Selatpanjang (ANTARA) - DPRD Kepulauan Meranti memediasi penyelesaian sengketa lahan antara PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan warga Desa Tanjung Medang, Kecamatan Rangsang.
Rapat dengar pendapat yang digelar Selasa (12/8) itu diharapkan mampu meredam ketegangan yang sudah berbuntut laporan polisi.
Mediasi berlangsung di ruang rapat DPRD Kepulauan Meranti, dipimpin Ketua DPRD Khalid Ali, didampingi Wakil Ketua Antoni Sidarta dan Ketua Komisi I Hatta. Hadir pula anggota Komisi I DPRD, pejabat Pemkab Meranti, camat, kepala desa, perwakilan warga, kepolisian, serta manajemen PT SRL.
Ketua DPRD Khalid Ali menegaskan penyelesaian konflik harus segera dilakukan demi menjaga hak masyarakat dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
“Melalui fasilitasi DPRD, kita berharap ada jalan keluar yang menguntungkan semua pihak,” ujarnya.
Perwakilan warga, Anggap Dwi Yugo, mengaku dilaporkan ke Polda Riau atas dugaan provokasi dan perusakan fasilitas perusahaan di lahan yang diklaim sebagai milik warga. Ia membantah tuduhan tersebut.
“Kami tidak melakukan pengrusakan. Beberapa warga punya Surat Keterangan Tanah (SKT), sebagian lainnya masih menunggu dari desa,” jelas Yugo.
Yugo memperkirakan luas lahan warga yang disengketakan mencapai 40 petak, rata-rata berukuran 50 depa lebar dan 200 depa panjang.
Menanggapi persoalan tersebut, Wakil Ketua DPRD, Antoni Sidarta mengharapkan agar persoalan tersebut bisa selesai secepatnya, agar pihak perusahaan mencabut laporan polisi atas masyarakat. Kemudian menyelesaikan soal sengketa lahan yang masing-masing pihak memiliki alas hak masing-masing.
"Memang persoalan hukum dan penyelesaian lahan dua hal yang berbeda. Tetapi berkaitan erat. Kami berharap perusahaan bisa segera mencabut laporan dan menyelesaikan secara musyawarah soal sengketa lahan," pintanya.
Asisten I yang juga Plh Sekda Meranti, Sudandri Jauzah SH, menerangkan bahwa pemerintah terus berupaya melakukan sejumlah langkah untuk penyelesaian konflik tersebut. Terutama melalui Forum Dengar Pendapat (FDP).
"Dalam rapat sebelumnya, disepakati pemerintah daerah akan menyurati pihak perusahaan agar menahan diri dari kegiatan yang berpotensi memicu permasalahan, dan fokus pada penyelesaian konflik terlebih dahulu," katanya.
Kepala Bagian Hukum, Maizhatul Baizura, menerangkan bahwa berdasarkan kondisi existing, Pulau Rangsang masuk dalam kawasan hutan, yang terdiri dari beberapa peruntukan, termasuk kawasan hutan produksi. Sejumlah luasan kawasan ini telah diberikan negara kepada perusahaan pemegang izin konsesi HTI.
“Awalnya, persoalan muncul karena masyarakat masuk ke dalam areal konsesi perusahaan. Pada 13 Januari 2025, perusahaan tidak hadir dalam pertemuan yang membahas masalah ini, yang dihadiri oleh empat desa: Wonosari, Citra Damai, Sungai Gayung Kiri, dan Tanjung Kedabu,” jelas Maizhatul
Manajer Humas PT SRL, Fahmi menjelaskan, pihaknya telah mengantongi izin dari Kementerian Kehutanan sejak 2007 untuk blok 5 di Rangsang seluas 18.890 hektare. Pada 2022, izin tersebut berubah menjadi PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) dengan luas 18.170 hektare setelah dilakukan pengurangan area di Tasik Air Putih.
"Dari total konsesi tersebut, kawasan lindung mencapai 5.120 hektare atau sekitar 28 persen, sedangkan areal budidaya 13.000 hektare dengan luas yang baru ditanam seluas 9.000 hektare," katanya.
Menurutnya, masih ada lebih kurang 4000 hektare lahan dalam konsesi yang akan digarap berdasarkan RKT yang diterbitkan Kementrian Kehutanan. "Jika ada tanaman masyarakat, kami tidak akan mengganggu. Operasional dilakukan di areal belukar, sedangkan jika ada tanaman, penyelesaian dilakukan secara baik dengan win-win solution," sebutnya.
Ditambahkannya pada 2024, RKT PT SRL mencakup wilayah Desa Tanjung Medang. Namun, sebagian pihak mengklaim areal tersebut sebagai lahan masyarakat. Fahmi menegaskan bahwa areal kerja PT SRL berada di kawasan hutan yang kewenangannya ada di Kementerian Kehutanan.
"Perusahaan tidak berwenang melepaskan, meminjam pakai, atau menyerahkan kawasan kepada pihak manapun," tegasnya.
Menanggapi penyampaian sebelumnya dari Dwi Yugo soal dugaan intimidasi dan kekerasan, Fahmi mengatakan perusahaan menghormati proses hukum.
"Kami tidak akan melaporkan masyarakat yang tidak melakukan tindak pidana. Upaya penyelesaian sudah kami lakukan dan sedang berproses," jelasnya.
Fahmi juga mengungkapkan bahwa PT SRL belum memiliki pembagian wilayah administrasi desa yang definitif di dalam konsesi. Saat ini, perusahaan mengacu pada peta Batas Guna (BG) untuk menentukan batas wilayah administrasi yang masuk konsesimeliputi Desa Tebun, Repan, Penyagun, Citra Damai, dan Wonosari, Teluk Samak, Tanjung Medang, Sungai Gayung Kiri, Tanjung Kedabu,Telesungdan Desa Bungur.
Sejak tahun 2012, perusahaan yang beroperasi di wilayah Kecamatan Rangsang itu telah memberikan kontribusi kepada desa-desa sekitar melalui program tanggung jawab sosial (CSR) sebesar Rp1 miliar per tahun. Selain bantuan dana, perusahaan juga rutin menggelar kegiatan motivasi pencegahan kebakaran, membekali masyarakat dengan pengetahuan antisipasi kebakaran lahan dan hutan.
Tak hanya sosialisasi, perusahaan memberikan apresiasi berupa hadiah Rp100 juta kepada desa yang bebas kebakaran. Jika terjadi kebakaran di bawah dua hektare, hadiah yang diberikan sebesar 50 persen.
“Kami juga membina Masyarakat Peduli Api (MPA) di sekitar perusahaan. Tanggung jawab kami juga termasuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sesuai luasan, bahkan lahan yang digarap dan diduduki masyarakat,” jelas Fahmi.
Selain itu, perusahaan memiliki kewajiban membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) sebesar Rp8.400 per meter kubik kayu, yang disetor ke negara sebagai syarat resmi pengangkutan hasil hutan.
Dalam pertemuan bersama pihak perusahaan, Camat Rangsang menyampaikan permohonan agar setiap rencana kerja tahunan (RKT) diinformasikan kepada pemerintah kecamatan.
“Selama ini kami baru tahu setelah muncul konflik. Saat turun ke lapangan bersama polsek dan kepala desa, justru kami yang disalahkan masyarakat. Padahal mereka adalah warga kami,” ujarnya.
Menanggapi berbagai persoalan yang muncul antara masyarakat dan pihak perusahaan, Ketua Komisi I DPRD Kepulauan Meranti, H. Hatta, menegaskan pihaknya tidak ingin masyarakat menjadi korban dan perusahaan pun bermasalah.
“Kami menyikapi Permen No. 28 Pasal 26 terkait kemitraan dengan masyarakat. Sejak 2009, luas lahan mencapai 12 ribu meter, tetapi manfaat yang dirasakan masyarakat belum signifikan,” ujarnya.