Asal muasal komodo hingga fenomena penutupan Taman Nasional Komodo

id Berita hari ini, berita riau terkini, berita riau antara,Asal muasal komodo

Asal muasal komodo hingga fenomena penutupan Taman Nasional Komodo

Pulau Komodo di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) akan ditutup pemerintah mulai 2020 untuk kepentingan konservasi (ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)

Kupang (ANTARA) - Binatang purba raksasa komodo (Varanus Komodoensis) tidak hanya hidup dan berkembang biak di Pulau Komodo, tetapi juga di Pulau Rinca, Gli Motang serta beberapa pulau kecil lainnya dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) serta daratan Pulau Flores.

Konon, binatang langka satu-satunya di dunia itu, pertama kali ditemukan oleh seorang penjelajah asal Belanda bernama JKH Van Steyn sekitar tahun 1910 di Pulau komodo. Ia kemudian mempublikasikan dan menyebarluaskan adanya pulau "buaya" itu ke seluruh dunia melalui hasil jepretannya.

Baca juga: Penutupan kawasan wisata Pulau Komodo sudah final mulai tahun 2020

Kabar ini pun akhirnya sampai juga di telinga Direktur Museum Zoologi Bogor, PA Owens. Pada 1912, dia menuliskan karya ilmiah tentang hasil dokumentasi komodo yang disebarluaskan oleh penjelajah asal negeri Belanda itu. Jurnal ilmiah tersebut diberi judul "On a Large Varanus Species from an Island of Komodo" dan menjadi bagian dari perpustakaan di The New York Botanical Garden.

Bermula dari jurnal ilmiah PA Owens inilah, berita keberadaan komodo pun makin menggaung ke seantro dunia. Hingga akhirnya, pada 1926 seorang penjelajah bernama W Douglas Burden melakukan ekspedisi untuk menemukan pulau "buaya" itu.

Dari hasil penjelajahannya, W Douglas Burden berhasil membawa 12 ekor komodo yang diawetkan dan 2 lagi masih dalam keadaan hidup. Tiga dari 12 komodo yang telah diawetkan tersebut dipamerkan di Museum Sejarah Alam Amerika. Douglas Burden kemudian mempopulerkan Komodo dengan sebutan "Komodo Dragon".

Lalu, pada tahun 1960, sebuah ekspedisi jangka panjang kembali direncanakan. Ekspedisi ini dilakukan oleh keluarga Auffenberg. Selama ekspedisi, mereka tinggal di Pulau Komodo selama 11 bulan. Selama berada di Pulau Buaya itu, Walter Auffenberg dan asistennya menangkap dan menandai lebih dari 50 ekor komodo.

Hasil ekspedisi Auffenberg ini pun terbukti sangat berpengaruh dalam meningkatkan populasi Komodo di penangkaran. Dengan dibantu oleh Claudio Ciofi, salah seorang ahli biologi, penelitian tersebut berhasil menjelaskan sifat dari komodo itu sendiri.

Penelitian itu menyebutkan perkembangan evolusi komodo dimulai sekitar 40 juta tahun lalu. Satwa liar ini, konon, berasal dari Asia, lalu bermigrasi ke Australia dan terus berevolusi menjadi bentuk raksasa. Lalu, mengapa komodo kemudian ditemukan di Pulau Komodo, di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur di wilayah Indonesia bagian timur?

Konon, katanya, sekitar 15 juta tahun yang lalu, Australia dan Asia Tenggara mengalami perpecahan, sehingga kondisi ini yang kemudian memungkinkan komodo untuk kembali ke tempat asalnya di Asia Tenggara, tepatnya di Indonesia timur. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya temuan fosil di Queensland, Australia. Fosil tersebut menunjukkan bahwa komodo benar-benar berevolusi di Australia sebelum menyebar ke Indonesia.

Ekspedisi yang dilakukan oleh para penjelajah tentang penemuan kadal raksasa ini pun mengerucut bahwa komodo merupakan hewan endemik yang hanya ditemukan di Indonesia. Untuk melindungi spesies tersebut maka Indonesia kemudian mendirikan Taman Nasional Komodo (TNK) pada 1980.

Kemudian pada tahun 1991, Taman Nasional Komodo (TNK) diterima sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO (United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization), sebuah badan yang membantu PBB dalam meningkatkan kerja sama antarnegara dan bangsa di dunia ini melalui bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Dan pada 11 November 2011, Taman Nasional Komodo akhirnya ditetapkan sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia (New7 Wonders) warisan alam dunia bersama Hutan Amazon, Halong Bay, Air Terjun Iguazu, Pulau Jeju, Sungai Bawah Tanah Puerto Princesa, dan Table Mountain.

Ditutup

Habitat komodo di alam bebas dilaporkan telah menyusut, sehingga Uni Internasional untuk Konservasi Alam, International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCNNR), sebuah organisasi internasional yang didedikasikan untuk konservasi sumber daya alam, memasukkan komodo sebagai spesies yang rentan terhadap kepunahan.

Sebenarnya daya tarik Taman Nasional Komodo (TNK) tidak semata-mata oleh kehadiran komodo di sana, tetapi juga panorama alam savana yang indah serta pemandangan alam bawah laut yang memikat, sehingga menjadi daya tarik pendukung yang potensial bagi pulau-pulau yang dihuni komodo dalam kawasan TNK tersebut.

Baca juga: Arief Yahya Sebut Isu Penutupan Taman Nasional Komodo Tidak Relevan Untuk Pariwisata

Pulau Komodo yang menjadi cikal bakal penemuan komodo itu, kini harus ditutup untuk semua aktivitas wisatawan. Pemerintahan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat telah bersepakat untuk menutup Pulau Komodo mulai 2020 untuk kepentingan konservasi agar habitat bagi sekitar 1.226 ekor komodo di pulau itu tetap terjaga dan tidak mengalami kepunahan.

Rencana penutupan Pulau Komodo itu menuai banyak kontroversi, ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. "Jika sampai ada yang demo terkait dengan rencana penutupan Pulau Komodo, kami menilai wajar-wajar saja, karena setiap keputusan pemerintah tidak selamanya menyenangkan semua orang," kata Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi.

Penutupan kawasan Pulau Komodo sebagai upaya pemerintah untuk menyelamatkan binatang purba raksasa Varanus Komodoensis agar tidak mengalami kepunahan. Pasalnya, di Pulau Komodo itu sudah ada pemukiman warga yang merupakan penduduk asli Pulau Komodo.

Atas dasar itu, Pemerintah NTT akan menggunakan prinsip dimensi fleksibilitas dalam penanganan warga dengan mengacu pada beberapa opsi. Opsi pertama, apakah warga dikeluarkan dari Pulau Komodo atau tetap mengizinkan mereka bermukim dalam kawasan pulau itu dengan jaminan bahwa konservasi tetap dilakukan.

"Tujuan mulia pemerintah adalah berusaha untuk menyelamatkan komodo agar tidak punah. Kita akan melepasliarkan hewan yang menjadi makanan utama komodo, seperti rusa, babi hutan, dan kambing di pulau 'buaya' itu untuk makanan komodo," ujar Nae Soi.

Apa pun alasannya, Pemerintah NTT tetap akan mencari tempat yang cocok sebagai lokasi pemukiman warga di Pulau Komodo, setelah kawasan wisata itu ditutup pemerintah NTT mulai 2020 selama setahun untuk kegiatan konservasi.

Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Labuan Bajo, Manggarai Barat, Pulau Flores, NTT juga menyatakan setuju terhadap usulan penutupan Pulau Komodo yang merupakan habitatnya binatang purba langka raksasa komodo (varanus komodoensis) untuk kepentingan konservasi.

"Pak Presiden Jokowi sudah menyetujui usul penutupan Pulau Komodo itu, setelah pak Gubernur Viktor Laiskodat berbicara langsung dengan kepala negara saat melakukan kampanye Pilpres 2019 di Kupang, Senin (8/4)," kata Kepala Biro Humas Setda NTT Mariius Ardu Jelamu.

Saat Gubernur NTT Viktor Laiskodat menyampaikan ikhwal penutupan Pulau Komodo, salah satu habitatnya komodo dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), Presiden Jokowi langsung menyetujuinya. Bahkan Presiden Jokowi langsung menelpon Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya untuk secepatnya memproses penutupan Pulau Komodo.

"Saya ingin tekankan bahwa yang ditutup itu hanya Pulau Komodo saja. Jadi wisatawan masih bisa bebas berwisata di kawasan TNK lainnya, seperti Pulau Rinca, Pantai Pink, Pulau Padar dan kawasan wisata lainnya di daerah itu," ujar Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat.

Populasi Komodo

Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch Dula akhirnya angkat bicara soal rencana pemerintah akan menutup Pulau Komodo, salah satu kawasan wisata dalam Taman Nasional Komodo di wilayah Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

"Rencana penutupan Pulau Komodo ini harus dikaji bersama para pelaku bisnis pariwisata di Manggarai Barat, jangan sampai mendatangkan kerugian besar bagi mereka," katanya seraya menambahkan untuk menutup Pulau Komodo dari kunjungan wisatawan selama setahun lamanya, perlu banyak pertimbangan dari berbagai sisi, karena para wisatawan memiliki animo yang tinggi ke Pulau Komodo sebagai habitatnya satwa purba langka tersebut.

"Artinya, rencana penutupan Pulau Komodo itu betul-betul dikaji secara mendalam agar bisa diantisipasi bagaimana baiknya jika para wisatawan dalam setahun dilarang berkunjung untuk melihat keliaran varanus komodoensis di Pulau Komodo itu," katanya.

Kepala Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Djati Witjaksono Hadi mengatakan penutupan Pulau Komodo, salah satu kawasan wisata dalam Taman Nasional Komodo (TNK), dimungkinkan untuk dilakukan atas dasar pertimbangan ilmiah atau kondisi khusus.

"Penutupan Pulau Komodo dimungkinkan atas dasar pertimbangan khusus, misalnya, karena kerusakan habitat atau gangguan terhadap satwa liar yang menjadi mangsanya komodo," katanya.

Ia menambahkan pemerintah memutuskan akan menutup Pulau Komodo, salah satu kawasan wisata dalam TNK pada Januari 2020 atas dasar pertimbangan khusus.

Salah satu kawasan taman nasional dimungkinkan untuk ditutup dengan pertimbangan ilmiah atau atas kondisi khusus, misalnya terjadi erupsi gunung berapi, kondisi cuaca ekstrem sehingga pendakian ditutup sementara seperti di TN Gunung Rinjani, TN Gunung Merapi, TN Bromo Tengger Semeru.

Selain karena pertimbangan ilmiah dan kondisi khusus, penutupan suatu kawasan taman nasional karena adanya kerusakan habitat atau gangguan terhadap satwa liar yang dilindungi akibat dari aktivitas pengunjung, bencana alam, dan mewabahnya hama dan penyakit seperti di Taman Nasional (TN) Way Kambas.

Berdasarkan monitoring Balai TN Komodo dan Komodo Survival Programme, pada tahun 2017 populasi komodo di TNK sebanyak 2.762 ekor, yang tersebar di Pulau Rinca (1.410), Pulau Komodo (1.226), Pulau Padar (2), Pulau Gili Motang (54), dan Pulau Nusa Kode (70).

Baca juga: Balai Taman Nasional Komodo raup pendapatan Rp32 miliar selama 2018

Pewarta: Laurensius Molan