Pekanbaru (Antarariau.com) - Anggota DPRD Riau yang pernah menjadi Ketua Panitia Khusus Monitoring Perizinan Lahan, Suhardiman Amby mengatakan, perusahaan sawit ilegal di provinsi itu lebih banyak dari jumlah yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yakni sekitar 127.
"Kalau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru merilis 127 perusahaan sawit di Riau ilegal, Syukurlah sudah mulai ditanggapi. Tapi temuan kita lebih dari itu," kata Suhardiman di Pekanbaru, Kamis.
Dia menyampaikan bahwa dalam temuan pansus ada 560 perusahaan sawit di Riau. Pihaknya menganggap setengah dari perusahaan itu tidak berizin.
Jika secara keseluruhan luas perkebunan sawit di Riau 4,2 juta hektare (ha), maka 2,2 juta ha ilegal.
"Maunya sekitar 200 lebih dikatakan perusahaan sawit ilegal di Riau," ungkapnya.
Menurut dia, hasil kerja pansus tahun laku sudah diberikan kepada semua lini. Di antaranya sudah diberikan ke kepolisian, kejaksaan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan juga sampai ke Badan Intelijen Negara (BIN).
Dikatakannya untuk mengatasi masalah ini caranya ada dua. Pertama kalau negara ingin punya sumber pendapatan, maka legalkan lahan tersebut, lepaskan dari kawasan hutan, terbitkan NPWP dan tagih pajaknya. Kedua adalah moratorium oleh presiden.
"Kalau moratorium kita minta tidak ada lagi penambahan izin perkebunan kelapa sawit. Presiden melalui Kepresnya memoratorium izin perkebunan seluruh Indonesia dan eksekusi lahan ilegal yang dikuasai," ujarnya.
Jika memilih moratorium, maka setelah itu eksekusi lahan yang ilegal tersebut oleh pihak yang berwajib terhadap perusahaan yang melebihi luas izinnya. Tapi hal itu nantinya tergantung kepada penegak hukum.
Lahan tersebut terindikasi ilegal karena ada yang tidak bersertifikat, perusahaan tidak punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP ), berada di kawasan hutan lindung dan mengalami tumpang tindih.
Akibat lahan dikuasai dan ditanami secara ilegal, kata dia, negara berpotensi mengalami kerugian hingga Rp34 triliun.