

Fasilitas yang sedang dibangun tersebut ternyata merupakan peninggalan kontraktor lama yakni PT Chevron Pasific Indonesia. Penerapan CEOR di Minas sudah dilakukan sebelumnya sekitar tahun 2013 di area kecil, dengan hasil yang positif. Akan tetapi program dihentikan pada 2016 karena harga minyak dunia anjlok sehingga proyek menjadi tidak ekonomis.

Senior Engineering Project Surface Facility PT PHR Yori Frengki membenarkan proses konstruksi itu bukanlah peralatan baru. Fasilitas itu digunakan kembali setelah dipreservasi atau dirawat agar tetap bisa dipakai di masa depan.

"Setelah kondisi lebih mendukung proyek ini kembali dijalankan. Fasilitas permukaan (surface facilities) yang digunakan merupakan kombinasi antara fasilitas lama yang diaktifkan kembali dan fasilitas baru," ungkapnya.

Dijadwalkan pada Desember 2025 sudah bisa dilakukan injeksi pertama untuk membuktikan adanya peningkatan produksi. Penerapan CEOR di Minas bukan hanya penting bagi PHR, tetapi juga strategis bagi peningkatan produksi nasional, khususnya untuk mendukung target 1 juta barel per hari pada 2030.

Pewarta :
Editor: Afut Syafril Nursyirwan
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.