Kenaikan harga pangan berpengaruh pada daya beli masyarakat

id harga pangan,daya beli masyarakat,sembako naik

Kenaikan harga pangan berpengaruh pada daya beli masyarakat

Ilustrasi: Sejumlah bahan kebutuhan pokok disiapkan untuk konsumen dalam Gelar Pangan Murah di Samarinda Seberang, Samarinda, Kaltim, pada Jumat (22/4). (ANTARA/M Ghofar)

Jakarta (ANTARA) - Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mengemukakan kenaikan harga sejumlah komoditas pangan yang terjadi sejak awal tahun berdampak pada daya beli masyarakat.

“Kestabilan harga bukan lagi satu-satunya penentu keterjangkauan masyarakat terhadap komoditas pangan. Pemerintah perlu memperhatikan penurunan daya beli akibat pandemi COVID-19,” kata Kepala Riset CIPS Felippa Ann Amanta dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.

Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kemiskinan September 2021 menunjukkan perbaikan dengan penurunan sebesar 9,71 persen setelah tahun sebelumnya pada September 2020 mencapai 10,19 persen.

Namun, lanjutnya, capaian positif ini berpotensi menurun akibat tingginya harga komoditas pangan. Pangan merupakan komponen konsumsi rumah tangga yang cukup signifikan, terutama pada masyarakat berpenghasilan rendah yang dapat mencapai 50 persen.

Indeks Rumah Tangga Bulanan (Bu RT) dari CIPS menunjukkan harga minyak goreng di Jakarta pada Maret naik 32,18 persen menjadi Rp18.505 dari Rp14.000 per liter pada Februari atau naik 39,69 persen dari Rp 13.247 per liter dibandingkan Maret 2021

. Pemerintah baru-baru ini memberlakukan larangan ekspor Minyak Sawit Mentah (CPO) dan produk turunannya, termasuk minyak goreng, setelah sebelumnya memberlakukan kenaikan Kewajiban Pasar Domestik (DMO), Kewajiban Harga Domestik (DPO) dan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Harga daging sapi juga mengalami kenaikan sejak awal tahun. Pada Maret 2022 naik 9,27 persen dari Februari menjadi Rp153.700 per kg atau naik 2,28 persen dari periode yang sama tahun lalu. Felippa menjelaskan, kenaikan harga tersebut terkait dengan kenaikan harga daging sapi dunia, kenaikan biaya distribusi, dan kenaikan permintaan jelang Ramadhan.

“Karena pasokan daging sapi Indonesia masih didominasi impor yaitu 30 persen berdasarkan data Kementerian Pertanian 2020, kenaikan harga daging sapi internasional juga berdampak pada harga domestik,” katanya.

Berdasarkan data BPS, impor daging sapi Indonesia pada 2020 akan didominasi oleh Australia (47 persen), India (34,18 persen), Amerika Serikat (8,74 persen), Selandia Baru (6,46 persen), dan lainnya (3,62 persen).

Dalam jangka panjang, menurut Felippa, hal ini dapat mempengaruhi konsumsi zat gizi. Masyarakat cenderung memilih makanan yang mengenyangkan dengan harga yang lebih murah, namun belum tentu mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh.

“Proses dan prosedur perdagangan perlu ditingkatkan agar tidak memakan biaya dan waktu. Selain itu, kebijakan perdagangan harus dibarengi dengan kebijakan pertanian yang fokus pada peningkatan daya saing produsen dalam negeri. Faktor domestik yang menyebabkan harga tinggi harus disikapi melalui kebijakan seperti peningkatan penelitian dan pengembangan, akses input yang lebih murah, dan perbaikan infrastruktur,” imbuhnya.

Felippa mengatakan upaya peningkatan daya saing produk pertanian diperlukan untuk membuka pasar. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan upaya yang konsisten untuk menciptakan dan memelihara iklim usaha investasi dan persaingan usaha di Indonesia.

Modernisasi dan alih teknologi dapat membantu efisiensi proses produksi yang dilakukan oleh petani. Proses produksi yang tidak efisien membuat produk pertanian lokal sulit bersaing dengan produk impor yang tercipta melalui proses produksi yang efisien sehingga kualitasnya lebih baik dan harganya lebih murah.