Strategi ekspor dan konsumsi Indonesia menangkal dampak tarif Trump

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara, ekspor

Strategi ekspor dan konsumsi Indonesia menangkal dampak tarif Trump

Presiden Prabowo Subianto saat diwawancara oleh tujuh jurnalis senior di kediaman pribadi Presiden di Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (6/4/2025). (ANTARA/HO-Tim Media Presiden Prabowo Subianto.)

Jakarta (ANTARA) - Berbeda dengan 2017, ketika Donald Trump memasang kenaikan tarif yang hanya menyasar impor dari China, Presiden ke-47 Amerika Serikat pada awal 2025 ini menembakkan tarif resiprokal dengan efek lebih luas dan dosis lebih berat, mengarah pada lanskap baru perdagangan global.

Perang tarif 2.0 pada 2025 dimulai dengan AS menerapkan tarif impor resiprokal, yang ditentukan berdasarkan selisih antara tarif impor negara mitra dan tarif AS pada produk yang sama, sehingga besaran tarif menjadi asimetris terhadap banyak negara.

Ratusan negara terkena tarif resiprokal, tak terkecuali Indonesia yang harus menanggung tarif resiprokal 32 persen dari basis tarif dasar 10 persen. Secara jangka pendek untuk sektor riil, dampak dari tarif ini dikhawatirkan berimbas ke industri padat karya yang berorientasi ekspor dan pada akhirnya berdampak ke pertumbuhan ekonomi.

Selama ini, pasar AS menyumbang 10 persen dari total pasar ekspor Indonesia. Pun, dalam 20 tahun terakhir, Indonesia selalu mencetak surplus neraca perdagangan dengan AS.

Industri di Indonesia yang akan terdampak dengan tarif resiprokal AS antara lain elektronik, garmen, karet, kulit, dan udang. Ekspor elektronik dan alat mesin RI ke AS, menurut data yang dikutip dari paparan Macroeconomic Insights Bank Mandiri, mencapai 27,8 persen atau 4,1 miliar dolar AS dari total ekspor komoditas yang sama. Begitu pula ekspor garmen ke AS yang porsinya di kisaran 50 persen dari total ekspor komoditas yang sama, sedangkan sepatu dan alas kaki lainnya (33 persen), karet (30 persen), dan furnitur (59 persen).

Terpilihnya kembali Trump sebagai pemimpin AS, negara yang merupakan gravitasi ekonomi dunia, sepatutnya sudah diantisipasi sejak lama karena akan memunculkan titik keseimbangan baru dan perubahan lanskap ekonomi global.

Peluang untuk memitigasi dampak tarif Trump adalah dengan menemukan pasar-pasar ekspor baru, dan memanfaatkan dependensi ekspor RI ke AS yang tidak terlalu besar jika dibandingkan Produk Domestik Bruto (PDB).

Dengan lanskap perdagangan global yang menuju titik keseimbangan baru ini, Indonesia semestinya tak boleh lagi terlalu tergantung pada pasar tradisional seperti AS, Uni Eropa ataupun China. Diversifikasi ke pasar non-tradisional, perubahan sasaran komoditas yang diiringi peningkatan daya saing adalah mutlak.

Pasar-pasar non-tradisional yang perlu menjadi perhatian untuk sasaran perluasan ekspor adalah Asia, Timur Tengah dan Afrika. Sebagai contoh, untuk komoditas perikanan udang yang diekspor hingga 27,5 persen ke Amerika Serikat dari total pasar ekspor, pemerintah dan pelaku usaha perlu menggarap potensi ekspor di Jepang, China, dan Malaysia, termasuk mengembangkan pasar negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Denmark dan Jerman.

Presiden Prabowo Subianto dalam diskusi dengan tujuh jurnalis senior pada Minggu (6/4) menyatakan Indonesia akan memperluas pasar ekspornya menyikapi kebijakan tarif Trump. Ia juga mendorong dunia usaha untuk menyusun rencana jangka panjang dalam memperluas pasar ekspor dan tidak tergantung kepada hanya satu pasar saja.

Pemerintah juga memiliki peluang dengan mengoptimalkan peranan dari pakta ekonomi multilateral seperti Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP), Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA), BRICS dan OECD.

Hal yang meringankan posisi Indonesia dari tarif Trump yang asimetris kali ini adalah dependensi atau rasio ekspor Indonesia dibandingkan dengan PDB, baik ke AS maupun dunia, yang tidak besar jika dibandingkan negara-negara dengan ekonomi setara (peers). Produk-produk Indonesia masih kebanyakan dijual di pasar domestik.

Dibanding Vietnam yang memiliki pangsa ekspor ke AS mencapai 33 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia hanya menikmati rasio 2,2 persen dari PDB untuk ekspor ke AS. Karena itu, tarif resiprokal Indonesia sebesar 32 persen jauh lebih rendah dibanding Vietnam yang mencapai 46 persen ataupun Kamboja 49 persen, dan Myanmar 44 persen. Dengan begitu, daya saing produk Indonesia di pasar AS akan lebih baik dibanding produk-produk negara peers dengan tarif yang lebih besar.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan peluang tersebut dapat dimanfaatkan oleh eksportir produk padat karya seperti pakaian dan alas kaki. Dengan tarif resiprokal AS sebesar 32 persen yang lebih rendah dibanding Vietnam, Kamboja dan Bangladesh, maka memberikan celah untuk Indonesia dalam mengambil alih pangsa pasar ekspor di sektor pakaian dan alas kaki. Di sisi lain, sektor tersebut tidak dianggap strategis oleh AS, sehingga terbuka ruang untuk negosiasi soal tarif.

Pemerintah juga menyiapkan langkah-langkah reformasi struktural yang tertuang dalam paket deregulasi sebagai respons untuk menyikapi pengenaan tarif resiprokal AS. Kebijakan tersebut mencakup penyederhanaan perizinan usaha, reformasi perizinan ekspor-impor, perbaikan kebijakan non-tarif (NTM) seperti TKDN dan sertifikasi halal, hingga harmonisasi tarif bea masuk dan pajak impor.

Langkah itu dilakukan seraya pemerintah berupaya untuk menjangkar strategi ekspor dan perluasan pasar yang baru, dampak lanjutan terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dimitigasi dengan menjaga konsumsi.

Menurut Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro, permintaan di dalam negeri masih stabil selama Ramadhan. Permintaan di dalam negeri itu ditambah kesiapan Bank Indonesia (BI) dalam intervensi di pasar keuangan dengan cadangan devisa yang mencukupi menjadi penyangga ekonomi di tengah guncangan perdagangan global.

Pada Maret 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi sebesar 1,03 persen (month to month/mtm) dengan tingkat inflasi inti sebesar 2,47 persen. Tingkat inflasi ini menunjukkan masih stabilnya ekonomi domestik dibarengi dengan terjaganya konsumsi.

Indeks Keyakinan Konsumen pada Februari 2025 mencapai 126,4 yang menandakan level optimisme. Kemudian, menurut Airlangga Hartarto, belanja masyarakat saat Ramadhan-Lebaran Idul Fitri 1446 H lalu juga mencapai Rp248,1 triliun.

Konsumsi masyarakat menjadi sektor yang penting dalam menopang perekonomian nasional mengingat saat ini kondisi ekonomi global tengah menghadapi guncangan.

Tingkat konsumsi masyarakat yang tergolong masih baik harus dijaga pemerintah. Sejalan dengan itu, arus modal keluar di pasar keuangan juga harus diantisipasi dengan intervensi dari otoritas moneter dan pasar keuangan.

Pemerintah juga perlu memproteksi industri dalam negeri dengan mengantisipasi kemungkinan Indonesia menjadi sasaran limpahan produk-produk negara lain yang tak bisa masuk ke AS, akibat kenaikan tarif Trump.

Tarif 2.0 Trump perlu menjadi momentum untuk memperbaiki daya saing, dan deregulasi untuk memperbaiki industri dalam negeri. Lanskap baru ekonomi global menuntut kecepatan dan ketepatan Indonesia dalam beradaptasi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.