Pekanbaru (ANTARA) - Konflik di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) menjadi refleksi masalah struktural dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Sejumlah warga bahkan mengaku telah menempati wilayah tersebut sejak 1998, dengan bukti berupa sertifikat hak milik (SHM), padahal kawasan itu baru ditetapkan sebagai calon TNTN pada 2004.
Fakta ini menimbulkan rasa ketidakadilan, warga merasa baru ditindak setelah lama menggantungkan hidup di lahan tersebut.
Menurut regulasi yang berlaku, pembagian kewenangan masyarakat terhadap hutan negara dibagi menjadi beberapa bagian. Hutan konservasi tidak boleh digarap untuk kebun atau permukiman. Akses hanya diperbolehkan untuk riset, pendidikan, atau ekowisata dalam konteks terbatas.
Sedangkan hutan produksi bisa dikelola untuk kepentingan ekonomi, asalkan melalui prosedur resmi, salah satunya adalah skema perhutanan sosial.
Selain itu terdapat pula Perhutanan Sosial (PS), yang merupakan skema legal yang memberi akses pengelolaan kepada masyarakat, melalui jalur seperti hutan desa, Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), hutan adat, dan kemitraan Kehutanan.
Potensi konflik berakar lama
Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional pada 2004, kawasan TNTN memang telah menyimpan potensi konflik, antara klaim adat, izin perusahaan (HPH/HTI), dan masyarakat loka. Sehingga benih kerusakan ekologis sudah mula-mula tumbuh dari akar konflik lahan.
Selain itu, praktik mal administrasi juga ditemukan, misalnya operasi penertiban terhadap masyarakat lokal yang dianggap perambah, sementara sejumlah perusahaan kelapa sawit tetap aktif beroperasi meski berada di zona konservasi. Hal ini menimbulkan protes bahwa hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Berdasarkan data yang dihimpun, kawasan yang kini disebut Taman Nasional ini awalnya merupakan wilayah bekas konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Dwi Marta dan Inhutani. Bahkan, saat ditetapkan menjadi Taman Nasional, sudah ada ribuan hektare yang dikuasai masyarakat.
“Penunjukan perluasan Taman Nasional pada 2009 juga diambil dari areal bekas HPH PT Nanjak Makmur. Berdasarkan identifikasi Balai Taman Nasional dan WWF 2010, lebih dari 28 ribu hektare lahan sudah dikuasai masyarakat,” jelas Juru Bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, Abdul Aziz.
Saat ini terdapat enam desa yang terdampak yakni Bukit Kusuma, Lubuk Kembang Bunga, Segati, Gondai, Air Hitam, dan Bagan Limau, dengan total sekitar 25 ribu jiwa.
Di Desa Lubuk Kembang Bunga saja, tiga dusun dihuni lebih dari 10 ribu orang dengan fasilitas sekolah dan rumah ibadah yang dibangun secara swadaya.
Antara rakyat dan kehadiran negara
Konflik TNTN bukan sekadar soal pelanggaran hukum, tapi juga soal bagaimana negara menunjukkan kehadirannya, bukan hanya sebagai penertib, tapi sebagai pelindung rakyat yang adil.
Sedangkan hingga saat ini negara turun melalui Satgas PKH hanya meminta warga untuk relokasi mandiri, namun tak menawarkan kemana dan bagaimana skema relokasi yang disarankan.
Hingga batas relokasi mandiri habis, belum ada kejelasan terkait keberlangsungan hidup masyarakat di area tersebut. Hal ini masih menjadi momok bagi warga terdampak, terlebih aktivitas militerbersenjata yang asing bagi masyarakat.
Solusi yang ideal melibatkan dua langkah utama, baik penegakan hukum kawasan konservasi yang tetap dilaksanakan, namun dengan kejelasan solusi bagi masyarakat terdampak. Serta perluasan akses legal melalui perhutanan sosial, agar masyarakat dapat sejajar dengan fungsi ekologis hutan.
Dengan begitu, pendekatan yang lebih bersifat partisipatif dan adil dapat membangun kepercayaan publik, sehingga fungsi konservasi dan kesejahteraan masyarakat tidak diam dalam tarik-menarik yang merugikan satu sama lain.