umai, 23/5 (ANTARA) - Organisasi perlindungan hewan World Wide Fund (WWF) menyatakan hutan tropis hijau di Provinsi Riau sangat menpengaruhi populasi hewan berumur panjang, terutama gajah Sumatera.
Humas WWF Riau, Syamsidar yang dihubungi ANTARA dari Dumai, Minggu, menerangkan, hewan mamalia yang memiliki katahanan hidup selama 70 tahun itu sangat rentan udara yang cenderung panas, sehingga keberadaan hutan yang masih hijau memang sangat membantunya dalam populasi.
Populasi satwa liar termasuk Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus-Red) yang memiliki daya jelajah sejauh 20 km per 24 jam membutuhkan lahan yang cukup luas untuk membuatnya nyaman.
Gajah tersebut membutuhkan makanan berupa 150 kg dedaunan dan 180 liter air per hari, terang Syamsidar,
"Dengan meningkatnya laju degradasi hutan, maka semakin sempit juga habitat gajah. Sehingga lahan untuk mencari makan dan minum semakin sulit dijumpai gajah, demikian pula konversi hutan menjadi lahan-lahan pertanian, mengakibatkan sumber pakan dan air yang alami jauh berkurang," terangnya.
Hal demikian menurut Syamsidar, membuat terjadinya percikan konflik antara gajah yang mencari makan dan manusia yang menanam sumber makanan.
Korban pun mulai berjatuhan, menyebabkan menurunnya jumlah populasi gajah, dan membuat satwa ini menjadi terancam kepunahan.
Penyempitan dan hilangnya habitat, terang Syamsidar, juga dikarenakan oleh aktifitas penebangan yang marak di dalam hutan Riau.
Kehadiran manusia yang semakin mencerai-beraikan kumpulan gajah ini membuat komunitas gajah mulai mencari 'tempat makan' yang lain yaitu dengan menyerang kebun-kebun yang menyediakan makanan berlimpah, seperti kelapa sawit dan tanaman palawija milik warga.
Sebagai contoh, katanya, di Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis yang hampir setiap hari di sepanjang tahun 2007 hingga 2010 ini terus mengalami serangan gajah yang membuat masyarakat desa tersebut tidak bisa untuk membudidayakan sawit karena takut akan diserang gajah sehingga konflik pun tak terhindarkan.
"Hal demikian perlu menjadi 'PR' kita bersama, bahwa gajah juga hewan yang butuh kenyamanan dalam populasinya, sama dengan kita manusia," tuturnya.
Dari sifatnya, ungkap Syamsidar, gajah terbagi atas dua kelompok, yaitu yang biasanya didominasi oleh kumpulan gajah betina, dan yang merupakan gajah jantan tunggal (soliter-Red) yang selalu menyendiri.
Konflik antara gajah dan manusia yang kian meningkat di desa Petani menurut Syamsidar disebabkan karena terus berkurangnya lahan tempat tinggal mereka.
Dalam serangannya, jelasnya, gajah-gajah itu hanya mencoba mempertahankan populasinya, dimana habitatnya telah terpotong oleh kegiatan manusia seperti pembukaan lahan untuk lahan pertanian dan kebun masyarakat, sehingga mengakibatkan timbulnya konflik dan terbunuhnya gajah, yang secara otomatis mengurangi populasinya.
"Hal ini akan membuat semakin tingginya ancaman kepunahan satwa ini akibat ulah tangan manusia," ucapnya.
Seperti diterangkan warga setempat kepada ANTARA, eskalasi konflik gajah dan manusia di Desa Petani, Kecamatan Mandau, terus meningkat sejak awal bulan Maret yang mengakibatkan kerusakan di perkebunan dan rumah warga.
Bahkan, seorang warga Desa Petani, Anjar (40), beberapa waktu lalu sempat mengancam akan membunuh gajah yang berkeliaran di perkampungan apabila dalam waktu dekat pemerintah tidak mengambil tindakan terhadap hewan yang dilindungi itu.