Jakarta (ANTARA) - Seorang peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggunakan teknologi untuk mengubah limbah masker medis menjadi produk bernilai tambah.
"Jadi dulunya sampah tidak ada nilainya, dia (limbah masker medis) bisa dikonversi menjadi produk berupa menjadi bijih plastik atau pelet," kata peneliti pada Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) LIPI Akbar Hanif Dawam Abdullah, saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Bila ingin tetap cantik meski kenakan masker? Begini caranya
Pada masa pandemi COVID-19, kata dia, penggunaan masker medis meningkat signifikan, baik oleh masyarakat umum maupun di fasilitas pelayanan kesehatan, untuk mencegah penularan COVID-19.
Menurut dia, jika tidak dikelola dengan baik, masker-masker medis yang sudah dipakai itu akan berdampak pada tingginya timbulan sampah masker medis.
Baca juga: Bupati Siak bagikan masker di dua kampung zona oranye COVID-19
Dawam menuturkan limbah masker medis sekali pakai berbahan plastik, yakni polipropilen yang dapat diubah menjadi bijih plastik yang kemudian bisa diolah menjadi produk bernilai tambah, seperti pot, bak sampah, dan ember.
Agar tidak menjadi sampah yang berakhir di tempat pemprosesan akhir dan mencemari lingkungan, menurut dia, maka limbah masker medis dapat diolah atau didaur ulang menggunakan teknologi ekstrusi untuk mengubah limbah masker medis menjadi produk berguna.
Baca juga: Polsek Batang Gansal, Inhu, ajak warga gunakan masker
Dalam proses daur ulang, katanya, limbah masker medis dipanaskan pada suhu tertentu, sehingga menghasilkan pelet atau bijih plastik.
"Bijih plastik ini sebenarnya memiliki nilai komersial karena bijih plastik atau pelet ini adalah bahan baku industri plastik," tutur Dawam.
Baca juga: Putus penyebaran COVID-19, pedagang Pasar Kayu Jati dapat masker gratis
LIPI ubah limbah masker medis jadi produk bernilai tambah
Masker bekas yang dibuang di jalan. Masyarakat di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, diminta untuk ikut peduli agar tidak membuangnya sembarangan karena termasuk limbah infeksius. (ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif)
