Jakarta (ANTARA) - Malaysia pada Kamis meminta negara-negara penghasil minyak sawit untuk memperkuat kerja sama menyusul undang-undang baru Uni Eropa (UE) yang bertujuan mengurangi penggunaan bahan bakar berbasis minyak sawit.
UE adalah importir utama minyak sawit tetapi permintaan diperkirakan akan turun secara signifikan dalam 10 tahun ke depan menyusul arahan energi terbarukan untuk menghapuskan bahan bakar transportasi berbasis sawit pada tahun 2030 karena dianggap terkait dengan deforestasi.
Blok tersebut bulan lalu menyepakati undang-undang baru yang mencegah penjualan komoditas yang terkait dengan deforestasi di blok 27 negara, menimbulkan protes dari produsen utama Indonesia dan Malaysia.
Menteri Komoditas Malaysia Fadillah Yusof mendesak Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (CPOPC) - yang dipimpin oleh Indonesia dan Malaysia - untuk bekerja sama melawan peraturan baru dan untuk memerangi "tuduhan tak berdasar" yang dibuat oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat tentang keberlanjutan minyak yang dapat dimakan.
"Ini berarti bahwa kita harus lebih terkoordinasi dalam upaya kita dalam menyampaikan pendirian dan pendirian kita tentang masalah kebijakan yang akan mempengaruhi kesejahteraan sosial ekonomi negara kita masing-masing," kata Fadillah, yang juga Wakil Perdana Menteri, dalam sebuah seminar..
CPOPC sebelumnya menuduh UE secara tidak adil menargetkan minyak sawit dan menciptakan hambatan perdagangan.
Presiden Indonesia Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim minggu ini sepakat untuk "memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit" dan memperkuat kerja sama melalui CPOPC.
Baca juga: Harga sawit Riau seminggu ke depan naik Rp26,11/kg