Sambungan dari hal 1 ...
Pria bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat itu menguraikan bahwa anak sejatinya memiliki dua sikap negatif yang harus diwaspadai, yaitu "vandalisme" dan "terorisme".
Vandalisme, kata Menteri Pendidikan Nasional pertama ini, yaitu sifat merusak barang, seperti mencoret bukunya sendiri atau buku anak-anak lain, melempar batu kepada anak lain, dan sebagainya.
Tindakan merusak ini, lanjut Ki Hadjar Dewantara, bisa dilakukan secara "bewust" (sadar) maupun "onbewust" (tidak sadar).
Satu lagi yang masuk vandalisme, dalam arti pasif, adalah ketidakpedulian anak terhadap lingkungan sekitar. Contohnya, anak mendiamkan saja sebuah pancuran yang airnya mengucur tak berhenti.
"Watak itu, kalau tidak kita perhatikan, bisa tumbuh sebagai akar tetap dalam jiwa anak dan mereka akan terbiasa melihat barang, keadaan atau kejadian, atau tingkah laku orang yang jahat tanpa merasa bersalah, hingga menurut "hukum adab" dia akan menjadi orang yang "medeplichtig", yaitu mengetahui kejahatan tetapi membiarkannya," kata dia.
Sementara terorisme disebutnya sesuatu yang merusak jiwa. Menurut pahlawan nasional ini, tabiat itu dapat terlihat dari sifat anak yang merasa dirinya "raja", merasa lebih luhur, merasa lebih disayangi dan sebagainya.
Keadaan ini dapat membuat anak merasa bahwa dirinya bisa berbuat semaunya dan membuat dirinya ditakuti orang lain.
"Kalau tabiat demikian didiamkan saja, maka anak-anak itu terlanjur menjadi orang jahat dan mengakibatkan anak-anak merasa takut, terbiasa dizalimi dan lain-lain," ujar pendiri Taman Siswa tersebut.
Pendidikan dan Peran Orang Tua
Solusi untuk meredam sikap vandalisme dan terorisme anak, menurut Ki Hadjar Dewantara, ada dalam pendidikan. Pendidikan ini bukan hanya dari keluarga namun juga masyarakat itu sendiri.
Setiap orang harus melakukan pengawasan terhadap tingkah laku anak di sekitarnya, jangan sampai mereka melakukan perbuatan yang merugikan, sekaligus mendorong untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat.
Agar kedua sifat itu tidak terbawa dan berkembang hingga dewasa, penerima doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada itu juga menghalalkan jalan yang keras, dalam bentuk hukuman.
"Kalau kita sebagai pendidik hanya bersikap acuh tak acuh, tak mengindahkan dan tak melawan, maka kita telah berdosa, berdosa kepada anak-anak yang kita didik dan berdosa kepada masyarakat," tulis Ki Hadjar Dewantara.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia. Melalui Kepala Humas-nya, Jerry Sumampouw, organisasi itu menyebut pendidikan, terutama dalam keluarga, penting mencegah kekerasan terhadap anak.
Hal ini penting karena PGI berpandangan masih banyak anak yang belum merasa nyaman di dalam keluarganya sendiri, yang membuat hubungan orang tua-anak renggang.
"Oleh karena itu orang tua harus dapat menyediakan waktunya untuk anak di sela kesibukan sehari-hari," ujar Jerry.
Sebab PGI menyadari, semakin rumitnya masalah kehidupan di era modern terutama di wilayah perkotaan, membuat orang tua "dipaksa" bekerja keras demi keluarga. Efek sampingnya, kebersamaan mereka dengan anak menjadi terbatas.
"Memang ada juga kesalahan orang tua dalam kasus kekerasan anak, tetapi itu karena problematika keluarga yang semakin kompleks," tutur Jerry.
Peran orang tua, sebagai sosok paling dekat secara emosional dengan anak, memang dianggap sangat vital, selain untuk memberikan pendidikan awal, mereka juga sudah seharusnya menyediakan perlindungan bagi sang buah hati.
Karena itulah salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Yusnar Yusuf langsung menyebut orang tua sebagai "biang keladi" mengapa anak bisa menjadi korban kekerasan.
Hal itu, kata Yusnar, bahkan sudah diatur dalam agama Islam.
"Setiap pemeluk agama Islam wajib menjaga keluarganya, hartanya dan agamanya. Jadi jika terjadi kekerasan terhadap anak maka itu adalah kesalahan orang tua," tuturnya dengan nada tegas.
Seharusnya, lanjut dia, orang tua memberikan proteksi maksimal terhadap anak, khususnya yang berusia sangat belia. Kalau bisa, anak harus diantar jemput dalam setiap kegiatannya di luar rumah.
Sementara untuk anak yang tidak memiliki keluarga, Yusnar mendesak agar negara melalukan perannya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, walau sudah banyak lembaga yatim piatu atau panti asuhan yang dikelola secara swasta.
"Pemerintah melalui Kementerian Sosial seharusnya bisa melindungi anak-anak telantar yang tidak memiliki keluarga. Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengatur itu, tetapi memang masih jarang diterapkan dengan benar," kata Yusnar.