Serangan Udara Israel di Lebanon Selatan Menyebabkan Lonjakan Pengungsi

id Lebanon

Serangan Udara Israel di Lebanon Selatan Menyebabkan Lonjakan Pengungsi

Orang-orang dan para tentara Lebanon memeriksa lokasi yang terkena serangan udara Israel di Kota Abbassiyeh, Lebanon, pada 6 November 2025. (ANTARA/Xinhua/Ali Hashisho)

Beirut/Yerusalem (ANTARA) - Israel pada Kamis (6/11) melancarkan gelombang serangan udara baru di Lebanon selatan, memperingatkan warga beberapa desa untuk mengungsi karena ketegangan terus meningkat meskipun gencatan senjata telah berlaku hampir setahun.

Sumber-sumber Lebanon mengatakan bahwa serangan udara Israel pada Kamis tersebut menewaskan satu orang dan melukai delapan lainnya di Kota Toura di Lebanon selatan, serta melukai satu orang lagi di Tayr Debba.

Serangan terbaru tersebut memicu gelombang pengungsian baru. Kemacetan parah dilaporkan terjadi saat warga meninggalkan daerah-daerah yang menjadi sasaran serangan.

Baca juga: PBB Sebut Israel Tolak Lebih 100 Permintaan Bantuan ke Gaza Sejak Gencatan Senjata

Beberapa sekolah swasta di wilayah Nabatieh, Lebanon selatan, mengumumkan penutupan pada Jumat (7/11) untuk menghindarkan siswa dan guru dari paparan bahaya.

Serangan-serangan tersebut menandai rangkaian operasi terbaru Israel yang semakin intensif, yang menurut sumber-sumber Lebanon kian meningkat sepanjang awal November ini.

Menurut sumber-sumber Lebanon tersebut, tentara Israel melancarkan 22 operasi militer selama pekan pertama November saja, termasuk serangan udara, penembakan artileri, dan penghancuran rumah.

"Operasi-operasi militer tersebut mengakibatkan delapan orang tewas dan 10 lainnya luka-luka, enam rumah hancur, empat buldoser terbakar, serta properti dan infrastruktur sipil rusak parah," kata sejumlah sumber-sumber Lebanon kepada Xinhua, Kamis (6/11).

Angka-angka tersebut mengimbuh jumlah korban pada Oktober lalu, yang dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan Lebanon sebagai 28 orang tewas dan 54 lainnya luka-luka akibat penembakan Israel.

Kalangan analis meyakini bahwa eskalasi ini merupakan bagian dari kampanye tekanan terkalkulasi oleh Israel terhadap Hizbullah.

Militer Israel dalam sebuah pernyataan pada Kamis mengatakan bahwa mereka telah "memulai serangkaian serangan terhadap target-target militer milik Hizbullah di Lebanon selatan." Avichay Adraee, juru bicara (jubir) militer Israel, mengeluarkan peringatan evakuasi khusus untuk desa Al-Tayyiba, Tayr Debba, dan Aita al-Jabal.

Pada Kamis yang sama, seorang narasumber intelijen militer senior Lebanon mengungkapkan bahwa "tentara Lebanon sedang bekerja dengan kekuatan penuh untuk membersihkan wilayah-wilayah di selatan Sungai Litani dari senjata dan militan", dengan mendirikan pos di 118 lokasi serta menghancurkan puluhan situs militer dan terowongan

Unit-unit militer Lebanon telah menyelesaikan sekitar 90 persen dari misi fase pertama yang diamanatkan kepada mereka, yang dijadwalkan akan selesai pada akhir tahun ini, kata sumber tersebut.

Sementara itu, Hizbullah pada Kamis mengeluarkan sebuah surat terbuka kepada Presiden Lebanon Joseph Aoun, Ketua Parlemen Lebanon Nabih Berri, dan Perdana Menteri (PM) Lebanon Nawaf Salam, memperingatkan agar tidak "terjebak dalam perangkap negosiasi" dengan Israel.

"Tidak ada kepentingan nasional dalam negosiasi politik dengan musuh, Israel," kata pernyataan tersebut.

Hizbullah menambahkan bahwa Israel menggunakan "pemerasan" untuk memaksakan persyaratan, termasuk pelucutan senjata Hizbullah, sebagai prasyarat untuk mengakhiri permusuhan, yang "tidak dapat diterima dan tidak termasuk dalam deklarasi gencatan senjata".

Pasukan Sementara PBB di Lebanon (United Nations Interim Force in Lebanon/UNIFIL) kembali mengutarakan keprihatinan mendalamnya terhadap eskalasi operasi militer di kedua sisi Garis Biru, seraya mendesak semua pihak "untuk menahan diri dan menjaga saluran komunikasi terbuka guna menghindari miskalkulasi".

Gencatan senjata antara Hizbullah dan Israel telah berlaku sejak 27 November 2024. Namun, tentara Israel terus melakukan serangan sesekali di Lebanon, dengan dalih operasi melawan "ancaman" Hizbullah.

Tentara Israel juga masih mempertahankan pasukan di lima posisi utama di sepanjang perbatasan Lebanon.

Analis politik Lebanon Nidal Issa kepada Xinhua mengatakan Lebanon saat ini berada di ambang konfrontasi baru.

Dia menggambarkan situasi di Lebanon sebagai "bagian dari kebijakan 'tekanan melalui serangan' yang diterapkan Israel dengan tujuan untuk memaksakan syarat-syaratnya sebelum masuk ke dalam apa yang dapat disebut sebagai perang skala penuh".

Baca juga: 9.250 Warga Palestina Ditahan Israel

"Meskipun operasi militer semakin intensif, Hizbullah sedang berusaha mempertahankan keseimbangan pencegahan tanpa terjebak ke dalam perang habis-habisan, dan menganggap tuntutan Israel tentang pelucutan senjatanya sebagai syarat yang bertujuan untuk mempermalukan Lebanon," kata Issa.

Analis politik dan penasihat mantan PM Lebanon Salim al-Hoss Refaat Badawi meyakini bahwa eskalasi itu bertujuan untuk menekan Hizbullah dan pemerintah Lebanon agar masuk ke dalam negosiasi langsung atau tidak langsung dalam kerangka diplomatik yang dapat mengarah pada normalisasi hubungan antara Lebanon dan Israel.

"Israel sedang menerapkan tekanan ini untuk memeras Lebanon dan mempertahankan status quo di Lebanon selatan, untuk menghentikan Lebanon menuntut penarikan pasukan Israel dari selatan, dan untuk kembali ke perjanjian gencatan senjata 1949," tutur Badawi.

Pewarta :
Editor: Vienty Kumala
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.