Jakarta (ANTARA) - Tanggal 9 Agustus 2021 menjadi hari bersejarah bagi Pertamina. Pada tanggal itu, dimulai proses alih kelola Blok Rokan dari Chevron Pacific Indonesia (CPI) kepada Pertamina Hulu Rokan (PHR), anak perusahaan Pertamina. Sejak tanggal itulah, Pertamina mengelola sepenuhnya atau 100 persen Blok Rokan yang merupakan kawasan penghasil minyak nomor dua terbesar di Indonesia.
Dengan kata lain, pengelolaan Blok Rokan kini sepenuhnya dilakukan oleh perusahaan minyak nasional (Pertamina) dan putra putri bangsa Indonesia. Anak negeri kini mendapat kepercayaan untuk memimpin pengelolaan blok migas ini.
Alih kelola Blok Rokan di Riau bertepatan dengan bulan Agustus, momentum perayaan Kemerdekaan Indonesia. Karena itu, alih kelola Blok Rokan Riau bisa dikatakan sebagai sebuah kado istimewa buat bangsa Indonesia yang merayakan Hari Ulang Tahun ke-76 Kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada tanggal 17 Agustus tahun 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan setelah perjuangan merebut kemerdekaan dari Belanda yang menjajah selama 350 tahun. Perumpamaan yang sama, pada tanggal 9 Agustus 2021, pengelolaan Blok Rokan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi setelah dikelola perusahaan asing selama 97 tahun.
Pengelolaan Blok Rokan Riau berpindah ke PT Pertamina Hulu Rokan setelah kontrak bagi hasil PT Chevron Pacific Indonesia berakhir pada 8 Agustus 2021.
Pemerintah Indonesia memberikan hak kelola Blok Rokan yang habis masa kontraknya itu kepada PT Pertamina (Persero). Maka, mulai 9 Agustus 2021, hak kelola Blok Rokan sepenuhnya diserahkan kepada Pertamina melalui anak perusahaan PT Pertamina Hulu Rokan. Pertamina mengelola wilayah kerja minyak dan gas Rokan selama 20 tahun ke depan.
Blok Rokan Riau sendiri mempunyai sejarah panjang. Penemuan ladang minyak ini terjadi jauh sebelum kemerdekaan Indonesia atau sejak era kolonialisme Belanda. Adalah geolog asal Amerika, Walter Nygren, yang menemukan kandungan minyak Blok Rokan pada tahun 1939.
Pertama kali Walter Nygren menemukan lapangan Minas. Ini menjadi tambang minyak pertama di Blok Rokan. Baru kemudian pada tahun 1941 ditemukan lagi lapangan minyak kedua di Duri. Ladang minyak ini baru berproduksi pada tahun 1958.
Lapangan Minas disebut-sebut sebagai lapangan minyak terbesar di Asia Tenggara. Pengeboran pertama dilakukan oleh Caltex yang kemudian berganti nama menjadi Chevron. Sejak mulai berproduksi pada tahun 1951 sampai tahun ini (2021), ladang minyak Rokan seluas 6.453 km2 telah menghasilkan 11,69 miliar barel minyak.
Puncak produksi lapangan Minas terjadi pada tahun 1973 yang mencapai 440 ribu barel per hari. Di Blok Rokan terdapat 96 lapangan minyak. Dari semuanya, tiga lapangan minyak yang memiliki potensi besar, yaitu Duri, Minas, dan Bekasap.
Meskipun sudah miliaran minyak keluar dari bumi Blok Rokan, ladang minyak Blok Rokan diperkirakan masih memiliki cadangan minyak sekitar 1,5 miliar – 2 miliar barel. Artinya, ketika alih kelola dari Chevron ke Pertamina, potensi minyak bumi yang terkandung di Blok Rokan masih cukup besar. Sejak dulu, Blok Rokan memang menjadi ladang minyak terbesar. Karena itu, produksi minyak dari Blok Rokan masih bisa dioptimalisasi.
Selama ini Chevron Pacific Indonesia hanya mengandalkan lapangan Minas dan Duri di Blok Rokan. Produksi Blok Rokan sempat menyentuh angka 300 ribu – 400 ribu barel per hari. Dengan jumlah produksi itu, kontribusi Blok Rokan terhadap produksi minyak nasional mencapai 45 persen.
Namun, kini produksi Blok Rokan mengalami penurunan. Saat ini rata-rata produksi minyak Blok Rokan sekitar 150,5 ribu barel per hari. Kontribusi terhadap produksi minyak nasional pun turun menjadi 24 persen. Sebagai catatan produksi minyak nasional secara keseluruhan berkisar 700-an ribu barel per hari.
Setelah alih kelola, Pertamina memasang target produksi Blok Rokan rata-rata 160,5 ribu barel oil per day (BOPD) per Juli 2021. Bahkan, Pertamina menargetkan produksi menjadi 165 ribu BOPD pada akhir 2021. Caranya, dengan menambah titik sumur pengeboran baru di Blok Rokan.
Sepanjang sisa tahun ini, Pertamina akan melakukan pengeboran 151 sumur baru dan menambah 500 sumur baru pada 2022. Sementara SKK Migas memperkirakan target lifting 400 ribu baru tercapai pada tahun 2035. Dengan demikian, pada tahun 2035, Blok Rokan bisa memberikan kontribusi 25 persen – 35 persen dari konsumsi minyak nasional.
Memang, dengan hasil produksi sebanyak itu, Indonesia masih belum bebas dari jeratan impor BBM. Penyebabnya, konsumsi BBM dalam negeri terus bertambah. Kini, konsumsi minyak dalam negeri berkisar antara 1,4 juta – 1,5 juta barel per hari.
Angka itu tentu jauh dari produksi minyak nasional saat ini. Itu sebabnya Kementerian ESDM menargetkan lifting minyak mentah menjadi 1 juta barel per hari pada tahun 2030. Ladang minyak Blok Rokan diharapkan bisa memberi kontribusi untuk memenuhi target lifting minyak mentah tersebut.
Tak bisa dipungkiri, ladang minyak Blok Rokan akan menjadi tumpuan bangsa Indonesia. Alih kelola Blok Rokan banyak memberi harapan. Paling tidak, bisa mengurangi ketergantungan dan jerat impor BBM dari luar.
Ini bisa terjadi asalkan putra putri bangsa Indonesia yang mengelola Blok Rokan ini tidak hanya mempertahankan produksi yang sudah ada tetapi bisa meningkatkan produksi minyak. Alih kelola Blok Rokan ke Pertamina menjadi tantangan tersendiri. Melalui alih kelola Blok Rokan, kita harus bisa mewujudkan kemandirian energi nasional.
Nasionalisme
Tidak hanya bertumpu pada semangat nasionalisme saja, alih kelola Wilayah Kerja Minyak dan Gas (WK Migas) Rokan pun harus diimbangi dengan manajerial, teknologi mutakhir dan sumber daya manusia yang andal. Setelah alih kelola, ribuan pekerja di Blok Rokan menjadi sumber daya manusia di bawah PT Pertamina Hulu Rokan. Mereka tentu telah memahami pengelolaan blok minyak Rokan. Sumber daya manusia menjadi modal dasar dalam pengelolaan Blok Rokan.
Sebenarnya kualitas sumber daya manusia dan manajerial perusahaan Indonesia tidak kalah dengan perusahaan multinasional. Alih kelola Blok Rokan kepada Pertamina menjadi momentum.
Inilah saatnya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa putra putri bangsa Indonesia mampu mengelola ladang minyak terbesar kedua ini. Dengan semangat nasionalisme, putra putri Indonesia yang mengelola lapangan minyak Rokan mampu menunjukkan kemampuan dalam bidang teknologi dan produksi.
Selain itu, semangat nasionalisme dalam alih kelola Blok Rokan jangan sampai mengesampingkan hitung-hitungan teknis dan bisnis. Jangan sampai jargon nasionalisme justru membuat salah kelola Blok Rokan. Sekalipun operator lama, Chevron, sudah hengkang, tak berarti keuntungan operator lama lantas berpindah tangan. Pertamina harus menyiapkan dana cukup besar untuk kegiatan eksplorasi. Pertamina harus menyediakan investasi sekitar 70 miliar dolar AS atau setara Rp1.008 triliun selama 20 tahun untuk mengelola Blok Rokan.
Secara khusus, nasionalisme dalam pengelolaan Blok Rokan bukan hanya soal sumber daya manusia yang profesional dan kompeten, tetapi juga perlu disertai dengan kekuatan finansial perusahaan untuk mengelola ladang minyak Blok Rokan secara berkelanjutan.
Nasionalisme dalam pengelolaan blok migas memang penting. Namun, perlu diingat, kesiapan dari segi finansial. Sebab, kesiapan dan kemampuan Pertamina harus diakui tidaklah sekuat perusahaan multinasional lainnya seperti Shell, Total, Chevron, dan sebagainya.
Jelas, Pertamina memang tidak bisa berjalan sendiri mengelola Blok Rokan. Pertamina perlu mengajak mitra dalam pengelolaan Blok Rokan. Pertamina memerlukan bantuan pihak luar untuk memperkuat investasi. Kemitraan itu harus memenuhi syarat, yaitu bisa memberi jaminan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pengelolaan Blok Rokan oleh Pertamina harus memberi manfaat luas bagi negara, khususnya dalam penerimaan negara. Ini sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD RI Tahun 1945, bahwa kekayaan alam dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Tak bisa dikesampingkan, dalam pengelolaan Blok Rokan akan muncul beragam masalah dan kepentingan-kepentingan yang menyertainya. Karena itu, perlu diingatkan soal tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance untuk meningkatkan kinerja perusahaan dalam pengelolaan Blok Rokan.
Tata kelola perusahaan yang baik ini meliputi transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban (responsibility), dan kemandirian (independency), serta keadilan dan kesetaraan (fairness). Intinya, pengelolaan dijalankan secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh pihak manapun yang tidak sesuai dengan undang-undang serta prinsip korporasi yang sehat.
Alih kelola Blok Rokan kepada Pertamina—dan sebelumnya kesepakatan pembelian 51 persen saham Freeport Indonesia oleh perusahaan induk pertambangan PT Inalum—merupakan agenda nasionalisme dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir, pemerintah Indonesia memang mengarahkan sektor bisnis ke arah nasionalis meskipun tetap terbuka terhadap masuknya investasi asing.
Karena itu, dalam pengelolaan Blok Rokan, Pertamina harus bisa membuktikan diri sebagai perusahaan nasional yang menjadi lokomotif untuk mengerek perekonomian nasional.
Jika berhasil, proses alih kelola Blok Rokan bisa menjadi rujukan bagi peralihan wilayah kerja migas lainnya di Indonesia.
*) Budi Muliawan adalah Pemerhati Sosial, Alumni Program Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia
Oleh Budi Muliawan *)
Berita Lainnya
Mensos-Menko Pemberdayaan Masyarakat percepat nol kemiskinan ekstrem di Indonesia
18 December 2024 17:19 WIB
Kemenag berhasil raih anugerah keterbukaan informasi publik
18 December 2024 17:00 WIB
Dokter menekankan pentingnya untuk mewaspadai sakit kepala hebat
18 December 2024 16:37 WIB
Indonesia Masters 2025 jadi panggung turnamen terakhir The Daddies
18 December 2024 16:28 WIB
Menko Pangan: Eselon I Kemenko Pangan harus fokus pada percepatan swasembada pangan
18 December 2024 16:13 WIB
ASEAN, GCC berupaya perkuat hubungan kerja sama kedua kawasan
18 December 2024 15:57 WIB
Pramono Anung terbuka bagi parpol KIM Plus gabung tim transisi pemerintahan
18 December 2024 15:51 WIB
Pertamina berencana akan olah minyak goreng bekas jadi bahan bakar pesawat
18 December 2024 15:12 WIB