Pelukan di Kelas Awal, Tengku Maya dan Jemuran Literasi di Dumai

id Berita hari ini, berita riau terbaru, berita riau antara,Tanoto

Pelukan di Kelas Awal, Tengku Maya dan Jemuran Literasi di Dumai

Pelukan di Kelas Awal, Tengku Maya dan Jemuran Literasi di Dumai (ANTARA/HO-Tanoto Foundation)

Pekanbaru (ANTARA) - Di sebuah pagi di SD Negeri 004 Teluk Binjai, Kota Dumai, suara tangis kecil terdengar dari sudut ruang kelas. Seorang anak duduk memeluk lututnya, enggan membuka buku. Alih-alih menegur, seorang guru perempuan perlahan berlutut, membuka tangan, lalu memeluk sang anak.

"Kadang, sebelum anak siap belajar membaca, mereka perlu merasa dicintai dulu," ujar Tengku Maya Sari, guru kelas satu di sekolah itu.

Bu Maya, begitu ia disapa, percaya bahwa pendidikan dasar bukan soal cepat bisa membaca, melainkan tentang merasa aman dan diterima. "Saya ingin mereka tahu bahwa di ruang ini, mereka utuh diterima. Dalam segala kondisi mereka," katanya lembut.

Sudah lebih dari lima belas tahun Bu Maya berkecimpung di dunia pendidikan. Kariernya dimulai pada tahun 2005, saat ia mengelola taman kanak-kanak pertama di Kampung Pergam, Pulau Rupat, sambil kuliah Pendidikan Guru di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau. Setelah lulus pada tahun 2007, ia lolos seleksi calon pegawai negeri sipil dan mulai mengajar di SD Negeri Mundam. Ia kemudian berpindah ke SD Negeri 004 Teluk Binjai, tempatnya mengabdi hingga kini.

Meski telah lama mengajar, penempatan di kelas satu justru menjadi titik balik dalam perjalanan pendidikannya. “Baru kali ini saya memegang kelas awal. Dan saya menyadari, di sinilah fondasi pendidikan sebenarnya dibentuk," jelasnya.

Ia menceritakan pengalaman mendampingi seorang siswa yang lahir tahun 2016, yang seharusnya sudah duduk di kelas dua atau tiga, namun masih berada di kelas satu dan belum bisa membaca. “Saya sempat bingung. Tapi saya sadar, dia bukan kurang pintar. Mungkin selama ini belum ada yang membangun rasa percaya dirinya. Jadi saya mulai dari sana dulu," terangnya.

Ia mengadopsi gaya belajar berdiferensiasi untuk menjangkau kebutuhan anak-anak yang berbeda. Ia menuturkan bahwa sampai saat ini, ia masih terus memegang prinsip MIKiR (Mengalami, Interaksi, Komunikasi, dan Refleksi) yang ia dapatkan dari pelatihan Program PINTAR Tanoto Foundation beberapa tahun yang lalu. Pendekatan ini menekankan pembelajaran yang berpusat pada murid, memberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan kesiapan masing-masing anak, terlebih menyesuaikan dengan konteks kehidupan sehari-hari.

Salah satu ide kreatifnya yang menarik adalah "Jemuran Literasi". Terinspirasi dari keseharian anak-anak yang sering diminta orang tua membantu menjemur pakaian, ia menciptakan media belajar sederhana. Tali dibentangkan seperti jemuran, lalu huruf-huruf digantung di sana. Anak-anak diajak menjemur huruf, menyusunnya menjadi kata, lalu membaca bersama dengan gembira.

"Anak-anak di sini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Jadi saya ingin proses belajar terasa menyatu dengan keseharian mereka," ujarnya.

Saat masih mengajar di SD Negeri Mundam, ia juga pernah mengajak murid-muridnya untuk mencari kata yang dikenali dari papan tulis yang dipenuhi puluhan tulisan. "Huruf bukan sekadar simbol. Itu pintu ke dunia mereka yang lebih luas. Maka harus dibuka dengan cara yang menyenangkan," tambahnya.

Semangatnya membentuk ruang belajar yang ramah anak tidak lahir begitu saja. Ia mengenang masa sekolah menengahnya, saat ia pernah diajar oleh seorang guru yang sangat keras.

“Waktu itu saya pernah mendapat nilai nol. Saya begitu kecewa dan sedih, sampai-sampai menulis berulang kali di buku, saya bodoh, saya bodoh, hingga memenuhi satu halaman penuh. Tapi dari pengalaman itu, saya belajar banyak. Justru di semester itu, saya meraih menjadi peringkat pertama. Bukan karena dimarahi, tapi karena saya mencoba bangkit dari luka yang saya rasakan," terangnya.

Kepala SD Negeri 004 Teluk Binjai, Iskandar, turut mengapresiasi dedikasi Bu Maya. “Ia tidak hanya mengajar. Ia memimpin proses belajar. Saya sering melihat sendiri bagaimana ia sabar mendampingi anak-anak. Bahkan saya pernah dapati Bu Maya memeluk siswa yang menangis, dan memberi afirmasi yang tulus. Ia menyentuh hati anak-anak, bukan hanya pikiran mereka.”

Kini, setiap pagi di ruang kelas itu, pelajaran tidak hanya dimulai dengan membuka buku. Tapi juga membuka hati. Karena bagi Bu Maya, membaca dimulai bukan dari huruf pertama, melainkan dari pelukan pertama. Dari rasa aman dan cinta yang membuat anak-anak kelas awal berani melangkah dan bertumbuh.