Gaza (ANTARA) - Dua tahun konflik di Jalur Gaza yang seolah tak berujung, kaum perempuan setempat menjadi kelompok yang memikul beban paling berat. Meski demikian, mereka tetap menunjukkan ketahanan luar biasa dalam kondisi yang oleh banyak orang dinilai telah melampaui batas ketahanan manusia.
Kehilangan rumah akibat konflik kerap dialami para korban, dan gangguan beruntun terhadap rutinitas harian mereka sudah menjadi hal yang lumrah. Para perempuan ini berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga mereka, terutama mereka yang telah kehilangan suami selama konflik.
Baca juga: PBB: Serangan Udara Israel di Gaza Mulai Mereda, Harapan Damai Kian Terbuka
Di sebuah kamp pengungsi di Deir al-Balah, Gaza tengah, seorang ibu berusia 27 tahun, Jenin Mahmoud, duduk di luar tenda. Sambil menggendong anaknya, dia menyiapkan tungku kecil untuk memasak.
"Hidup saya berubah drastis sejak pecahnya konflik. Saya harus mencurahkan seluruh waktu saya hanya demi mengamankan makanan dan merawat anak saya," seperti menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengantre demi mendapatkan air bersih atau sekadar mencari sisa makanan, katanya kepada Xinhua.
Sebagai wanita yang menikah dan melahirkan selama konflik, dia mengungkapkan bahwa tantangan terberat bagi para ibu di zona itu adalah mendapatkan perawatan medis dan gizi yang cukup bagi anak-anak mereka.
"Kadang saya meninggalkan kamp bersama para perempuan lain untuk mencari sayuran atau kacang-kacangan, dan tak jarang kami menghabiskan waktu beberapa jam tanpa membawa pulang apa pun," katanya.
Menurut pernyataan yang dirilis oleh otoritas kesehatan di Gaza pada Rabu (1/10), sejak 7 Oktober 2023, ketika Israel melancarkan serangan berskala besar terhadap Hamas sebagai balasan atas serangan Hamas di sepanjang perbatasan selatan Israel, 2.580 orang di Gaza telah tewas karena kelaparan dan kekurangan gizi.
Mimpi buruk terbesar Mahmoud adalah melihat anaknya jatuh sakit sementara tidak tersedia akses obat-obatan. Dokter di rumah sakit terdekat sering memberi tahu pasien bahwa hanya obat pereda nyeri yang tersedia karena kekurangan obat-obatan esensial yang parah, ujarnya.
Selama dua tahun terakhir, Mahmoud tidak hanya kehilangan rumahnya, tetapi juga kesempatan untuk menyelesaikan studi universitasnya di bidang perdagangan. "Saya bermimpi menjadi guru dan membangun masa depan yang lebih baik, tetapi semua itu hancur akibat konflik," ujarnya.
Dia menekankan bahwa perempuan kini memainkan peran penting dalam menopang kehidupan sehari-hari, dari rumah sakit hingga rumah tangga, dan telah mengemban banyak tanggung jawab yang jauh melampaui apa yang diharapkan dari mereka sebelum konflik.
Di kota yang sama, Areej yang berusia 35 tahun tinggal di kamp pengungsian setelah kehilangan rumahnya.
"Kehidupan telah berubah drastis," katanya kepada Xinhua, seraya menambahkan bahwa bahkan memperoleh minyak atau lemon telah menjadi hal yang hampir mustahil.
Dia melahirkan selama konflik melalui operasi caesar, tanpa pemulihan atau perawatan medis yang memadai, sebelum kembali melakukan tugas sehari-hari.
Arsip Foto - Seorang anak bersama pengungsi lainnya menunggu pembagian makanan gratis dari pusat distribusi makanan di Kota Gaza, Palestina (14/7/2025). ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad/am
Kini, hidupnya diwarnai oleh hari-hari yang dihabiskan untuk mengantre demi mendapatkan air, roti, dan bantuan. "Terkadang saya berdiri dari subuh hingga siang hanya untuk mendapatkan beberapa potong roti, dan jika terlambat, saya mungkin pulang dengan tangan hampa," ujarnya.
"Kadang-kadang, saya hanya bisa memberi anak-anak saya roti kering atau air gula," katanya
Meski dia sendiri merasa cemas dan menderita insomnia terus-menerus, dia berusaha tetap tegar agar anak-anaknya tidak merasa putus asa, kata Areej.
Sekitar 335.000 penduduk terpaksa meninggalkan rumah mereka di bawah tekanan serangan Israel, kata kantor media pemerintah Hamas pada 24 September.
Selain itu, sekitar setengah juta warga Palestina terjebak di area seluas tidak lebih dari 8 km persegi di Gaza City, menurut Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) dalam sebuah pernyataan pers pada Senin (29/9) pekan lalu.
Serangan udara menewaskan suami Umm Samer al-Amasai (42) setahun lalu, membuatnya harus membesarkan empat anaknya sendirian, dengan si bungsu baru berusia 7 tahun.
"Sejak suami saya meninggal, saya menjadi ayah sekaligus ibu," ujarnya, terpaksa mencari pekerjaan atau bantuan. Menghadapi kesulitan yang ada, dia yakin bahwa tetap tegar adalah satu-satunya pilihannya.
Lebih dari 13.000 kematian perempuan tercatat sejak dimulainya konflik, sementara sekitar 14.000 perempuan menjadi janda, menurut Zaher Al-Wahidi, kepala Unit Informasi dan Arsip di otoritas kesehatan di Gaza.
Baca juga: Menlu RI dan Arab Puji Komitmen Hamas Akhiri Perang, Harapan Damai Gaza Makin Terbuka
Kisah Mahmoud, Areej, dan al-Amasai merupakan bagian dari gambaran yang lebih besar yang menunjukkan bahwa perempuan telah melampaui peran tradisional mereka dan memikul tanggung jawab sosial yang lebih besar.
"Perempuan Palestina saat ini adalah segalanya, merekalah yang menjaga kelangsungan hidup dan menyediakan kebutuhan hidup yang paling mendasar," kata Mahmoud.