Pekanbaru (ANTARA) - Ribuan warga dari enam desa yang diklaim berada di kawasan Taman Nasional di Riau menolak relokasi mandiri yang diminta pemerintah sebelum 22 Agustus 2025, Kamis.
Mereka justru menawarkan skema penghijauan swadaya sebagai solusi alternatif demi menjaga kelestarian hutan.
“Kami bukan musuh hutan, kami bagian dari alam yang kami jaga,” kata Juru Bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan Riau, Abdul Aziz di Pekanbaru, Kamis.
Aziz menyebutkan, enam desa yang terdampak yakni Bukit Kusuma, Lubuk Kembang Bunga, Segati, Gondai, Air Hitam, dan Bagan Limau, dengan total sekitar 25 ribu jiwa.
Di Desa Lubuk Kembang Bunga saja, tiga dusun dihuni lebih dari 10 ribu orang dengan fasilitas sekolah dan rumah ibadah yang dibangun secara swadaya.
Menurut Aziz, kawasan yang kini disebut Taman Nasional awalnya merupakan wilayah bekas konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) PT Dwi Marta dan Inhutani. Bahkan, saat ditetapkan menjadi Taman Nasional, sudah ada ribuan hektare yang dikuasai masyarakat.
“Penunjukan perluasan Taman Nasional pada 2009 juga diambil dari areal bekas HPH PT Nanjak Makmur. Berdasarkan identifikasi Balai Taman Nasional dan WWF 2010, lebih dari 28 ribu hektare lahan sudah dikuasai masyarakat,” jelasnya.
Aziz juga menyinggung hasil inventarisasi BKSDA pada 2006 yang menunjukkan kawasan tersebut bukan lagi hutan primer. Hutan dengan kerapatan kayu di atas 70 persen hanya tersisa sekitar 10 ribu hektare, sementara berkepadatan 40–70 persen hanya 8 ribu hektare.
“Masyarakat bukan tidak cinta lingkungan. Bahkan kami sudah menanam pohon dan siap menyisihkan dana sawit Rp500 ribu per hektare per tahun, setara Rp30 miliar per tahun, untuk penghijauan,” ujarnya.
Ia menegaskan, masyarakat siap mengambil alih 75 ribu hektare lahan milik negara yang saat ini dikuasai perusahaan di sekitar Taman Nasional untuk dihutankan kembali. Usulan ini, kata Aziz, sudah disampaikan kepada Badan Aspirasi Masyarakat DPR RI pada 2 Juli lalu.
Aziz juga membantah klaim bahwa kawasan tersebut merupakan paru-paru dunia. Menurutnya, kawasan yang diakui sebagai cagar biosfer internasional di Riau adalah Giam Siak Kecil-Bukit Batu, bukan Taman Nasional yang disengketakan.
“Kami dituduh perambah dan perusak hutan. Padahal, banyak yang tidak tahu sejarah kawasan ini sudah bekas tebangan perusahaan,” katanya.
Aziz menilai kebijakan relokasi berpotensi menambah angka pengangguran dan gelandangan. Masyarakat, kata dia, hanya meminta keadilan dan kesempatan untuk membuktikan komitmen menjaga hutan secara bersama-sama dengan pemerintah.
“Kami bukan sekadar menuntut hak, tapi juga memberi solusi. Biarkan kami bangun rumah bagi gajah dan satwa lain, insya Allah kami bisa,” pungkas Aziz.