Akademisi: Remediasi konflik lahan harus dipahami semua pihak

id Konflik lahan di Inhu

Akademisi: Remediasi konflik lahan harus dipahami semua pihak

Peserta dialog pemangku kepentingan terhadap implementasi kebijakan FSC di Kabupaten Indragiri Hulu (ANTARA/Annisa Firdausi)

Indragiri Hulu (ANTARA) - Akademisi dan mantan Rektor Universitas Riau Prof. Dr. Ashaluddin Jalil menilai proses remediasi terhadap konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat adat harus dilakukan secara menyeluruh, melalui sosialisasi, edukasi, serta pelibatan aktif seluruh pemangku kepentingan.

Pernyataan itu disampaikan Ashaluddin dalam dialog pemangku kepentingan terkait implementasi kebijakan Forest Stewardship Council (FSC) di Kabupaten Indragiri Hulu, Selasa.

“Antusiasme masyarakat agar konflik diselesaikan itu tinggi. Apalagi jika bicara investasi, tentu tujuannya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tapi jika berdampak pada konflik, maka ini harus dirapikan bersama,” kata Ashaluddin.

Ia menekankan bahwa proses remediasi dan sertifikasi tidak dapat berjalan jika ada satu komponen yang diabaikan.

Oleh karena itu, penting adanya edukasi dan pemahaman bersama agar seluruh proses berlangsung transparan dan adil.

“Harus terus disosialisasikan, didiskusikan. Semua pihak harus paham arah dan tujuannya. Kalau tidak, satu saja bermasalah, maka seluruh proses bisa gagal,” ujarnya.

Ashaluddin juga menyoroti kondisi di Indragiri Hulu, yang menurutnya memiliki kekhususan karakter wilayah dan masyarakat adat. Ia menyebut sejumlah konflik lahan bahkan telah memicu tindakan represif yang tidak menyelesaikan akar persoalan.

“Ketika masyarakat mempertahankan wilayahnya lalu justru dipanggil aparat dan ditahan, ini mencederai semangat keadilan. Situasi seperti ini tidak boleh terus berulang,” katanya.

Menurut dia, negara seharusnya hadir untuk membongkar masalah struktural yang menyebabkan konflik, termasuk meninjau ulang tata kelola lahan dan konsesi yang selama ini dianggap sepihak.

Ia menyatakan, jika seluruh pihak sudah memahami pentingnya keberlanjutan ekologis dan sosial, maka proses remediasi bisa berjalan dengan baik dan mengurangi potensi bencana ekologis ke depan.

“Yang kita ubah bukan hanya relasi sosial masyarakat, tapi juga cara kita mengelola ekologi. Jika dilakukan benar, ini bisa mengurangi bencana, kerusakan, dan konflik berkepanjangan,” ujarnya.

Ashaluddin menilai proses ini tidak bisa instan. Namun upaya dialog, sosialisasi, dan edukasi yang kini dilakukan sudah menjadi langkah awal yang patut diapresiasi.

“Semua pihak harus terus didorong untuk mengenali perannya. Prosesnya panjang, tapi sangat penting untuk masa depan pengelolaan hutan yang berkelanjutan,” tambah Ashaluddin.