Gara-Gara Coretax, Benarkah SPT Tahunan Suami-Istri Jadi Kurang Bayar?

id DJP

Gara-Gara Coretax, Benarkah SPT Tahunan Suami-Istri Jadi Kurang Bayar?

Gara-Gara Coretax, Benarkah SPT Tahunan Suami-Istri Jadi Kurang Bayar? (ANTARA/HO-DJP Riau)

Pekanbaru (ANTARA) - Dalam dunia perpajakan, isu pelaporan SPT Tahunan sering kali menjadi perbincangan, terutama bagi pasangan suami istri. Seiring dengan implementasi sistem Coretax untuk pelaporan SPT Tahunan mulai Tahun Pajak 2025, banyak suami-istri yang mempertanyakan apakah sistem baru Coretax akan menyebabkan SPT Tahunan mereka menjadi kurang bayar (KB). Benarkah demikian?

Status Perpajakan dalam Keluarga

Sesuai penjelasan pasal 8 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), sistem pengenaan pajak di Indonesia memandang keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis. Artinya, seluruh penghasilan maupun kerugian yang diperoleh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan untuk tujuan pemajakan, dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh kepala keluarga (KK). Pelaporan SPT Tahunan akan dilakukan hanya oleh kepala keluarga.

Namun, pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan secara terpisah antara suami dan istri tetap diakomodasi oleh Undang-Undang dan petunjuk pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022.

Wanita yang telah menikah juga dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri jika hidup terpisah dari suami berdasar putusan pengadilan (HB), memiliki perjanjian pisah harta secara tertulis dengan suami (PH), atau memilih untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara terpisah dari suami (MT). Dengan pilihan-pilihan tersebut, suami dan istri akan melaporkan SPT Tahunan masing-masing.

Adanya berbagai pilihan status perpajakan tersebut, menegaskan prinsip fleksibilitas dalam administrasi perpajakan, sekaligus mengakomodasi kondisi sosial, ekonomi, dan hukum yang beragam dalam rumah tangga wajib pajak. Pilihan status perpajakan baik gabung ataupun pisah NPWP, akan menentukan administrasi perpajakan yang harus dilakukan dan berpengaruh pada cara menghitung pajak penghasilan terutang.

Administrasi Perpajakan Keluarga dan Prinsip Penggabungan Penghasilan dalam Coretax

Meskipun Coretax merupakan sistem baru, prinsip dasar penggabungan penghasilan keluarga tetap mengacu pada Pasal 8 UU PPh, yang pada dasarnya menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis.

Oleh karena itu, pengaturan mengenai penggabungan atau pemisahan penghasilan suami dan istri tidak berubah secara substansial, melainkan disajikan dengan mekanisme administrasi yang lebih terstruktur dan berbasis data. Pengadministrasian yang lebih terstruktur tersebut digambarkan dalam konsep Family Tax Unit dalam sistem Coretax.

Pada kondisi normal, konsep FTU menggambarkan suami sebagai head of FTU dan istri sebagai dependent. Dengan status tersebut, istri tidak memiliki kewajiban menyampaikan SPT Tahunan secara terpisah. Seluruh kewajiban perpajakan istri digabungkan dengan suami. Wanita kawin yang tidak menyatakan status HB, PH, atau MT dianggap otomatis bergabung dengan suami untuk tujuan perpajakan.

Istri yang kewajiban perpajakannya digabung dengan suami tersebut tetap menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Aktivasi NIK sebagai NPWP tetap diperlukan untuk keperluan administrasi, seperti pemotongan PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja dan integrasi data penghasilan istri di dalam Coretax. Namun demikian, penggunaan NIK tersebut tidak menimbulkan kewajiban pelaporan SPT Tahunan secara mandiri bagi istri (register only).

Sebaliknya, wanita kawin yang melaksanakan kewajiban perpajakan terpisah dari suami berstatus sebagai head of FTU atas dirinya sendiri. Adapun, suami tetap berstatus head of FTU atas kewajiban perpajakannya. Dalam kondisi tersebut, wanita kawin wajib mengaktivasi NIK sebagai NPWP, sesuai ketentuan integrasi NIK-NPWP yang berlaku saat ini. Aktivasi ini menjadi prasyarat utama agar istri dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya secara mandiri dalam sistem Coretax.

Pengaruh dalam Perhitungan Pajak Penghasilan

Perbedaan status perpajakan yang dipilih dalam satu keluarga membawa konsekuensi perbedaan cara perhitungan pajak penghasilan terutang bagi setiap anggota keluarga. Jika suami-istri sepakat bergabung dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya, maka pajak penghasilan terutang dihitung atas total penghasilan keluarga.

Jika istri hanya mempunyai penghasilan yang berasal dari satu pemberi kerja dan penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya, penghasilan istri dimaksud tidak digabung dengan penghasilan neto suami dan dilaporkan sebagai penghasilan yang dikenai pajak final. Dalam kondisi demikian, tidak akan timbul potensi kurang bayar (KB) akibat penghasilan istri.

Sebaliknya, jika suami-istri bersepakat menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya terpisah, maka pajak penghasilan terutang dihitung atas penghasilan gabungan suami-istri kemudian dibagi secara proporsional. Cara penghitungan tersebut tetap berlaku meskipun istri hanya mempunyai penghasilan yang berasal dari satu pemberi kerja.

Dalam kondisi demikian, mungkin saja akan timbul potensi KB akibat penghitungan ulang pajak penghasilan terutang setelah ditambahkan dengan penghasilan istri. Gambaran penghitungan pajak penghasilan terutang untuk masing-masing pihak adalah sebagaimana contoh berikut.

Contoh:

Suami memiliki penghasilan neto Rp300.000.000 setahun dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemberi kerja sebesar Rp29.325.000, sedangkan istri memiliki penghasilan neto Rp200.000.000 setahun dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh pemberi kerja sebesar Rp15.000.000.

Pasangan suami-istri tersebut belum memiliki anak dan tidak memiliki tanggungan lainnya.

Perhitungan pajak penghasilan terutangnya adalah sebagai berikut.

Jumlah penghasilan neto suami dan istri = Rp300.000.000 + Rp200.000.000

= Rp500.000.000

Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/0) = Rp112.500.000

Penghasilan Kena Pajak = Rp387.500.000

PPh terutang (gabungan) = Rp 65.875.000

PPh terutang ditanggung suami

3/5 x Rp65.875.000 = Rp 39.525.000

PPh terutang ditanggung istri

2/5 x Rp65.875.000 = Rp 26.350.000

Sehingga,

PPh KB suami = Rp39.525.000 - Rp29.325.000 = Rp10.200.000

PPh KB istri = Rp26.350.000 – Rp15.000.000 = Rp11.350.000

PPh kurang bayar tersebut muncul karena tarif progresif menjadi lebih tinggi setelah penghasilan digabung.

Kesimpulan

Dengan demikian, tidak tepat narasi yang menyatakan bahwa Coretax menyebabkan adanya potensi kurang bayar dalam SPT Tahunan suami-istri. Coretax hanya memfasilitasi pengisian berbasis data dan status perpajakan yang dipilih wajib pajak, sementara hasil akhir perhitungan pajak penghasilan tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak mengalami perubahan substansial.

Pemahaman yang tepat mengenai aspek pajak penghasilan suami-istri menjadi kunci untuk menghindari kesalahan pelaporan sekaligus meningkatkan kepatuhan perpajakan.

Pewarta :
Editor: Vienty Kumala
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.