Pekanbaru (ANTARA) - Bagi seorang wartawan yang hampir setiap hari beraktifitas di lapangan, memiliki asuransi kesehatan itu sebuah keharusan, terlebih lagi, saat kondisi pandemi COVID-19 seperti sekarang.
Sekedar berbagi pengalaman, saya adalah jurnalis sejak 2006 di kantor berita berita. Sebagai seorang pewarta dan telah terikat kontrak, saya harus siap ditempatkan di manapun di seluruh pelosok Nusantara.
Petualangan dimulai sejak 2006. Saat itu saya masih bujangan berumur 26 tahun yang ditugaskan ke Provinsi Sulawesi Tengah dari Jakarta. Kala itu, aksi penumpasan teroris di wilayah itu masih kencang, terutama di Kabupaten Poso dan Kota Palu. Sebuah tantangan tersendiri.
Selama masih membujang di Palu, Ibu Kota Provisni Sulawesi Tengah, saya tidak pernah menggunakan asuransi kesehatan untuk berobat. Kalau sekedar pusing atau batuk, cukup istirahat dan minum obat biasa. Alhamdulillah sehat.
Hingga akhirnya pada 2010, saya dipertemukan jodoh saya dan mengikat janji suci pernikahan. Setahun setelahnya, kami dikarunia seorang putra.
Saat itu belum ada BPJS Kesehatan sehingga kami ikut asuransi kesehatan sesuai kebijakan tempat kerja. Meski biaya berobat ditanggung kantor, kami harus membayarnya terlebih dahulu ke fasilitas kesehatan jika ingin berobat. Lalu, ongkos berobat diklaim (reimburse) dan diganti sekian persen beberapa waktu kemudian.
Meski biaya kesehatan ditanggung kantor, dengan status karyawan tetap yang baru diangkat setahun, uang tabunganpun masih pas-pasan. Uang cadangan diupayakan harus selalu tersedia, entah bagaimana caranya. Terlebih lagi untuk untuk biaya kontrol kehamilan, menebus obat hingga biaya persalinan istri harus disiapkan.
Anak pertamapun lahir. Namun saat usianya baru 21 hari, si sulung harus dirawat di rumah sakit di Kota Palu selama tiga hari karena didiagnosa mengalami dehidrasi berat akibat diare hebat. Tak tega rasanya, melihat tangan bocah yang belum genap satu bulan itu ditembus jarum infus. Singkat cerita, kami di Kota Palu hingga selama sembilan tahun hingga anak kedua lahir, sebelum akhirnya menyeberang ke Sumatera.
Sebelum pindah tugas ke Bengkulu pada 2015, kami sudah didata oleh kantor untuk persiapan ikut kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN KIS) di BPJS Kesehatan. Awal-awal di Bengkulu, kami masih menggunakan uang pribadi untuk berobat karena proses transisi dari asuransi biasa ke JKN KIS.
Beberapa bulan setelah bertugas di Bengkulu, kartu JKN KIS kami keluar, namun masih tercatat sebagai penduduk Kota Palu. Kami pun berkoordinasi ke kantor pusat agar saya dan keluarga bisa dialihkan sebagai peserta JKN-KIS di Bengkulu. Prosesnya agak lama meski syarat administrasi kependudukan lokal sudah dipenuhi. Kamipun masih belum bisa menggunakan kartu BPJS untuk berobat, alias masih merogoh kocek pribadi saat berobat.
Setahun kemudian, dengan proses manual bukan secara daring seperti saat ini, akhirnya kartu JKN KIS hadir. Kamipun leluasa menggunakan kartu "sakti" itu untuk berobat. Puncak manfaatnya terasa pada Juli 2017, saat putra ketiga kami lahir di Kota Bengkulu, semuanya ditanggung BPJS Kesehatan. Gratis.
Kami juga sempat pulang kampung ke Jawa pada medio 2018. Cobaan kami alami saat anak pertama dan anak ketiga sakit dan harus opname di rumah sakit. Kembali lagi, JKN KIS membantu kami. Bisa dibayangkan berapa tagihan rumah sakit kalau tidak ada asuransi dari BPJS Kesehatan.
Selama menjadi peserta JKN KIS, beragam pengalaman pelayanan dari rumah sakit kami alami. Untuk rumah sakit pemerintah, pada umumnya pelayanannya kurang maksimal bila dibandingkan dengan swasta. Perawat di rumah sakit negeri pada umumnya ingin segera menyelesaikan tugasnya terhadap pasien. Jika pasien dianggap sudah sembuh maka diharapkan segera pulang. Usut punya usut, alasannya ternyata pihak rumah sakit baru bisa mendapatkan uang dari BPJS Kesehatan setelah menunggu klaim hingga 14 hari dari pasien JKN KIS tadi. Bisa jadi, hal itu yang membuat pelayanan agak "terganggu".
"Dalam proses pembayaran itu dilakukan mekanisme fisrt in first out, atau transfer dana diutamakan ke rumah sakit yang mengajukan klaim dahulu," kata Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf melalui pernyataannya.
Pengalaman menggunakan JKN KIS belum selesai sampai di situ. Pada Agustus 2018, saya pindah tugas, ke Pekanbaru. Seperti sebelumnya, asuransi pun masih tercatat sebagai penduduk kota sebelumnya.
Ketika anak kedua sakit, mau tak mau, kami harus periksa ke fasilitas kesehatan. Puskesmas Sail di Kota Pekanbaru menjadi pilihan pertama saat itu karena letaknya tak jauh dari rumah.
Petugas Puskesmas menyampaikan peserta JKN KIS dari luar provinsi maksimal hanya bisa dilayani tiga kali di daerah baru, setelah itu harus mengurus pengalihan kepesertaan sesuai domisili jika masih ingin dilayani. "Alhamdulillah, masih dilayani. Sesuai janjinya, bisa dilayani di mana saja," gumamku dalam hati.
Mau tak mau, saya pun harus mengajukan pengalihan fasilitas kesehatan di Kantor BPJS Kesehatan Pekanbaru. Sempat antre beberapa lama, tiba-tiba ada petugas menanyakan keperluan saya. Begitu mengetahui keperluan saya, petugas tadi dengan ramah mempersilahkan duduk untuk dijelaskan prosesnya. Sangat gampang, cukup dengan unduh aplikasi Mobile JKN, kemudian isi data. Dalam beberapa menit selesai. Proses pindah fasilitas kesehatan akan sudah ter-update dalam waktu sebulan.
Kami pun lega. Kami sebenarnya tak berharap sepenuhnya menggunakan kartu JKN KIS. Kami selalu berdoa agar diberi kesehatan sehingga premi yang dibayar tiap bulan bisa mensubsidi peserta lainnya yang membutuhkan.
Dengan usia yang masih 40 tahun, saya mungkin akan beberapa kali lagi pindah tugas ke luar daerah. Petualangan bersama BPJS Kesehatan akan kembali terjadi. Namun kini, perubahan fasilitas kesehatan sangatlah gampang, semudah membalik telapak tangan di layar telepon genggam.