Keluar dari krisis ekonomi dengan merintis bisnis buah kering

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara, krisis

Keluar dari krisis ekonomi dengan merintis bisnis buah kering

Pelaku usaha mikro buah kering, Upit Pitrianingsih. (ANTARA/Sinta Ambarwati)

Jakarta (ANTARA) - Bagi banyak orang, pandemi COVID-19 menjadi penghalang untuk berkreasi. Namun tidak demikian dengan Upit Pitrianingsih.

Pandemi yang melanda sejak Maret 2020 mengharuskan pemerintah memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat untuk mengurangi penularan virus SARS-COV-2. Akibatnya, aktivitas ekonomi masyarakat secara umum juga menurun.

Sejumlah perusahaan skala kecil maupun besar mulai terdampak, yang berujung pada merumahkan pekerja (work from home/WFH) hingga pengurangan jumlah karyawan.

Pergeseran aktivitas jual beli pun terjadi, dari tatap muka menjadi dalam jaringan (daring) baik melalui aplikasi maupun via telepon.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM pada Maret 2021, jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah di Tanah Air berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 61,07 persen,

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam acara Kick Off Pahlawan Digital yang digelar di Jakarta pada awal Oktober lalu menyampaikan setidaknya sudah ada 20,24 juta UMKM telah onboarding digital per Agustus 2022, bertambah 12,24 juta sejak awal pandemi atau 31,1 persen dari total produksi UMKM atau 67,4 persen dari target 30 juta UMKM masuk ke ekosistem digital.

Sebagai pilar perekonomian negara, pemerintah telah mendorong pelaku UMKM agar dapat masuk ke dalam ekosistem digital dengan berbagai benefit bagi pelaku usaha, sudah saatnya UMKM dalam negeri berkembang dan bertumbuh.

Buah kering

Upit termasuk pekerja terdampak pandemi. Ia harus melakukan pekerjaan dari rumah (WFH) pada 2020. Dari sinilag mulai merintis usaha dehydrated fruits (buah yang dikeringkan melalui dehidrator).

Kesadaran masyarakat akan kesehatan meningkat sejalan dengan banyaknya pasien yang terinfeksi COVID-19. Masyarakat pun berbondong-bondong berusaha meningkatkan imunitas dengan mengonsumsi minuman yang terbuat dari lemon dan sejumlah empon-empon.

Tingginya permintaan menyebabkan harga lemon melonjak drastis hingga tembus Rp60 ribu per kilogram.

Dari situlah tercetus ide untuk membuat buah kering sebagai solusi dari tingginya harga lemon, namun dapat bertahan lama serta tergerak keinginan memberdayakan orang lain yang terimbas PHK serta membantu memanfaatkan hasil panen petani.

Memulai usaha dengan riset dan memanfaatkan jurnal yang ada, terciptalah racikan yang tepat dan sesuai dengan masing-masing kriteria buah.

“Saya lakukan riset, trial error hingga uji lab,” jelasnya.

Bermodalkan Rp150 ribu untuk membeli 2 kilogram lemon, wanita lulusan S-2 Teknik Kimia sebuah PTS di Jakarta ini mulai memproduksi serta memasarkan produknya melalui aplikasi pesan WhatsApp. Tak disangka, produknya disambut baik sejumlah konsumen.

Dalam prosesnya, buah-buahan yang dikeringkan ini melalui proses pengeringan melalui alat yang bernama dehidrator dengan suhu rata-rata di bawah 60 derajat celcius.

Untuk buah dengan kadar air tinggi seperti semangka dan buah naga, proses produksi bisa memakan waktu cukup lama, suhu pun lebih diturunkan agar nutrisi tidak berkurang, tekstur tidak rusak atau berubah.

Reporter kantor berita ini berkesempatan mencicipi nanas kering yang dilabeli Herbor.id ini, dari tampilannya, buah ini masih memiliki warna alami yang khas. Namun siapa sangka buah nanas yang dikeringkan ini ternyata memiliki rasa alami yang justru lebih kuat dibandingkan nanas segar. Aroma nanas sangat tercium kuat, manisnya pun terasa alami.

Kalau ketemu air, menurut Upit, bisa fresh lagi seperti awal.

Mengerjakan produksi hingga pemasaran sendiri, ibu tiga anak itu kini telah dibantu empat karyawan.

Buah kering buatan Upit dijual dengan harga kisaran Rp20 ribuan kemasan 15 gram. Salah satu produk yang laris manis diserbu konsumen adalah paket buah kering untuk infused water yang di dalamnya terdapat 5 jenis buah yaitu kiwi, nanas, lemon, stroberi, buah naga, dan jeruk sunkis. Harga paket ini terbilang ramah di kantong yakni Rp10-15 ribu rupiah dengan berat 10 gram.

Dalam pemasarannya, usaha yang berproduksi di kawasan Jakarta Selatan ini telah merambah pasar digital melalui e-commerce dan terbaru di sebuah aplikasi yang tengah populer.

Salah satu pembeli di e-commerce pun turut memberikan komentar. Dian mengatakan harga buah kering tersebut terbilang hemat, rasanya pun tak kalah menyegarkan dibanding buah segar. Selain itu, ia pun tak perlu repot memotong serta membeli beragam buah untuk infused water. Selain praktis, khasiatnya juga sama.

Permintaan aneh

Sebagai produsen yang baru muncul, banyak orang belum mengenal produk buah kering ini, termasuk khasiat serta kelebihan.

Jadi Upit harus lebih aktif mengenalkan produk, proses, manfaat buah kering, dan kelebihannya dengan cara mengajak orang untuk icip-icip atau mencoba merasakan.

Selain itu, ia juga gerak cepat mengikuti perkembangan dunia digital agar pemasarannya lebih luas dan tak terbatas wilayah. Kini ia sedang berproses mengikuti sejumlah program kurasi agar bisa tembus pasar internasional.

Omzet yang didapatkannya pun sekarang berada pada kisaran Rp15-20 juta/bulan dengan kapasitas maksimal produksi per hari mencapai 5 kilogram. Selain itu, ia pun telah memiliki reseller.

Reseller kini masih ada beberapa yang ambil pakai merek dan tanpa label. Tergantung nanti fungsinya, kalau dijual perorangan pakai label, kalau masuk gerai kopi tanpa merek.

Hingga kini, usahanya telah memiliki varian 18 produk, yang mulanya varian-varian ini berasal dari permintaan-permintaan aneh dari konsumen.

Misalnya, pembeli ada yang minta semangka atau nanas dikeringkan. Dari permintaan-permintaan aneh tersebut, akhirnya ia coba mengakomodasi dan hal ini justru menjadi tantangan tersendiri hingga akhirnya menjadi daftar produk baru. Walaupun ada juga buah yang tidak bisa diakomodasi atau dikeringkan.

Leci, misalnya, begitu dikeringkan seperti kismis, karena mengandung banyak gula sehingga hasil akhirnya lengket dan warnanya cokelat. Jadi, leci lebih cocok dijadikan semacam manisan.

Mak Upit, sapaan akrabnya, pemuda yang ingin buka usaha tidak usah menunda-nunda, tapi langsung memulai saja.

Dari apa yang dipikirkan orang-orang, menurut dia, kuncinya bukan yang dipikirkan tapi apa yang dikerjakan sebab nanti segala sesuatunya setiap orang bisa belajar learning by doing.

Menutup perbincangan, Mak Upit berterima kasih dengan berbagai program pemerintah yang berfokus mendorong UMKM naik kelas sehingga tercipta lapangan kerja, peningkatan kemampuan (skill up), serta memperluas jejaring (networking).

Upit membuktikan bahwa keuletan dan kerja kreatifnya telah membuahkan hasil. Bisnis yang dirintis pada masa krisis pandemi kini mulai berbuah manis.

Baca juga: Presiden Jokowi perintahkan jajaran TNI-Polri dukung penanganan krisis pangan

Baca juga: Amerika Serikat rugi Rp22,33 kuadriliun akibat krisis kecanduan opioid dan overdosis