Pembangunan Berkelanjutan Budidaya Perikanan Wujudkan Poros Maritim

id pembangunan berkelanjutan, budidaya perikanan, wujudkan poros maritim

Pembangunan Berkelanjutan Budidaya Perikanan Wujudkan Poros Maritim



Sambungan dari hal 1 ...

Pangan Asia-Pasifik

Selain itu, pesatnya laju perkembangan perikanan budidaya di kawasan perairan Indonesia diperkirakan dapat mendukung pemenuhan dan ketahanan pangan di kawasan Asia-Pasifik.

Berdasarkan data statistik perikanan budidaya KKP tahun 2010-2014, produksi perikanan budidaya telah mengalami peningkatan sekitar 23 persen per tahun dengan komoditas yang mengalami peningkatan di atas 20 persen per tahun adalah rumput laut (27 persen), udang vaname (20 persen), patin (25 persen) dan lele (26 persen).

"Dari data statistik tersebut, khususnya lele dan patin merupakan komoditas budidaya air tawar yang mendukung ketahanan pangan dan juga mendorong pengembangan budidaya perikanan pedesaan. Ini juga merupakan bagian dari pengembangan perikanan budidaya di kawasan Asia Pasifik," kata Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP.

Hal tersebut juga dinilai mendukung pengembangan perikanan budidaya pedesaan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat, sesuai dengan rekomendasi pertemuan Pusat Jaringan Budidaya di Asia Pasifik (NACA).

"Seluruh anggota NACA yang meliputi Australia, Bangladesh, Filipina, Hong Kong SAR, India, Indonesia, Iran, Kamboja, Korea Selatan, Laos, Malaysia, Maladewa, Myanmar, Nepal, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Thailand, Tiongkok, dan Vietnam, akan selalu berkomunikasi untuk terus mengembangkan perikanan budidaya di wilayah Asia Pasifik," katanya.

KKP juga mendorong pembangunan pedesaan di Tanah Air melalui digalakkannya budidaya perikanan yang berkelanjutan baik dalam bidang air tawar maupun kawasan air laut.

"Keanggotaan Indonesia dalam NACA ini sesuai dengan konsep pembangunan perikanan budidaya saat ini, yaitu mendorong pembangunan pedesaan melalui usaha budidaya perikanan," kata Dirjen Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto.

Apalagi, ia mengingatkan bahwa Indonesia merupakan salah satu produsen hasil perikanan budidaya terbesar di dunia, dengan jumlah produksi budidaya yang mencapai 14,52 juta ton pada tahun 2014, dengan target produksi perikanan budidaya yang diramalkan mencapai 17,91 juta ton pada 2015.

Posisi Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar produk perikanan budidaya, ujar dia, harus dapat dimanfaatkan pelaku usaha perikanan budidaya di Indonesia yang sebagian merupakan masyarakat pedesaan.

Selain itu, lanjutnya, pelaku usaha juga harus bisa memanfaatkan organisasi seperti NACA ini untuk melakukan transfer teknologi dan komunikasi tentang perkembangan terbaru perikanan budidaya, untuk kemudian dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya pembudidaya.

"Kita juga mudah dalam mendapatkan akses ke organisasi internasional lainnya seperti FAO dan ACIAR sehingga dapat mendorong pengembangan perikanan budidaya di Indonesia," jelas Slamet.

Produktivitas-inovasi

Untuk mengembangkan tingkat produktivitas dan inovasi dalam bidang budidaya perikanan, KKP telah melakukan beragam hal terkait beberapa komoditas.

Slamet mencontohkan, pihaknya mendorong budidaya rajungan untuk meningkatkan produksi yang selama ini masih bergantung kepada hasil penangkapan di alam bebas kawasan perairan Indonesia di berbagai daerah.

"Permintaan pasar global yang meningkat setiap tahunnya mendorong pemenuhan kebutuhan tersebut. Akan tetapi, karena selama ini tergantung dari hasil penangkapan di alam, volume ekspor rajungan dan kepiting berfluktuasi dalam kurun waktu tiga tahun terakhir," katanya.

Berdasarkan data KKP, ekspor kepiting dan rajungan mencapai 28.211 ton dengan nilai 329,7 juta dolar AS pada tahun 2012, dan meningkat menjadi 34.172 ton dengan nilai 359,3 juta dolar AS pada 2013.

Sementara data sementara tahun 2014 menunjukkan volume ekspor rajungan dan kepiting sebanyak 28.090 ton dengan nilai 414,3 juta dolar AS.

"Ketergantungan produksi rajungan dan kepiting dari hasil penangkapan alam mengakibatkan menurunnya jumlah populasi rajungan maupun kepiting," katanya.

Hal itu, ujar dia, juga mendorong Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti untuk menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 1 tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan.

Upaya lain yang dilakukan oleh KKP adalah mendorong produksi rajungan, kepiting dan juga lobster dari budidaya sehingga produksinya tidak tergantung dari alam.

"Melalui usaha pembenihan, restocking benih dan pembatasan penangkapan kepiting, rajungan dan juga lobster ini maka usaha budidaya perikanan yang ramah lingkungan, efektif, efisien dan mendukung keberlanjutan akan dapat dijalankan," katanya.

Selain itu, lanjutnya, pada akhirnya akan menciptakan keberlanjutan usaha-usaha perikanan termasuk rajungan dengan memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi di masa yang akan datang.

Dalam hal inovasi, KKP juga telah mengembangkan budidaya udang windu di sejumlah daerah dengan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan seperti dengan menggunakan bahan bakar gas (BBG).

"Budidaya udang merupakan salah satu usaha yang menjanjikan dan mempunyai nilai ekonomis tinggi. Terobosan teknologi baik dari segi teknologi budidaya maupun teknologi sarana dan prasarana pendukung terus dikembangkan," kata Slamet.

Ia mencontohkan, salah satu teknologi sarana budidaya udang yang telah dikembangkan KKP antara lain di Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar, Sulawesi Selatan.

Di BPBAP Takalar, ujar dia, adalah penggunaan bahan bakar gas (BBG) untuk mendukung usaha budidaya udang.

"Biaya yang diperlukan untuk bahan bakar dalam satu musim budidaya udang mencapai 25 persen dari total biaya. Bahan bakar ini terutama diperlukan untuk menggerakkan kincir dan pompa air. Dengan rekayasa penggunaan BBG dalam usaha budidaya udang ini maka, biaya bahan bakar dapat dihemat hingga 25 persen," katanya.

Ia mencontohkan, petambak dengan dua kincir dan satu pompa menghabiskan 1.400 liter solar serta 160 liter premium untuk satu musim budidaya selama 70 hari. Sedangkan satu musim keluar biaya sekitar Rp12 juta untuk beli bahan bakar.

Dengan menggunakan BBG maka biaya yang dikeluarkan bisa di hemat menjadi sekitar Rp3 juta per musim.

"Ini akan meningkatkan keuntungan petambak dan sekaligus mengurangi ketergantungan petambak akan BBM yang harganya akan semakin meningkat dari tahun ke tahun," katanya.

Selain itu, teknologi tersebut dinilai juga ramah lingkungan karena tidak menghasilkan limbah yang dapat mencemari lingkungan perairan dan tanah di sekitar tambak udang.

Untuk itu, KKP juga bakal mengembangkan dan menyebarluaskan penerapan teknologi tersebut sehingga mampu digunakan secara mudah dan murah oleh masyarakat.

Di samping itu, penggunaan teknologi ini juga dinilai selaras dengan kebijakan Pembangunan Perikanan Budidaya yaitu Mandiri, Berdaya Saing dan Ramah Lingkungan.