Petani Madu Sialang Tesso Nilo Kesulitan Modal

id petani madu, sialang tesso, nilo kesulitan modal

Pekanbaru, 13/5 (ANTARA) - Petani madu sialang mengeluhkan kendala modal untuk mengembangkan produk organik dari hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Provinsi Riau, agar dapat meraih nilai tambah bagi petani setempat.

"Potensi madu sialang sebenarnya cukup banyak, tapi kami kekurangan modal untuk mengolahnya jadi produk yang punya nilai tambah," kata Ketua Forum Masyarakat Tesso Nilo, Radaimon, kepada ANTARA di Pekanbaru, Kamis.

Masyarakat sekitar taman nasional sebenarnya telah mulai membentuk kelompok industri rumah tangga (home industry) untuk pengembangan madu sialang sejak 2004. Kini ada empat sentra pengembangan madu sialang TNTN, yakni di Desa Lubuk Kembang Bungo dan Air Hitam di Kabupaten Pelalawan, Desa Gunung Sahilan di Kabupaten Kampar, dan Logas Tanah Datar di Kabupaten Kuantan Singingi.

Namun, Radaimon mengatakan hingga kini produk yang dihasilkan belum memberikan nilai tambah karena masih dijual dalam bentuk curah dengan harga berkisar Rp17.000-Rp20.000 per kilogram (kg). Ia mengatakan petani sempat mengembangkan produk dalam bentuk kemasan botol dan mengurangi kadar air madu, sehingga harga jual bertambah menjadi berkisar Rp25.000-Rp30.000 per 350 mililiter.

Namun, ia mengatakan produk pengembangan petani tidak bisa menembus pasar karena belum ada sertifikasi dari Aliansi Organik Indonesia (AOI).

Para petani mengaku cukup kesulitan untuk memnuhi persyaratan usaha dan pengembangan bisnis. Biaya untuk mengurus izin usaha juga dinilai cukup besar, seperti untuk mendapatkan rekomendasi pengurusan SIUP yang hanya satu lembar memakan biaya sekitar Rp700 ribu di kantor kecamatan.

"Kami berharap pemerintah mau membantu untuk pengembangan produk madu sialang, seperti bantuan peralatan, pembinaan hingga sertifikasi," ujarnya.

Humas WWF Riau, Syamsidar, mengatakan pengembangan usaha madu sialang akan sangat berguna bagi masyarakat sekitar TNTN agar mereka bisa memanfaat hasil hutan secara lestari. Dengan begitu, warga diharapkan tidak lagi diperalat oleh para cukong kayu yang mendanai mereka untuk merambah kawasan taman nasional seperti sebelumnya.

"Warga sebenarnya sudah secara turun temurun mengelola madu dari pohon sialang. Tapi untuk membantu meningkatkan taraf hidup mereka perlu ada pembinaan agar pengelolaannya dilakukan secara lestari dan higienis," ujarnya.

Menurut dia, potensi madu di TNTN cukup besar karena dari satu pohon sialang minimal bisa menghasilkan minimal 1,5 ton madu dari tiga kali panen dalam setahun. Sedangkan jumlah pohon sialang masih cukup banyak, seperti di blok Ukui mencapai 70 pohon yang bisa menghasilkan madu alami.

Ia menambahkan, WWF bersama Balai TNTN mulai tahun 2009 telah membantu pembinaan bagi para kelompok tani agar dapat mengelola madu yang lebih baik untuk bisa memperoleh sertifikasi AOI.

"Akan lebih baik apabila pemerintah setempat ikut membantu mengembangkan potensi madu sialang Tesso Nilo," katanya.