Jakarta (ANTARA) - Lembaga think tank kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan masalah internasional, Council on Foreign Relations, beberapa waktu lalu membuat poin-poin pandangan dua calon presiden Amerika Serikat untuk pemilu 3 November terhadap masalah-masalah global.
Masalah-masalah global itu meliputi soal China, iklim dan energi, virus corona, kontraterorisme, keamanan siber dan kebijakan digital, pertahanan, diplomasi dan bantuan luar negeri, kebijakan ekonomi, imigrasi, Timur Tengah, Korea Utara, Rusia, perdagangan, dan Vennezuela-Amerika Latin.
Baca juga: Setelah Presiden Trump, kini putranya Barron dinyatakan positif terinfeksi COVID-19
Penulis mencoba mengaitkan sejumlah masalah global itu dalam hubungannya dengan Indonesia.
Soal China, keamanan siber dan kebijakan digital, ekonomi, perdagangan dan kebijakan luar negeri, bisa menjadi dimensi yang menarik untuk dilihat dari kacamata kepentingan nasional Indonesia.
Datang dari dua kubu kekuatan politik yang berbeda pandangan dalam mendekati operasional pemerintahan, khususnya ekonomi, inkumben Presiden Donald Trump dari Partai Republik dan calon presiden Joe Biden dari Partai Demokrat berseberangan dalam memandang dunia. Yang satu isolasionis, satunya lagi internasionalis.
Karena AS masih berstatus adidaya dunia dan kekuatan ekonomi nomor satu dunia, maka pemilu AS kali ini tetap bisa bersinggungan dengan kepentingan banyak negara, terutama berkaitan dengan kemungkinan berubahnya wajah hubungan internasional dan kebijakan luar negeri mereka yang sedikit banyak mempengaruhi dunia dan Indonesia.
Dan khususnya seandainya Biden yang terpilih, karena dia memiliki calon wakil presiden berketurunan Asia, Kamala Harris, maka AS kemungkinan kembali memandang secara khusus Asia seperti dulu terjadi pada era Barack Obama.
Dalam soal China, Trump mengambil pendekatan agresif demi melindungi kepentingan kelas pekerja dan ekonomi domestik AS serta mengurangi defisit perdagangan bilateral yang begitu tinggi.
Trump menekankan kepentingan domestiknya dalam menekan China, sebaliknya Biden mengimbuhkan tekanan itu dengan artikulasi hak asasi manusia dan beroperasi di bawah kerangka kerja sama internasional.
Trump lebih membiarkan negara lain mengurusi diri sendiri, sebaliknya Biden bakal mengajak serta negara lain dalam menyikapi China.
Biden bisa lebih menguntungkan Indonesia ketimbang Trump, terutama dalam kaitan Laut China Selatan yang dalam beberapa tahun ini agresif diusik China.
Biden bisa mendorong aktifnya lagi kerangka kawasan dalam menangkal China yang belakangan kian keras bersinggungan dengan Vietnam, Thailand, Malaysia dan Filipina di area-area Laut China Selatan yang dipersengketakan.
Biden juga bisa mendorong AS lebih aktif dalam patroli di jalur perairan internasional bercadangan energi besar dan jalur pelayaran paling sibuk di dunia itu. Paling tidak, Indonesia dan ASEAN, mendapatkan kekuatan penyeimbang dalam menghadapi China yang kini berani memasuki zona ekonomi eksklusif Indonesia dekat Natuna.
Multilateralisme dan internasionalisme Biden juga bisa menjadi pendorong aktifnya lagi pakta-pakta dagang kawasan seperti Kemitraan Trans-Pasifik di mana Indonesia turut serta di dalamnya yang bisa menjadi alternatif bagi independensi ekonomi dari ketergantungan berlebihan kepada China.
Namun isu hak asasi manusia dan kesetaraan yang menjadi trademark Demokrat bisa bermasalah bagi Indonesia, terutama di daerah-daerah seperti Papua yang bisa dimanipulasi untuk membuat AS menoleh ke sana. Meskipun demikian isu HAM dan kesetaraan bisa turut mendorong wajah Indonesia yang ramah kepada kesetaraan dan HAM di bagian-bagian lainnya di negeri ini.
Dilema perdagangan global
Dalam soal virus corona Trump dan Biden juga berbeda. Selain mengabaikan penyakit COVID-19, Trump juga tak tertarik pada upaya global memerangi pandemi, sebaliknya Biden menginginkan AS kembali memimpin upaya global menangani virus corona.
Di satu sisi sikap Trump yang berorientasi ke dalam negeri turut mendorong Indonesia melakukan upayanya sendiri yang independen dalam menangkal COVID-19.
Namun pandemi justru membutuhkan koordinasi global karena sifat penyakit menular tak bisa dibatasi oleh teritori atau hanya oleh kebijakan nasional. Ini membutuhkan koordinasi global.
Janji Biden berkoordinasi dengan dunia, salah satunya dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dicampakkan Trump, akan lebih mendorong Indonesia aktif berkoordinasi dengan dunia internasional dalam memerangi wabah global ini.
Yang juga menarik dari pertentangan kedua calon adalah sikap mereka dalam soal keamanan siber dan kebijakan digital.
Trump menyerang perusahaan-perusahaan teknologi AS bersekongkol menjatuhkan dia sehingga titik beratnya selalu citra dirinya. Sebaliknya Biden menekankan ancaman siber kian menantang kepentingan nasional AS dan demokrasi dunia.
Biden menekan perusahaan-perusahaan teknologi agar mereformasi praktik-praktik privasi, pengawasan dan ujaran kebencian. Dia aktif memaksa raksasa-raksasa teknologi mengambil langkah nyata dalam melawan ujaran kebencian, disinformasi dan berita palsu, selain juga menyoroti monopoli mereka.
Biden bisa menjadi referensi kebijakan yang realistis bagi Indonesia yang juga dibanjiri ujaran kebencian dan disinformasi.
Selama ini Indonesia memerangi ujaran kebencian dengan menyasar para pelaku ujaran kebencian di bawah tameng UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Tapi Indonesia nyaris tidak mengusik platform-platform raksasa melalui mana ujaran kebencian itu menyebar.
Ini berbeda dengan Australia, Eropa dan AS yang lebih menekankan tindakan terhadap platform ketimbang pemakai platform, bahkan mengincar monopoli platform terhadap ekosistem bisnis digital global. Mereka bahkan berusaha melindungi industri-industri tradisional seperti media massa yang berantakan karena monopoli raksasa digital.
Sementara dalam soal ekonomi, seperti umumnya pemimpin Republik yang menolak intervensi negara secara berlebihan dalam manajemen ekonomi, Trump mendorong pemangkasan pajak yang membuat ekonomi AS yang bertumpu kepada korporasi besar itu memang mengalami lonjakan, namun itu mengabaikan elemen kelompok menengah.
Biden sebaliknya ingin lebih aktif mengembangkan kelas menengah. Bagi Indonesia proposal Biden itu bisa menjadi inspirasi dalam memajukan kelas menengah yang seperti di AS juga berperan besar dalam masa-masa krisis seperti krisis pandemi sekarang.
Dalam soal perdagangan, Trump menyerang sistem perdagangan global yang disebutnya merugikan kepentingan AS dan menjadi biang defisit perdagangan AS, lumpuhnya sektor manufaktur dan banjir tenaga kerja asing. Namun Biden berusaha mempromosikan kembali liberalisasi perdagangan dan ingin membawa AS memimpin kembali tatanan perdagangan dunia.
Bebas aktif
Sikap proteksionis Trump, terutama dalam melindungi tenaga kerja lokal, memang beriringan dengan keinginan besar komponen-komponen masyarakat Indonesia dalam melindungi lapangan kerja lokal.
Namun Indonesia juga membutuhkan kerangka kerjasama internasional dalam memperjuangkan kepentingan ekonomi nasionalnya, terutama saat berhubungan dengan negara-negara berpostur ekonomi lebih besar yang tidak cukup diatasi hanya dengan formula bilateral.
Ada wilayah-wilayah perdagangan di mana Indonesia membutuhkan banyak aktor untuk terlibat, apalagi jika dikaitkan dengan posisi unik Indonesia di kalangan negara-negara berkembang, ASEAN dan dunia Islam, khususnya kepentingan dalam menciptakan arsitektur perdagangan dunia yang adil.
Liberalisasi perdagangan tidak selalu buruk karena Indonesia juga memerlukannya saat misalnya turut bermain dalam memasok tenaga-tenaga ahli di luar negeri atau memasuki pasar-pasar yang gemuk tapi diproteksi secara berlebihan.
Terakhir, Indonesia juga bisa menarik aspek positif dari bagaimana berubahnya wajah kebijakan luar negeri AS nanti.
Selama delapan dekade terakhir ini AS selalu memimpin upaya diplomasi global dalam membangun aliansi dan lembaga-lembaga supranasional guna mempromosikan perdamaian dan kemakmuran.
AS juga yang menjadi arsitek dan pemimpin organisasi-organisasi dunia yang saat ini penting bagi tatanan global, entah Perserikatan Bangsa Bangsa, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, Organisasi Perdagangan Dunia, atau Organisasi Kesehatan Dunia, atau banyak lagi yang sejenisnya.
Posisi unik AS ini telah ditinggalkan Trump karena presiden ini menganggap institusi-institusi global tersebut telah memaksa AS menyerahkan kedaulatannya. Konsekuensinya Trump memangkas bantuan AS untuk dunia dan lembaga-lembaga dunia.
Sebaliknya Biden menyadari AS tengah menghadapi tantangan baru yang tak bisa ditangani sendirian. Untuk itu, hubungan dengan mitra dan kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional adalah keniscayaan.
Pandangan Trump sedikit banyak memang sejalan dengan orientasi Indonesia yang memprioritaskan kepentingan domestiknya dan lebih independen dari kemungkinan campur tangan lebih jauh pihak eksternal.
Namun sejak awal berdiri republik ini, Indonesia tak pernah melepaskan diri dari kerangka kerjasama luar negeri, apalagi ASEAN menuntut Indonesia menjadi pemimpin kawasan terlebih pada momen berat seperti sekarang di mana harus berhadapan dengan agresifnya China sekalipun China adalah sumber likuiditas penting bagi ekonomi ASEAN dan Indonesia.
Pendekatan ini bisa bertautan dengan tradisi hubungan internasional Indonesia yang meninggikan konsultasi-konsultasi multilateral dalam menyelesaikan perselisihan dan juga peluang, entah pada skala ASEAN, Organisasi Konferensi Islam atau format-format kerjasama ekonomi lintas kawasan seperti APEC dan Kemitraan Trans-Pasifik.
Di atas itu semua Indonesia juga membutuhkan kekuatan penyeimbang sehingga tidak ada aktor internasional mana pun yang terlalu mendikte Indonesia dan mitra-mitranya di kawasan.
Tentu saja semua itu diabdikan kepada politik luar negeri bebas aktif yang bermuara pada kepentingan nasional.
Baca juga: MA AS akan dengar argumen lisan Trump kecualikan representasi imigran ilegal
Baca juga: Dr.Anthony Fauci: Obat antibodi Regeneron bantu kesehatan Trump
Oleh Jafar M Sidik