BPPT kurang pesawat untuk operasi hujan buatan tanggulangi Karhutla

id Bppt,Karhutla,Hujan buatan,Karhutla riau 2019

BPPT kurang pesawat untuk operasi hujan buatan tanggulangi Karhutla

Modifikasi Cuaca Antisipasi Banjir Petugas gabungan BNPB, BPPT dan TNI AU mendorong tabung berisi Natrium Klorida (NaCl) atau garam ke dalam pesawat C-130 Hercules Skadron 31 sebelum melakukan Tekhnologi Modifikasi Cuaca di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (14/1) (M Agung Rajasa)

Pekanbaru (ANTARA) - Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan pelaksanaan operasi teknologi modifikasi cuaca atau hujan buatan, untuk membantu penanganan kebakaran hutan dan lahan, terkendala minimnya jumlah pesawat. Hammam di Pekanbaru, Senin, mengakui bahwa armada pesawat untuk penyemai garam dalam operasi ini jumlahnya sangat terbatas.

Sehingga jika ada Karhutla di Sumatera dan di Kalimantan, maka akan sangat kesulitan untuk melakukan hujan buatan ini secara serentak. Sumatera paling rawan terjadi Karhutla yang banyak mengakibatkan kerugian bagi masyarakat dan juga pelaku usaha. Tahun 2019 terjadi fenomena El Nino yang tidak bisa dianggap remeh, karena potensi Karhutla bisa lebih tinggi dibandingkan tiga tahun terakhir.

“Semoga dengan dukungan BNPB yang semakin erat ini, kami dapat dibantu untuk pengadaan armada pesawat hujan buatan,” kata Hammam Riza pada peluncuran operasi TMC untuk Riau di Lanud Roesmin Nurjadin. Lebih lanjut Kepala BPPT menyampaikan, operasi TMC ini sebenarnya dapat dilakukan lebih massif. Khususnya untuk dilaksanakan di beberapa wilayah Indonesia yang berpotensi besar terjadi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Baca juga: BPPT siapkan 17 ton garam untuk hujan buatan tanggulangi Karhutla Riau

Strategi pelaksanaan hujan buatan ini diusulkan Kepala BPPT, dapat juga difokuskan untuk membasahi (re-wetting) lahan gambut yang dinilai mempunyai tingkat kekeringan yang sudah perlu diwaspadai. “Jadi ya kita tahu, mencegah lebih baik ya. Jika hujan buatan ini dilakukan di lahan gambut, maka kelembaban tanah pada area lahan gambut akan tetap terjaga, sehingga potensi terjadinya kebakaran di area lahan gambut juga semakin berkurang,” katanya.

Karena itu, operasi TMC perlu dilakukan di daerah rawan kebakaran di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Karena itu, ia mengapresiasi inisiatif Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk antisipasi Karhutla sejak dini karena pengalaman bencana asap 2015, kebakaran laham gambut sulit dipadamkan dan menghasilkan polusi asap yang menimbulkan banyak kerugian. Operasi TMC menggunakan satu pesawat Cassa 212 TNI AU.

Pesawat ini bisa menampung garam hingga 800 kilogram sekali terbang. Operasi TMC ini membantu Satgas darat dan udara, yang hingga kini berjibaku melakukan pemadaman Karhutla. Tahap awal operasi TMC berlangsung selama bulan Februari sampai Maret.

Sejak Februari sudah sekitar lima ton garam yang digunakan untuk menyemai awan di Bengkalis dan Dumai. Untuk tahap selanjutnya akan fokus di Pelalawan dan Meranti. Ia mengatakan, pantauan satelit Terra/Aqua dan SNPP sejak 1 Januari hingga 27 Februari 2019 menunjukan total titik panas (hotspot) dengan tingkat kepercayaan di atas 80 persen di Riau jumlahnya mencapai sebanyak 293 titik.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan, luas Karhutla sudah lebih dari 1.300 hektare di Riau. Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, puncak musim kemarau di Riau diprakirakan terjadi pada Juli sampai Agustus.

Di Riau sendiri musim kemarau tidak terjadi serentak, daerah pesisir sudah terjadi pada awal Juni sedangkan di daratan 10 hari kemudian. "Artinya apa, itu (kemarau) tidak seragam akan berpengaruh pada pola sebaran hotspot Ia menambahkan dampak El Nino pada tahun ini lemah, jadi kemarau tak separah tahun 2015. "Meski El Nino lemah, kita tidak boleh lengah," katanya

Baca juga: Dalam Dua Minggu, BPPT Hasilkan 125 Juta Meter Kubik Hujan

Baca juga: Pekanbaru mulai diselimuti asap dari Meranti