Energi harapan Suku Duano, terpencil namun tak terasing

id suku duano Oleh Afut Syafril Nursyirwan

Energi harapan Suku Duano, terpencil namun tak terasing

Asman, mengaduk ebi yang tengah dijemur di bawah lampu hangat dan di atas mesin salai, atau mesin pengering buatan untuk menjemur ebi. Suku Duano atau Suku laut mayoritas bekerja sebagai nelayan udang dan pembuat ebi. Butuh lebih dari 8 hari jika kering alami dari matahari, dengan bantuan mesin bisa memangkas separuhnya. (Afut Syafril)

Pekanbaru (ANTARA) - Delapan jam perjalanan dari Pekanbaru menuju Concong Luar, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, adalah perjalanan menembus waktu. Serasa tak berujung jika mata melihat pada cakrawala. Hingga pada masa, jalan darat terputus di Tembilahan, lalu berganti kapal kayu, menembus arus menuju selatan. Dua jam di atas gelombang, dan langit tiba-tiba murung. Ombak menggulung, angin mengguncang terpal, sementara suara mesin kapal berderu seperti detak jantung yang menolak berhenti.

Badai datang tanpa salam, namun di lautan hanya keberanian yang mampu menunda takut. Di tengah perjalanan itu, terbentang sebuah kesadaran, hidup di laut bukan hanya soal mencari ikan, tapi soal bertahan, tentang bagaimana harapan dihidupkan di antara hempasan ombak dan kesunyian.

Menjelang senja, di ujung rimba bakau yang runcing di mana lebih mirip jari raksasa, berdirilah Desa Concong Luar. Rumah-rumah panggung berjejer di atas air asin. Perahu kayu terikat di tiang pancang, anak-anak berlarian di jembatan kayu sambil tertawa. Di sinilah tinggal Suku Duano — suku laut yang telah turun-temurun menjaga gelombang. Pewaris biru langit dan asin laut, yang kini tengah beradaptasi dengan cahaya baru: listrik dari darat yang akhirnya tiba di tepian mereka.

Concong Luar dulu dikenal sebagai wilayah isolated, daerah terpisah yang hanya bisa ditempuh lewat laut, bergantung pada cuaca dan arus. Tapi kini, cahaya telah menembus gelap. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang dioperasikan PLN kini menjadi jantung baru bagi desa di ujung selat itu.

Menurut General Manager PLN Unit Induk Distribusi Riau dan Kepulauan Riau, Joni, rasio elektrifikasi PLN di Riau telah mencapai 95,32 persen, sedangkan rasio gabungan PLN dan pembangkit non-PLN mencapai 99,99 persen. Hampir seluruh rumah tangga kini telah merasakan terang di malam hari.

“Khusus di Concong, seluruh masyarakat dilayani oleh satu pembangkit PLTD yang beroperasi penuh,” ujarnya. “Beban puncak listrik sekitar 680 kilowatt, sementara kapasitas daya pembangkit mencapai 1.300 kilowatt atau 1,3 Mega. Artinya, pasokan baru terpakai separuhnya. Masih ada potensi besar bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat,” ujar Joni optimis.

PLN menyadari tantangan besar dalam menyalurkan energi ke daerah terpencil seperti Concong. Tidak ada akses jalan, hanya perairan dan hutan bakau. Setiap peralatan besar harus diangkut melintasi laut, memakan waktu dan biaya tinggi. Namun semangat untuk menghadirkan terang tak pernah surut.

“Untuk wilayah isolated seperti Concong, kami bentuk regu khusus yang hanya bertugas merawat jaringan setempat,” ujar sang GM. “Mereka memastikan listrik tetap menyala 24 jam tanpa padam. Ini bentuk komitmen PLN menjaga energi bagi masyarakat pesisir”.

Kini, di bawah sinar lampu yang tak lagi redup, malam di Concong bukan lagi ruang sunyi. Anak-anak belajar di teras rumah panggung, ibu-ibu menjemur udang ebi di bawah cahaya pagi, dan para nelayan menyiapkan perahu tanpa harus menunggu siang datang.

Salah satu yang merasakan manfaat itu adalah, Yusuf, tetua Suku Duano tersebut duduk di depan rumahnya yang berdiri di atas tiang kayu. Usianya senja, rambutnya memutih seperti buih ombak di pantai. Tangannya cekatan menjahit jala yang robek, kebiasaan lama yang tak lekang waktu. Di wajahnya, tergambar kebijaksanaan laut, tenang, tapi dalam.

“Dulu, waktu listrik belum masuk, malam itu hanya gelap dan angin,” ujarnya perlahan, matanya menatap air yang beriak pelan di bawah rumahnya. “Kalau mau bekerja, tunggu matahari. Sekarang, malam pun hidup,” kenangnya.

Yusuf adalah tetua Suku Duano, satu dari sedikit orang yang masih memegang tradisi melaut, namun juga mengakui pentingnya perubahan. Dari hasil melaut dan mengolah udang menjadi ebi, ia mampu menyekolahkan dua anaknya hingga perguruan tinggi di Pekanbaru.

“Kalau tak ada listrik, susah melaut. Pergi jam 12 malam, pulang jam lima subuh. Perlu ada cahaya untuk mencari arah tepat. Sekarang, kami bisa pakai alat bantu, listrik tersedia penuh,” tuturnya sambil tersenyum. “Anak saya yang besar kuliah di Pekanbaru. Dulu siapa sangka anak suku laut bisa sampai ke sana,” katanya

Selain mempermudah proses melaut, energi menjadi hal genting bagi nelayan udang ebi, menjadi kisah baru bagi ekonomi Concong. Sebelumnya, pengeringan hanya mengandalkan kemurahan panas matahari, jika mendung merajuk, hilang sudah panas yang dinanti, sering gagal karena cuaca. Kini, dengan listrik 24 jam, masyarakat memanfaatkan alat pengering sederhana bertenaga listrik. Proses yang dulu memakan dua hari, kini hanya butuh hitungan jam.

Produksi meningkat, kualitas terjaga. Ebi dari Concong mulai dipasarkan ke Tembilahan, bahkan ke Pekanbaru. Dari rumah panggung di atas air, aroma asin bercampur dengan harapan baru — aroma ekonomi yang perlahan tumbuh dari hasil kerja tangan sendiri.

Energi Ujung Negeri

Perjalanan listrik ke wilayah pesisir bukan perkara mudah. Di Riau, beberapa daerah masih bergantung pada sistem isolated, jaringan listrik yang berdiri sendiri, tidak tersambung ke sistem besar Sumatera. PLN harus membawa generator, bahan bakar, hingga kabel melewati sungai dan laut. Kadang cuaca buruk menunda perjalanan, kadang bakau rapat menghalangi perahu. Tapi, bagi para petugas lapangan, semua itu bagian dari pengabdian.

Untuk menjaga keandalan, PLN membentuk regu khusus yang tinggal bersama masyarakat pesisir. Mereka memperbaiki jaringan saat kabel jatuh, menjaga mesin agar tak padam, dan memastikan setiap rumah tetap menyala. Bagi mereka, listrik bukan hanya soal daya, tapi soal hidup.

“Wilayah seperti Concong ini jadi bukti komitmen kami,” kata GM PLN melanjutkan. “Kami ingin masyarakat di ujung negeri merasakan terang yang sama seperti di kota,” tegasnya.

Dengan kapasitas listrik yang masih tersisa 50 persen, Concong kini memiliki peluang besar. Bukan hanya untuk rumah tangga, tapi juga untuk pengembangan ekonomi lokal: pembekuan hasil laut, penerangan dermaga, bahkan kemungkinan wisata bahari di masa depan.

PLN menargetkan hingga tahun 2027 seluruh desa di Riau telah teraliri listrik 100 persen. Tahun 2025 ini saja, 57 desa baru akan masuk jaringan PLN. Program Road Map Pembangunan Listrik Pedesaan menjadi tonggak bahwa energi kini bukan lagi milik kota, melainkan hak seluruh warga negeri.

Senja kembali menurunkan cahayanya di atas Concong Luar. Kilau lampu rumah memantul di air pasang, menciptakan lukisan indah di antara akar bakau. Di kejauhan, perahu nelayan pulang membawa hasil laut, sementara di darat, ibu-ibu sibuk menata ebi kering yang baru diangkat dari pengering listrik.

Masih dalam desiran angin yang sama, Asman pekerja udang ebi, menatap lampu bohlam kecil yang menggantung di ruang tamu rumah panggung khas suku laut. “Dulu saya kira listrik hanya buat kota,” katanya lirih. “Ternyata di sini pun bisa terang. Anak-anak bisa belajar malam, bisa punya cita-cita tinggi. Saya ingin mereka tak hanya jadi nelayan, tapi bisa jadi orang yang membawa terang juga.”

Dari produksi Ebi, Asman bisa mengantongi lebih dari Rp2,5 juta per bulan. Mungkin bukan nominal besar bagi kebanyakan orang perasa listrik sejak kecil. Tapi Asman, angka tersebut adalah sebuah harapan hidup bagi keluarganya. Lain cerita jika mesin salai, atau mesin buatan pengering ebi mati. Ketakutan itu kerap meneror Asman dan buruh ebi lainnya, jika ebi tak kering dengan mesin karena listrik mati, mengingat ia sadar tinggal di kawasan terpencil. Tapi hingga saat ini, kekhawatiran itu,syukurnya, tak kunjung datang. Kipas pengering ebi, tetap berputar selalu.

Di matanya, cahaya lampu, dan kipas pengering panas itu seperti simbol perubahan. Ia bukan sekadar penerangan yang menghangatkan, ia kehidupan yang baru.

Energi bukan hanya bahan bakar. Ia adalah denyut yang menghidupkan harapan. Ia jembatan antara daratan dan laut, antara masa lalu dan masa depan.

Kini, Concong Luar bukan lagi sekadar titik kecil di peta Riau. Ia telah menjadi bukti bahwa cahaya bisa menembus gelap, menyalakan harapan hingga ke batas terakhir negeri ini.

Selama masih ada ombak yang berdebur dan cahaya yang menyala di pesisir, Indonesia akan terus hidup, dari kota hingga ke tepi laut, dari listrik yang mengalir di kabel hingga nyala kecil di mata anak-anak Duano yang bermimpi besar.

Dari Concong Luar, dari ujung laut Nusantara, Indonesia menyala.


Editor: Afut Syafril Nursyirwan
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.