Washington (ANTARA) - Sekretaris Jendral PBB Antonio Guterres, Jumat (12/5), menyambut baik kesepakatan antara para jendral yang bertikai di Sudan untuk memungkinkan aliran bantuan kemanusiaan yang aman di negara tersebut.
Namun, Guterres juga menekankan perlunya gencatan senjata yang lebih luas di Sudan.
"Sementara pekerja kemanusiaan, terutama mitra lokal, terus memberikan bantuan dalam keadaan yang sangat sulit, Sekretaris Jendral (Guterres) berharap Deklarasi (Pakta Kemanusiaan) ini akan memastikan bahwa operasi bantuan dapat ditingkatkan dengan cepat dan aman untuk memenuhi kebutuhan jutaan orang di Sudan," kata Juru Bicara Sekjen PBB Stephane Dujarric dalam sebuah pernyataan.
"Dia (Guterres) mengulangi seruannya untuk gencatan senjata segera dan memperluas diskusi untuk mencapai penghentian permusuhan secara permanen," ujar Dujarric.
Setelah pembicaraan selama satu pekan di kota pelabuhan Jeddah, Arab Saudi, Angkatan Bersenjata Sudan dan kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) menandatangani "Deklarasi Komitmen untuk Melindungi Warga Sipil Sudan," kata Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Kamis (11/5).
Semua pihak sekarang akan menggunakan forum Jeddah untuk "fokus pada pencapaian kesepakatan tentang gencatan senjata yang efektif hingga sekitar 10 hari untuk memfasilitasi kegiatan (forum) ini. Langkah keamanan akan mencakup mekanisme pemantauan gencatan senjata yang didukung AS-Saudi dan komunitas internasional," tambahnya.
Dujarric mengatakan bahwa PBB "tidak akan menyia-nyiakan upaya untuk membantu" pelaksanaan pakta kemanusiaan itu, "dan akan terus memberikan bantuan kemanusiaan, terlepas dari adanya gencatan senjata atau tidak."
Pada 15 April, pertempuran meletus antara tentara Sudan dan RSF di ibukota Khartoum dan sekelilingnya. Lebih dari 600 orang telah tewas dan ribuan lainnya terluka.
Ketidaksepakatan telah muncul beberapa bulan terakhir antara tentara Sudan dan RSF tentang integrasi RSF ke dalam angkatan bersenjata, yang merupakan satu syarat utama perjanjian transisi Sudan dengan kelompok-kelompok politik.
Sudan tidak memiliki pemerintahan yang berfungsi sejak Oktober 2021 saat militer membubarkan pemerintahan transisi Perdana Menteri Abdalla Hamdok dan menyatakan keadaan darurat dalam sebuah langkah yang dikecam oleh kekuatan politik sebagai "kudeta."
Masa transisi Sudan, yang dimulai pada Agustus 2019 setelah penggulingan Presiden Omar al-Bashir, dijadwalkan berakhir dengan pemilihan umum pada awal 2024.
Baca juga: Dua pihak bertikai di Sudan nyatakan sepakat lindungi warga sipil
Baca juga: WHO: 604 orang dilaporkan tewas dan 5.127 terluka selama konflik Sudan
Sumber: Anadolu
Berita Lainnya
Kemenekraf berkolaborasi untuk bantu promosikan produk kreatif
19 December 2024 14:52 WIB
Mengapa tidur menggunakan lensa kontak dapat bahayakan mata, begini penjelasannya
19 December 2024 13:25 WIB
Erick Thohir beberkan hasil transformasi sepak bola Indonesia ke FIFA
19 December 2024 13:18 WIB
Mendikdasmen dorong agar kegiatan pembelajaran tak terbatas di sekolah
19 December 2024 13:00 WIB
Saat Natal dan Tahun Baru, kelurahan-kecamatan di Jaksel diingatkan untuk gandeng aparat
19 December 2024 12:39 WIB
Presiden Prabowo bertemu PM Pakistan bahas kerja sama ekonomi dan perdagangan
19 December 2024 12:05 WIB
Warga Gaza dambakan perdamaian dan kehidupan normal
19 December 2024 12:00 WIB
Film "Perang Kota" akan jadi penutup festival film Rotterdam, Belanda ke-54
19 December 2024 11:38 WIB