Pelalawan (ANTARA) - Sinar surya menyeruak di balik dedaunan hijau di antara pepohonan rindanghutan ulayat Imbo Tanah Baguo, Langgam, Kabupaten Pelalawan. Di kejauhan, suara burung bersahutan dengan retak rantingterinjak di antara semak.
Dari kasat mata, hutan ini tampak seperti hutan biasa. Tak terlalu luas, hanya sekitar empat hektare. Namun bagi masyarakat Langgam, Imbo Tanah Baguo bukan sekadar hutan. Ia adalah rumah, sumber kehidupan, dan tempat bersemayamnya kekuatan yang tak kasat mata.
"Orang asli sini saja tak berani sembarangan masuk," ujar seorang warga setengah berbisik ketika rombongan kami tiba di pintu masuk hutan.
Ucapannya bukan ancaman, melainkan bentuk penghormatan terhadap sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.
Tali Bapilin Tigo: tiga penjaga hutan
Imbo Tanah Baguo adalah bagian dari hutan ulayat yang masih tersisa di Kelurahan Langgam. Lurah Langgam, M. Harlis, menyebut ada tiga hutan ulayat yang masih bertahan di wilayah itu. Selain Imbo Tanah Baguo, terdapat pula Imbo Tanah Baleghiang, dan Imbo Salak.
Ia menilai kelestarian hutan tersebut tak lepas dari kerja sama tiga unsur masyarakat, yang dikenal dengan istilah Tali Bapilin Tigo: pemerintah, Ninik Mamak, dan ulama.
"Tiga unsur ini selalu berjalan bersama dalam setiap urusan kampung. Termasuk menjaga hutan ulayat agar tidak rusak," terang Harlis.
Kerja sama itu kini mendapat dukungan tambahan sejak Maret 2025, ketika Kelurahan Langgam resmi menjalin kemitraan dengan Earthworm Foundation (EF). Melalui pendampingan itu, mereka berupaya menjaga hutan sambil mencari bentuk ekonomi baru, seperti pertanian multikultur.
Namun bagi warga, alasan utama menjaga hutan bukan semata urusan ekonomi, tapi kepercayaan dan ikatan batin yang telah diwariskan turun-temurun.
Di dalam hutan, beberapa batang pohon besar terlihat diikat dengan kain atau tali, sebagian diberi nama oleh warga. Nama-nama itu bukan sekadar penanda, melainkan pengingat bahwa setiap pohon memiliki 'jiwa' dan peran.
"Itu cara kami mengenali tiap pohon," kata seorang tokoh adat di Langgam.
Energi gaib dan aturan tak tertulis
Datuk Penghulu Besar Langgam, Nasrullah menjelaskan bahwa masyarakat percaya hutan ini memiliki energi magis. Ia bercerita, jika kampung sedang ditimpa bala atau musibah, warga akan membawa sesajen untuk 'Datuk' yang dianggap menempati hutan tersebut.
"Kami percaya, hutan ini dijaga makhluk tak kasat mata. Kalau ada orang jahat berniat merusak, biasanya dia akan tersesat," ujarnya.
Beberapa warga bahkan pernah tersesat berhari-hari di dalam hutan yang luasnya tak seberapaa. Mereka mengaku seperti diputar-putar di tempat yang sama, bahkan ada yang mengatakan sempat melihat kampung tak kasat mata di antara pepohonan.
Kepercayaan seperti itu menjadi aturan tak tertulis yang lebih kuat dari hukum formal. Walau tak ada batas pagar, setiap orang di Langgam tahu, hutan itu tak boleh dijarah.
Kini, dengan hadirnya Earthworm Foundation, plang berdiri di batas hutan yang bersinggungan langsung dengan jalan utama. Masyarakat pun berharap ada aturan tertulis yang memperkuat perlindungan itu.
"Kami ingin ada legal standing, supaya hutan ini diakui secara resmi," kata Nasrullah.
Tabib yang menyatu dengan alam
Hutan ini juga menjadi sumber pengobatan tradisional bagi masyarakat sekitar. Salah satu penjaganya, Aren (75), dikenal sebagai tabib kampung. Setiap hari, ia menerima warga yang datang berobat, mulai dari demam, kudis, hingga diabetes.
"Kayu gading untuk demam, kayu todong dan jago-jago untuk gula (diabetes)," katanya sambil memperlihatkan potongan akar yang baru dipetik dari hutan. Tangannya keriput, tapi caranya memegang tanaman menunjukkan pengalaman panjang.
Aren sudah tiga puluh tahun menjadi tabib, menyambung peran ayahnya yang dulu juga penyembuh kampung. Sebelum masuk ke hutan, ia selalu berdoa dan meminta izin pada penghuni hutan yang ia sebut sebagai orang bunian.
"Kalau sudah minta izin, nanti apa yang dicari pasti ketemu," ujarnya lirih.
Bagi Aren, hutan bukan sekadar kumpulan pohon, melainkan apotek hidup yang menyimpan pengetahuan purba.
"Kalau hutan hilang, bagaimana kami bisa berobat?," tanyanya pelan.
Jejak kehidupan di antara pohon Seminai
Menurut Nasrullah, hutan ulayat ini juga menjadi rumah bagi berbagai satwa liar seperti burung, siamang, beruang, bahkan harimau. Selain itu, di antara vegetasinya tumbuh pohon Seminai, salah satu spesies kayu yang kini mulai langka.
"Kami ingin anak cucu kami tetap tahu seperti apa itu pohon Seminai," ujarnya.
Earthworm Foundation memandang hutan ini bukan hanya penting dari sisi ekologi, tapi juga sosial dan budaya. Sosial officer EF, Ozi Sukma R menjelaskan bahwa program ini telah dimulai sejak akhir 2024 melalui Participatory Land Use Planning (PLUP) atau pemetaan penggunaan lahan secara partisipatif untuk memastikan fondasi program berjalan sesuai konteks di Kelurahan Langgam.
"Tantangan terbesar kami adalah meyakinkan masyarakat bahwa inisiatif ini untuk kebaikan bersama," kata Oji.
Pendekatan yang dilakukan secara sabar akhirnya berbuah hasil. Pada Maret 2025, kerja sama resmi dimulai, fokus pada restorasi dan penguatan kelembagaan adat. Namun tantangan dari luar terus mengintai, ekspansi kebun sawit mengepung kawasan ulayat.
"Hutan ini memang dikelola oleh pemangku adat secara turun temurun, tapi status hukumnya masih APL (Area Penggunaan Lain). Artinya, secara hukum, ia tetap berisiko dieksploitasi," jelasnya.
Meski luasnya hanya empat hektare, hilangnya hutan ulayat seperti Imbo Tanah Baguo memiliki dampak jauh lebih besar dari yang terlihat, karena ia terhubung langsung dengan persoalan deforestasi dan krisis iklim di tingkat nasional hingga global.
Menurut IPCC, deforestasi dan degradasi hutan menyumbang hingga sekitar 16–20 persen emisi gas rumah kaca dunia, terutama dari pelepasan karbon yang tersimpan di biomassa dan tanah gambut. Laporan Global Forest Watch mencatat kehilangan hutan primer tropis mencapai 6,7 juta hektare pada 2024, dengan kebakaran sebagai kontributor utama.
Hilangnya tutupan hutan tidak hanya mempercepat kenaikan konsentrasi CO di atmosfer, tetapi juga mengganggu pola curah hujan regional, memperburuk gelombang panas, dan menurunkan kemampuan bumi menjaga stabilitas iklim dalam jangka panjang.
Di Indonesia, tekanan terhadap hutan juga masih tinggi. Pada 2024 negara ini kehilangan ratusan ribu hektare hutan alami, dengan emisi setara puluhan juta ton CO. Riau termasuk wilayah yang paling rentan akibat konversi hutan serta kebakaran berulang. Karena itu, hilangnya hutan kecil di tingkat lokal ikut berkontribusi dalam rantai dampak yang lebih luas terhadap pemanasan global.
Menyemai harapan di tanah yang sama
Selain menjaga hutan, masyarakat Langgam kini mulai mencari cara baru untuk bertahan hidup tanpa menebang pohon. Salah satunya sistem pertanian multikultur yang difasilitasi EF. Warga mulai menanam cabai di lahan pekarangan milik dinas pertanian setempat.
Tampak seperempat hektare lahan yang awalnya kosong, kini hijau ditanami cabai yang kini tumbuh subur. Menjadi sumber ekonomi baru yang populer.
"Alasan kami pilih cabai karena peminatnya banyak di Langgam, dan pemasarannya mudah. Kalau bisa hidup dari cabai, tak perlu lagi ganggu hutan," ujar Norkholis, seorang petani setempat.
Langkah sederhana itu menjadi titik awal menuju kemandirian. Dari cabai, warga belajar bahwa ekonomi bisa tumbuh tanpa mengorbankan alam. Dan bagi EF, inilah bentuk nyata dari pendekatan sosial yang mereka usung, memperkuat masyarakat agar bisa melindungi hutan dengan kesadaran, bukan sekadar larangan.
Kepercayaan dan konservasi yang sejalan
Pengamat lingkungan dan akademisi UIN Suska Riau, Elvriadi, menilai bahwa kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan gaib dalam hutan sejatinya merupakan bentuk konservasi tradisional yang sangat bijak.
"Menurut para tetua adat dahulu, kepercayaan itu dibuat untuk mencegah anak kemanakan serta masyarakat mengambil hutan sembarangan," jelasnya.
Ia menyebut, konsep kepercayaan itu justru sejalan dengan konservasi modern. Misinya sama, menjaga hutan, menjaga keanekaragaman hayati.
"Itu menunjukkan kehalusan budi masyarakat kita. Mereka melestarikan alam lewat kesantunan," ujarnya.
Elvriadi juga menilai kehadiran Earthworm Foundation di Langgam selaras dengan nilai-nilai lokal.
"Pemerintah seharusnya mengapresiasi dan mendukung lembaga seperti ini, karena tujuannya sinkron dengan aspirasi masyarakat dan kearifan lokal. Jangan alergi terhadap pihak yang membawa semangat pelestarian," tegasnya.
Menjaga yang tak tergantikan
Mentari kian tinggi, cahayanya menembus sela pepohonan Imbo Tanah Baguo. Suara burung masih bersahutan, lalu lalang mencari makan.
Saat rombongan keluar, riuh kelompok ungko terdengar di kejauhan. Seolah turut mengantar pesan: jagalah rumah kami.
Bagi warga Langgam, hutan ini bukan peninggalan masa lalu, melainkan warisan masa depan. Di dalamnya tersimpan cerita, keyakinan, dan pengetahuan yang tak tergantikan.
Hutan kecil ini menjadi saksi betapa manusia dan alam bisa hidup berdampingan, selama ada rasa hormat di antara keduanya.
Karena bagi mereka, menjaga Imbo Tanah Baguo bukan sekadar melestarikan hutan, melainkan menjaga identitas, menjaga keseimbangan antara yang terlihat dan yang tak kasat mata. Selama keyakinan itu masih hidup, Imbo Tanah Baguo akan tetap berdiri. Hijau, tenang, dan berarti.
