Bakti Sosial dan Untung Fiskal, Sumbangan Bencana Sah Jadi Pengurang PPh

id DJP

Bakti Sosial dan Untung Fiskal, Sumbangan Bencana Sah Jadi Pengurang PPh

Bakti Sosial dan Untung Fiskal, Sumbangan Bencana Sah Jadi Pengurang PPh (ANTARA/HO-DJP)

Pekanbaru (ANTARA) - Ketika bencana alam melanda, semangat gotong royong bangsa Indonesia selalu teruji. Donasi mengalir deras, baik dari individu, UMKM, maupun korporasi besar, untuk meringankan beban korban. Namun, tahukah Anda bahwa tindakan kemanusiaan ini tidak hanya memberikan dampak sosial, tetapi juga dapat menjadi bagian dari perencanaan pajak yang cerdas dan legal?

Dalam kacamata perpajakan, sumbangan untuk penanggulangan bencana nasional memiliki posisi istimewa. Sumbangan ini diakui sebagai pengurang penghasilan bruto bagi Wajib Pajak, yang pada akhirnya dapat menurunkan jumlah Pajak Penghasilan (PPh) terutang. Ini adalah insentif yang diberikan pemerintah untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam penanganan krisis.

Secara umum, dalam menghitung PPh, biaya yang boleh dikurangkan adalah biaya yang memiliki korelasi langsung dengan upaya mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M). Sumbangan atau donasi seringkali dianggap sebagai biaya non-operasional yang tidak dapat dikurangkan.

Namun, pemerintah mengeluarkan pengecualian melalui Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian Dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, Dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto yang secara spesifik mengakui sumbangan penanggulangan bencana nasional sebagai deductible expense (biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto).

Pengecualian ini memastikan bahwa Wajib Pajak yang berempati tidak hanya menanggung kerugian karena menyumbang, tetapi juga mendapatkan insentif dari negara. Intinya, sumbangan ini dianggap sebagai biaya sosial yang sah dalam perhitungan laba fiskal.

Syarat Wajib Agar Sumbangan Diakui Pajak

Sumbangan untuk bencana tidak otomatis diakui sebagai pengurang penghasilan. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang merupakan sumbangan untuk korban bencana nasional yang disampaikan secara langsung melalui, badan penanggulangan bencana atau disampaikan secara tidak langsung melalui lembaga atau pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana.

Dalam pasal 6 ayat (1) huruf i UU PPh, bahwa bencana yang menjadi objek sumbangan haruslah berstatus Bencana Nasional. Status ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden berdasarkan rekomendasi dari pemerintah daerah terdampak dan kajian dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sumbangan untuk musibah skala lokal yang belum ditetapkan sebagai bencana nasional belum dapat diakui.

Syarat berikutnya, Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak sebelumnya, pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada Tahun Pajak sumbangan diberikan, didukung oleh bukti yang sah, dan lembaga yang menerima sumbangan dan/ atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan.

Batasan dan Mekanisme Pengurangan

Meskipun diakui, sumbangan bencana ini tidak boleh mengurangi penghasilan bruto hingga nol. Terdapat batasan jumlah sumbangan yang diperbolehkan sebagai pengurang. Secara umum, jumlah kumulatif sumbangan dan biaya-biaya lain yang dapat dikurangkan tidak boleh melebihi 5% dari total Penghasilan Neto Fiskal Wajib Pajak tahun sebelumnya.

Contoh Sederhana untuk Perusahaan (Wajib Pajak Badan), sebuah perusahaan memiliki Penghasilan Neto Fiskal sebesar Rp10 miliar. Batas maksimal sumbangan yang dapat diakui sebagai pengurang adalah 5% dari Rp10 miliar, yaitu Rp500 juta baik dalam bentuk uang ataupun barang.

Jika perusahaan menyumbang Rp600 juta, hanya Rp500 juta yang dapat diakui sebagai pengurang, sedangkan sisanya (Rp100 juta) tidak dapat dikurangkan dan tetap menjadi objek pajak.

Dengan adanya pengurangan ini, laba fiskal perusahaan akan menurun, dan otomatis, PPh Badan yang harus dibayarkan juga akan berkurang.

Memanfaatkan fasilitas ini merupakan strategi win-win solution yang menguntungkan.

Bagi Wajib Pajak, partisipasi aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan sosial tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga memungkinkan pengelolaan beban pajak secara efisien dan sesuai regulasi.

Untuk memastikan kepatuhan yang optimal, setiap sumbangan harus dicatat dengan rapi dan bukti-bukti pendukungnya wajib disimpan sebagai bagian integral dari dokumentasi akuntansi Anda, karena kepatuhan perpajakan yang baik berakar pada pencatatan yang detail dan terperinci.

Kepatuhan pelaporan menjadi kunci utama dalam mekanisme fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas sumbangan ini. Sesuai regulasi, Badan Penanggulangan Bencana dan lembaga penerima sumbangan wajib menyampaikan laporan penerimaan dan penyaluran secara berkala kepada Direktur Jenderal Pajak, baik secara triwulanan maupun paling lambat akhir Tahun Pajak diterimanya sumbangan, tergantung jenis sumbangannya.

Bagi lembaga yang memiliki NPWP, pelaporan ini harus diintegrasikan sebagai lampiran laporan keuangan pada SPT Tahunan PPh tahun sumbangan diterima, menjamin transparansi dan akuntabilitas penuh atas fasilitas fiskal yang telah diberikan.

Pewarta :
Editor: Vienty Kumala
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.