Pekanbaru (ANTARA) - Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Lahan Masyarakat dan Perusahaan terus mendalami dokumen dan bukti aduan masyarakat terkait sengketa lahan yang terjadi. Tahapan kerja pansus sudah masuk dalam analisis hukum dan analisis dampak sosial yang ditimbulkan dari kisruh tersebut.
Ketua Pansus Konflik Lahan DPRD Riau Marwan Yohanis di Pekanbaru, Senin, menemukan kejanggalan dan keanehan saat mendalami laporan masyarakat, seperti temuan perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU) yang tidak wajar, kemudian adanya indikasi lahan milik masyarakat dan masyarakat adat yang diklaim oleh perusahaan. Namun begitu, pihaknya tengah mensinkronisasikan bukti-bukti yang ada dengan regulasi dan keterangan pihak terkait.
"Sudah kita lakukan analisa hukum dan analisa dampak sosialnya, namun ini juga diperkuat dengan keterangan pihak-pihak yang berkompeten. Nanti di awal tahun 2022, kita akan panggil instansi terkait, mulai dari Badan Pertanahan, Dinas Perkebunan dan stake holder lainnya. Baru setelah itu kita lengkapi lagi dengan analisa hukumnya," ucap Marwan.
Marwan juga akan memanggil terlapor yang merupakan perusahaan. Selain itu pansus juga akan turun langsung ke lokasi konflik. Bahkan pansus juga akan melakukan studi kasus ke daerah yang sudah berhasil menyelesaikan perseteruan masyarakat dan perusahaan.
"Setelah tahapan ini selesai, barulah kita panggil perusahaan yang dilaporkan. Kita akan analisa lagi dengan melakukan uji petik ke beberapa daerah yang sengketanya sudah sangat luas. Kita juga akan pelajari ke daerah yang telah berhasil menangani konflik lahan untuk dijadikan patokan," kata dia.
Dikatakannya, karena ranah DPRD Riau hanya bisa melahirkan rekomendasi dan pengawasan. Pihaknya berharap agar pemerintah dapat mengeksekusi sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan.
Ketika ditanyakan apakah rekomendasi ini termasuk mencabut izin perusahaan yang bermasalah. Marwan menjelaskan bahwa hasil rekomendasi yang dikeluarkan pansus tergantung tingkat kesalahan perusahaan.
"Tergantung dari konflik itu sendiri. Kalau dari hasil rekomendasi, ada izin yang tidak sesuai aturan bisa saja kita minta tinjau ulang pemberian izin. Bisa saja cabut izinnya atau diproses dari awal," ucapnya.
Sebagai informasi, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat konflik agraria yang terjadi selama 2015-2020 mencapai 2.291 kasus tersebar di seluruh Indonesia. Berdasarkan catatan KPA, dalam periode 2015-2020, sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik tertinggi, yaitu 851 kasus. Untuk di Riau sendiri, konflik agraria sangat tinggi yang mengakibatkan perseteruan tak berkesudahan antara masyarakat versus korporasi, bahkan sejumlah kepala daerah terjerat pusaran hukum karena perpanjangan izin lahan perkebunan.