Hampir 60.000 warga China tewas dalam dua bulan terakhir akibat COVID-19

id 60.000 tewas,kematian covid,covid china,diskriminasi china,NHC,CCDC,warga China

Hampir 60.000 warga China tewas dalam dua bulan terakhir akibat COVID-19

Massa memadati tempat tes PCR di pinggir jalan di Distrik Chaoyang, Kota Beijing, China, Sabtu (3/12) sore, hingga menimbulkan antrean panjang. Situasi tersebut terjadi setelah otoritas kesehatan setempat memangkas masa berlaku hasil tes negatif COVID-19 dari 72 jam menjadi 48 jam tanpa menambah jumlah petugas pengambilan sampel sehingga sejumlah tempat tes PCR di setiap kompleks permukiman warga banyak yang tutup. (ANTARA/M. Irfan Ilmie)

Beijing (ANTARA) - Mengejutkan. Komisi Kesehatan Nasional China (HNC) merilis data terbaru bahwa sebanyak 59.938 warga setempat tewas saat terjadinya puncak lonjakan COVID-19 dari 8 Desember 2022 hingga 12 Januari 2023.

Jiao Yahui, pejabat NHC, kepada pers di Beijing, Sabtu, mengungkapkan bahwa pihaknya mengklasifikasi kasus kematian akibat positif COVID-19 berdasarkan hasil tes PCR sesuai dengan standar internasional yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Ia menyebutkan, rata-rata usia yang meninggal akibat COVID-19 pada periode tersebut adalah 80,3 tahun.

Lebih dari 90 persen pasien COVID-19 yang meninggal juga menderita menderita penyakit bawaan.

Menurut dia, penyebab kematian COVID-19 ada dua --- infeksi virus corona yang menyebabkan kegagalan pernapasan atau penyakit bawaan yang berinteraksi dengan virus corona.

Di antara 59.938 kematian akibat COVID-19 itu, sebanyak 5.503 kasus karena kegagalan saluran pernapasan akibat serangan virus tersebut, dan 54.435 kasus dibarengi dengan penyakit bawaan, demikian NHC.

Jiao menambahkan bahwa musim dingin di China yang memicu interaksi penyakit saluran pernapasan dan penyakit lainnya berpengaruh terhadap lansia sehingga sebagian besar kalangan tersebut menjadi korban gelombang terkini kasus COVID-19.

"Hal ini memperingatkan kami agar lebih fokus pada pasien lansia dan kami akan melakukan upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawa warga," ujar pejabat perempuan itu.

Jiao lebih lanjut mengemukakan bahwa pihaknya telah membentuk platform pelaporan yang bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisis kematian terkait COVID-19 secara ilmiah dan berbasis fakta. Platform tersebut mulai digunakan pada 31 Desember 2022.

Selain itu, institusi medis di seluruh pelosok China diminta untuk mengumpulkan dan melaporkan informasi tentang kematian yang tercatat antara tanggal 8 hingga 29 Desember.

Butuh beberapa waktu bagi para ahli untuk menganalisis sebagian besar data dalam menyajikan laporan berbasis sains yang objektif tentang jumlah kematian akibat COVID-19, demikian Jiao.

Lonjakan kasus COVID-19 yang mulai terjadi pada Desember 2022 bersamaan dengan kebijakan otoritas setempat yang melonggarkan protokol kesehatan. Pada bulan itu pula NHC memutuskan tidak lagi mempublikasikan data harian COVID-19.

Pada 8 Januari 2023, China membebaskan warganya bepergian ke luar negeri. Beberapa negara di Eropa ditambah Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia mewajibkan warga China menunjukkan hasil tes negatif PCR sebelum keberangkatan lantaran China dituduh tidak transparan terkait data COVID-19 terbaru.

China menganggap kebijakan negara-negara tersebut diskriminatif yang diikuti tindakan balasan dengan tidak memberikan visa kepada warga negara Korsel dan Jepang.

Beberapa media juga melaporkan pemandangan tempat-tempat kreamatorium, khususnya di Beijing dan Shanghai yang kewalahan menerima jenazah para pasien COVID-19.