Kebijakan energi satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran, Riau masih butuh keadilan

id Pemerintah Prabowo Subianto-Gibran, kebijakan energi Indonesia, Riau lumbung energi

Kebijakan energi satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran, Riau masih butuh keadilan

Kegiatan diskusi publik dari sudut pandang energi. (ANTARA/Bayu Agustari Adha)

Pekanbaru, (ANTARA) - Forum Wartawan Bisnis Kota Pekanbaru menggelar diskusi publik terkait refleksi satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran dari sudut pandang energi. Dalam kegiatan di Cititel Pekanbaru, Jumatini dihadirkan tiga pakar yang mengulas masalah energi secara nasional dan daerah.

Narasumber pertama, Pakar Energi dari Universitas Islam Riau Dr. Ira Herawati

meneropong satu tahun kemandirian energi di era Prabowo-Gibran. Menurutnya masih banyak tantangan terjadi terkait kebutuhan energi terutama konsumsi masyarakat yang meningkat sedangkan sumber energi menurun.

"Lifting minyak bumi dan gas meningkat, target 605 barel per day itu hampir mencapai 98 persen, ada peningkatan pada satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran namun ketergantungan terhadap impor BBM masih tinggi," katanya.

Terkait ketahanan energi nasional melalui diversifikasi sumber energi baru terbarukan meningkat tahun 2025 hingga 16 persen. Tahun 2024 masih 13 persen tapi masih di bawah target pemerintah di angka 23 persen.

Kemudian Pembangkit Listrik Tenaga Surya masih terbatas dan belum masif. Pasalnya masih mengandalkan bahan baku luar negeri sehingga harga mahal dan masyarakat masih pilih harga lebih murah.

Untuk daerah lanjutnya peran masih relatif kecil dan oligarki energi masih belum lepas dari politik energi nasional. Dengan begitu ketimpangan energi untuk antar wilayah yang masih akan memberikan dampak bagi masyarakat Riau.

Sementara itu Pakar Komunikasi Publik Universitas Riau, Dr. Chelsy Yesicha menyoroti migas sebagai sumber yang melimpah tapi antrian masih ada akibat kelangkaan. Menurutnya harus ada keistimewaan sebagai daerah penghasil untuk disuarakan sebagai regulasi.

"Kita punya bagian yang lebih dan memang secara garis besar sudah kelihatan ada hal-hal yang tidak dibuka," ungkapnya.

Hal senada juga disampaikan Pakar Ekonomi Dr. Riyadi Mustofa bahwa di Riau masih bersifat pasar monopoli karena hanya milik Pertamina sendiri belum ada punya swasta. Dari segi permintaan dan penawaran, permintaan masih lebih banyak daripada penawaran artinya barang yang tersedia itu lebih sedikit daripada yang diinginkan orang.

"Wajar jika saat ini terjadi kelangkaan maka solusinya adalah menambah pasar atau memberikan izin kepada pemain-pemain lokal menambah kuota," sebutnya.

Lebih jauh dia juga mengusulkan adanya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan daerah penghasil. Jika perlu dibutuhkan juga harga lokal BBM untuk Riau sebagai daerah penghasil.

Pewarta :
Editor: Vienty Kumala
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.