Sebulan pengepungan Israel, warga Gaza jalani kehidupan bak di "neraka"
Gaza (ANTARA) - Di saat konflik Israel-Hamas terus berlanjut pada Selasa (7/11), serangan udara Israel di tempat-tempat penampungan dan sekitar rumah sakit di Gaza City dan bagian utara kota tersebut seketika mengubah kehidupan warga Palestina yang mengungsi dan luka-luka seperti di "neraka".
Wahid Al-Munirawi masih terkejut setelah serangan Israel menargetkan tempat penampungan di kamp Jabalia, tempat keluarganya tinggal. Bekerja sebagai teknisi radiologi di Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza, Al-Munirawi mengungkapkan kepada Xinhua melalui telepon, "untungnya, istri dan anak perempuan saya tidak terluka, tetapi orang-orang di sini tewas akibat pengeboman dan pengepungan Israel yang berkepanjangan."
"Makanan menjadi langka, air tidak layak diminum, dan bahkan sumber-sumber energi yang tersisa sedang digempur dan dihancurkan, sehingga tidak menyisakan tempat mengungsi bagi warga," tambahnya.
Tiga saudara kandung Al-Munirawi menerima perawatan di Rumah Sakit Indonesia, namun dia memperingatkan bahwa layanan medis mungkin akan terhenti akibat kekurangan pasokan energi.
Sementara itu, 15 warga Palestina tewas dalam serangan yang menargetkan sekolah Al-Fakhour pada Sabtu (4/11), dan 74 orang lainnya luka-luka, menurut Kementerian Kesehatan Palestina yang berbasis di Gaza. Sekolah ini sebelumnya pernah menjadi sasaran serangan Israel pada musim dingin tahun 2008-2009 lalu.
Gambar dan rekaman video menunjukkan noda darah pada peralatan masak yang rusak dan remah-remah roti yang tidak sempat diolah di dalam gedung sekolah yang menjadi sasaran tersebut.
Selama 24 jam terakhir, pihak kementerian itu melaporkan bahwa serangan udara Israel yang menyasar tempat penampungan dan rumah sakit telah mengakibatkan puluhan orang tewas dan luka-luka.
Pada Kamis (2/11), tentara Israel mengepung Gaza City dan kamp Jabalia, dan terus melancarkan serangan di sejumlah titik di bagian selatan kota itu. Para pengungsi Palestina mengaku bahwa kehidupan mereka bagaikan di "neraka yang tak tertahankan tanpa makanan dan air, di mana mayat bergelimpangan" dan gempuran serangan udara serta bombardir terus-menerus terjadi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa ratusan ribu warga Gaza telah mengungsi ke bagian selatan daerah kantong tersebut, sementara ratusan ribu orang lainnya masih terjebak di sejumlah rumah sakit dan tempat penampungan yang berada dekat dengan garis depan antara tentara Israel dan pejuang Hamas serta faksi-faksi bersenjata Palestina lainnya.
Selama sebulan penuh sejak konflik mematikan tersebut pecah, jumlah korban tewas dari pihak Palestina di Gaza telah bertambah menjadi 10.328 orang, termasuk 4.237 anak-anak, 2.719 wanita, dan 631 lansia, sementara jumlah korban tewas dari pihak Israel mencapai lebih dari 1.400 orang dan ribuan orang lainnya luka-luka, menurut data statistik resmi dari masing-masing pihak.
Israel memutus pasokan bahan bakar, listrik, makanan, dan air ke Gaza sebagai bentuk hukuman terhadap Gaza setelah Hamas, penguasa daerah kantong tersebut, melancarkan serangan mendadak ke kota-kota perbatasan Israel pada awal Oktober lalu.
Seorang wanita yang mengidentifikasi dirinya sebagai Um Tawfiq menuturkan, "kami tidak dapat menemukan makanan atau air. Harga-harga tinggi, dan kami tidak memiliki uang atau pemasukan."
Distribusi makanan dan pasokan medis di bagian selatan Gaza menjadi terganggu di tengah meningkatnya kebutuhan warga. Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) terus bekerja demi memenuhi kebutuhan para pengungsi.
Seorang wanita Palestina memasak makanan mereka di sebuah kamp yang berafiliasi dengan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, pada 1 November 2023. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
Upaya UNRWA untuk membatasi distribusi tepung terigu ke toko-toko roti dan menjualnya kepada warga dengan harga yang lebih murah telah membantu meringankan sebagian penderitaan warga Palestina.
Waleed Mahanna, yang berasal dari Gaza dan kini tinggal bersama kerabatnya di Rafah, mengatakan, "setiap hari, saya harus berdiri mengantre sejak fajar hingga siang hari demi membeli sepotong roti."
"Ini adalah situasi tidak manusiawi terburuk yang dapat dialami seseorang," ujarnya.
Baca juga: Konvoi bantuan Palang Merah Internasional saat menuju ke Kota Gaza sempat diserang
Baca juga: Gempuran pasukan Israel paksa 70 persen penduduk Gaza untuk mengungsi
Wahid Al-Munirawi masih terkejut setelah serangan Israel menargetkan tempat penampungan di kamp Jabalia, tempat keluarganya tinggal. Bekerja sebagai teknisi radiologi di Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza, Al-Munirawi mengungkapkan kepada Xinhua melalui telepon, "untungnya, istri dan anak perempuan saya tidak terluka, tetapi orang-orang di sini tewas akibat pengeboman dan pengepungan Israel yang berkepanjangan."
"Makanan menjadi langka, air tidak layak diminum, dan bahkan sumber-sumber energi yang tersisa sedang digempur dan dihancurkan, sehingga tidak menyisakan tempat mengungsi bagi warga," tambahnya.
Tiga saudara kandung Al-Munirawi menerima perawatan di Rumah Sakit Indonesia, namun dia memperingatkan bahwa layanan medis mungkin akan terhenti akibat kekurangan pasokan energi.
Sementara itu, 15 warga Palestina tewas dalam serangan yang menargetkan sekolah Al-Fakhour pada Sabtu (4/11), dan 74 orang lainnya luka-luka, menurut Kementerian Kesehatan Palestina yang berbasis di Gaza. Sekolah ini sebelumnya pernah menjadi sasaran serangan Israel pada musim dingin tahun 2008-2009 lalu.
Gambar dan rekaman video menunjukkan noda darah pada peralatan masak yang rusak dan remah-remah roti yang tidak sempat diolah di dalam gedung sekolah yang menjadi sasaran tersebut.
Selama 24 jam terakhir, pihak kementerian itu melaporkan bahwa serangan udara Israel yang menyasar tempat penampungan dan rumah sakit telah mengakibatkan puluhan orang tewas dan luka-luka.
Pada Kamis (2/11), tentara Israel mengepung Gaza City dan kamp Jabalia, dan terus melancarkan serangan di sejumlah titik di bagian selatan kota itu. Para pengungsi Palestina mengaku bahwa kehidupan mereka bagaikan di "neraka yang tak tertahankan tanpa makanan dan air, di mana mayat bergelimpangan" dan gempuran serangan udara serta bombardir terus-menerus terjadi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa ratusan ribu warga Gaza telah mengungsi ke bagian selatan daerah kantong tersebut, sementara ratusan ribu orang lainnya masih terjebak di sejumlah rumah sakit dan tempat penampungan yang berada dekat dengan garis depan antara tentara Israel dan pejuang Hamas serta faksi-faksi bersenjata Palestina lainnya.
Selama sebulan penuh sejak konflik mematikan tersebut pecah, jumlah korban tewas dari pihak Palestina di Gaza telah bertambah menjadi 10.328 orang, termasuk 4.237 anak-anak, 2.719 wanita, dan 631 lansia, sementara jumlah korban tewas dari pihak Israel mencapai lebih dari 1.400 orang dan ribuan orang lainnya luka-luka, menurut data statistik resmi dari masing-masing pihak.
Israel memutus pasokan bahan bakar, listrik, makanan, dan air ke Gaza sebagai bentuk hukuman terhadap Gaza setelah Hamas, penguasa daerah kantong tersebut, melancarkan serangan mendadak ke kota-kota perbatasan Israel pada awal Oktober lalu.
Seorang wanita yang mengidentifikasi dirinya sebagai Um Tawfiq menuturkan, "kami tidak dapat menemukan makanan atau air. Harga-harga tinggi, dan kami tidak memiliki uang atau pemasukan."
Distribusi makanan dan pasokan medis di bagian selatan Gaza menjadi terganggu di tengah meningkatnya kebutuhan warga. Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) terus bekerja demi memenuhi kebutuhan para pengungsi.
Seorang wanita Palestina memasak makanan mereka di sebuah kamp yang berafiliasi dengan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, pada 1 November 2023. (Xinhua/Rizek Abdeljawad)
Upaya UNRWA untuk membatasi distribusi tepung terigu ke toko-toko roti dan menjualnya kepada warga dengan harga yang lebih murah telah membantu meringankan sebagian penderitaan warga Palestina.
Waleed Mahanna, yang berasal dari Gaza dan kini tinggal bersama kerabatnya di Rafah, mengatakan, "setiap hari, saya harus berdiri mengantre sejak fajar hingga siang hari demi membeli sepotong roti."
"Ini adalah situasi tidak manusiawi terburuk yang dapat dialami seseorang," ujarnya.
Baca juga: Konvoi bantuan Palang Merah Internasional saat menuju ke Kota Gaza sempat diserang
Baca juga: Gempuran pasukan Israel paksa 70 persen penduduk Gaza untuk mengungsi