Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pihak PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Sumatera Bagian Utara terhambat dalam menyelesaikan pembangunan jaringan transmisi 150 KV di Pekanbaru karena adanya masalah sengeketa lahan.
Sengketa lahan tersebut terutama di jalur PLTU Tenayan Raya - Perawang tepatnya di Kelurahan Kawasan Industri Tenayan, Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru.
Manajer Unit Pelaksana Konstruksi Jaringan Sumatera (UPKJS) II, PT PLN Persero, Rachmat Basuki mengatakan ada dua unit tower yang tak kunjung bisa dirampungkan pengerjaannya sejak Januari tahun ini.
"Selalu saja ada pihak pihak yang mengklaim tanah tempat dibangunnya tapak tower PLN tersebut," ujarnya.
Menurut Rachmat, mulanya lahan tapak tower tersebut diakui milik Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru. Atas izin pihak pemko lah, sejak 2015 lalu, pihaknya mulai membangun tower transmisi 150 KV di kawasan Tenayan Raya.
Namun sejak mulai pembangunan, ada saja pihak masyarakat yang mengklaim bahwa tanah tapak tower tersebut milik mereka. Urusan bertambah runyam karena satu lahan tapak tower bisa diklaim oleh lebih dari satu pihak.
Akhirnya pihak PLN berusaha untuk mengambil jalan tengah agar pembangunan transmisi bisa terus berjalan. Pihaknya mengganti rugi tanaman yang ditumbangkan untuk kepentingan pembangunan tapak tower. Karena pihak pemko mengaku tanaman tersebut bukan miliknya.
Dalam tiga tahun terakhir, ada sekitar 60 batang pokok tanaman yang diganti PLN. Nilai ganti ruginya pun sekitar Rp 750 ribu per pokok sesuai dengan yang ditetapkan pihak appraisal.
Masalahnya lanjut Rachmat, para pihak yang mengaku pemilik lahan tadi masih menuntut ganti rugi atas tanah mereka karena dibangun tower.
"Tapi, kami tidak bisa memberi ganti rugi karena tanahnya bersengkata. Lagipula tidak ada pihak yang memiliki surat sah yang bisa dijadikan dasar untuk ganti rugi," ujarnya.
Untuk itu, pihaknya meminta kepada Pemko Pekanbaru untuk dapat memperjelas legalitas sejumlah tanah tapak tower tadi.
"Kalau tidak ya begini, ada saja pihak yang menghalangi kami bekerja," ungkapnya.
Para pekerja subkontraktor yang melaksanakan pembangunan tower kerap mendapat intimidasi baik oleh masyarakat maupun preman bayaran yang membawa senjata tajam. Para pekerja pun merasa tidak nyaman dengan kondisi tidak kondusif ini dan akhirnya meninggalkan lokasi.
"Kondisi ini terjadi berulang kali. Baru kerja beberapa waktu kemudian diintimidasi karena status lahan sengketa tadi," ungkapnya.