Pekanbaru (ANTARA) - Di salah satu sudut Kampung Dipotrunan, Tipes, Serengan, Surakarta, deru mesin jahit berpadu dengan cekatan tangan-tangan perempuan yang menata kain batik, memotong lurik, hingga menjahit pola yang telah digambar. Dari ruang sederhana itulah karya Batik Malessa lahir, sekaligus menjadi penopang ekonomi keluarga di sekitarnya.
Usaha yang dirintis Madu Mastuti sejak 2018 itu berangkat dari mimpi sederhana, menciptakan ruang kerja bagi ibu rumah tangga agar tetap berdaya tanpa meninggalkan peran utama dalam keluarga. Seiring waktu, Batik Malessa tumbuh bukan hanya sebagai unit usaha, tetapi juga sebagai sumber inspirasi pemberdayaan perempuan di lingkungannya.
Madu melihat banyak perempuan di sekitarnya memiliki keterampilan, namun tidak memiliki wadah untuk menyalurkannya. Dari kegelisahan itu, ia membentuk Kelompok Wanita Berkarya, sebuah ruang belajar dan bekerja bagi ibu rumah tangga yang memungkinkan mereka tetap produktif sambil mengasuh anak. Tujuannya jelas, membantu menopang ekonomi keluarga melalui karya.
“Awalnya kami membuat daster dari kain perca, sisa-sisa kain yang diolah menjadi busana rumahan. Lama-kelamaan usaha berkembang, hingga merambah ke kerajinan dan fashion. Kami mulai memproduksi produk premium dari padu padan batik, lurik, dan tenun,” ujar Madu.
Dari bahan-bahan yang kerap dipandang sederhana, Malessa menghadirkan produk fashion dengan sentuhan eksklusif dan nilai jual tinggi. Padu padan batik, lurik, dan tenun menjadi ciri khas yang membedakan Malessa dari busana rumahan pada umumnya.
Nama “Malessa” sendiri memiliki makna personal. Ia merupakan gabungan nama Madu dan anaknya, Alesa, yang merepresentasikan perjalanan usaha sekaligus nilai keluarga. Seluruh legalitas usaha pun telah dilengkapi, mulai dari HAKI, NIB, hingga TKDN.
Produk Malessa terbagi dalam dua lini. Pertama, produk massal seperti daster dan busana rumahan yang dipasarkan melalui toko oleh-oleh besar. Kedua, lini premium berupa busana hasil padu padan batik, lurik, dan tenun yang dirancang secara eksklusif dengan jumlah terbatas.
Dalam proses produksinya, Malessa menerapkan standar pengendalian mutu yang ketat. Setiap desain diawali dengan pembuatan sketsa agar tetap unik, sementara sisa kain dimanfaatkan kembali menjadi tas, topi, bantal, dompet, hingga gantungan kunci. Prinsip zero waste dijalankan secara konsisten.
Keunikan dan kualitas ini membuat produk Malessa kian dikenal. Sejumlah tokoh publik, termasuk pembawa acara Piala Dunia U-17, pernah mengenakan busana karya Malessa, menegaskan daya saing produk UMKM berbasis rumah produksi ini.
Kini, rumah produksi Malessa tidak hanya menjadi milik Madu, tetapi juga milik para perajin di sekitarnya. Sebanyak delapan orang terlibat langsung, terdiri atas enam perempuan dan dua laki-laki, mulai dari penjahit hingga kurir. Dua di antaranya bahkan telah didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
Kapasitas produksi Malessa meningkat hingga 40 persen dibandingkan masa awal usaha. Penambahan mesin jahit dan mesin potong melalui pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI membuat proses produksi lebih efisien sekaligus membuka peluang distribusi yang lebih luas.
“Alhamdulillah, dari 2018 sampai 2025 usaha kami terus berkembang dan memberdayakan masyarakat sekitar. Saat ini kami telah bermitra dengan berbagai toko oleh-oleh dan toko batik di dalam maupun luar kota, bahkan di bandara,” kata Madu.
Dukungan BRI melalui Rumah BUMN BRI Solo menjadi momentum penting dalam perjalanan Malessa. Selain akses permodalan, Madu juga mengikuti berbagai pelatihan dan pendampingan, mulai dari bimbingan teknis ekspor hingga program BRIncubator yang membekali UMKM dengan pengetahuan bisnis, digitalisasi, dan kesiapan ekspor.
Berbekal pendampingan tersebut, produk Malessa kini tersebar di berbagai toko, bandara, dan hotel di Surakarta. Karyanya juga pernah dipamerkan di luar negeri, seperti di Belanda, Swiss, dan Australia.
“Program-program BRI itu luar biasa. Saya mendapatkan banyak ilmu baru dan pendampingan agar UMKM bisa naik kelas dan siap ekspor,” ujarnya.
Bagi Madu, Malessa Fashion & Craft bukan sekadar usaha ekonomi, melainkan rumah bagi mimpi banyak perempuan untuk belajar, berdaya, dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Ia meyakini, ketika perempuan diberdayakan, ekonomi keluarga dan masyarakat akan ikut menguat.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Micro BRI Akhmad Purwakajaya menegaskan komitmen BRI dalam mendorong UMKM agar terus berkembang dan naik kelas melalui berbagai program pemberdayaan, termasuk Rumah BUMN BRI.
“Selain permodalan, BRI menghadirkan pembinaan, pendampingan usaha, serta membuka akses pasar yang lebih luas hingga mancanegara,” ujarnya.
Hingga akhir September 2025, BRI tercatat telah membina 54 Rumah BUMN BRI dan melaksanakan lebih dari 17 ribu pelatihan. Upaya tersebut merupakan bagian dari strategi BRI dalam memperkuat ekosistem UMKM di berbagai daerah di Indonesia agar semakin berdaya saing dan mampu menghasilkan nilai tambah di pasar.
