Upaya FSC pulihkan konflik sosial di Riau

id FSC

Upaya FSC pulihkan konflik sosial di Riau

Dialog implementasi kebijakan remediasi FSC di Riau (ANTARA/Annisa Firdausi)

Pekanbaru (ANTARA) - Implementasi kebijakan Forest Stewardship Council (FSC) mulai membuka jalan bagi pemulihan konflik sosial dan lingkungan di Provinsi Riau.

Hal itu mengemuka dalam Dialog Pemangku Kepentingan terkait Implementasi FSC yang digelar di Pekanbaru yang mempertemukan pemerintah daerah, akademisi, organisasi masyarakat adat, LSM, perusahaan, serta perwakilan desa dari empat kabupaten, Rabu.

Forum tersebut menjadi momentum penting dalam menyatukan pemahaman mengenai remediasi sosial-lingkungan yang telah berlangsung selama puluhan tahun, sekaligus mendorong perusahaan memenuhi kewajiban pemulihan sesuai standar FSC.

Direktur Patala Unggul Gesang (PUG) Nazir Foead mengatakan proses remediasi membutuhkan kesediaan seluruh pihak untuk menurunkan tensi dan mengedepankan dialog yang jujur. Ia merujuk pesan Menteri Kehutanan bahwa konflik hanya dapat diselesaikan jika semua pihak siap melihat posisi masing-masing.

“Sejak Januari 2025 kami turun ke desa-desa di Kuansing, Pelalawan, Indragiri Hulu, dan Siak, memperkenalkan konsep remediasi FSC melalui workshop dan dialog. Kami tinggal beberapa bulan di desa untuk mencatat aspirasi dan persoalan yang muncul,” sebut Nazir.

Perwakilan desa, katanya, telah menyampaikan identifikasi masalah serta harapan mereka terkait pemulihan dampak sosial-lingkungan.

"Kami berharap perusahaan juga bersedia mendengarkan suara masyarakat," ujarnya.

Nazir menjelaskan bahwa FSC Remedy Framework memberi ruang bagi perusahaan memperbaiki dampak masa lalu, mulai dari hilangnya sumber daya, konflik tanah, hingga degradasi ekosistem. Masyarakat, ujarnya, menyambut antusias kesempatan tersebut.

Dukungan terhadap implementasi remediasi turut disampaikan April Group melalui Direktur Utama Mulya Nauli, yang menyebut langkah ini sebagai proses pertama di dunia.

"FSC Remedy Sosial ini pertama kali dilakukan di dunia. FSC sendiri masih mengembangkan kerangkanya, tapi kita ingin maju dan menjadi contoh,” ujarnya.

Ia mengatakan perusahaan akan menelaah seluruh aspirasi masyarakat satu per satu. Aspirasi yang tidak sesuai kerangka remediasi akan tetap ditindaklanjuti melalui kanal keluhan resmi perusahaan.

"Beberapa desa menganggap program CSR tidak transparan. Ini akan kami evaluasi,” kata Mulya.

Dari Desa Talang Pring Jaya di Indragiri Hulu, Batin Tarmili (52) mengungkapkan harapan agar pemulihan benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat.

"Sejak dulu kami berladang berpindah, sekarang sudah tidak bisa lagi. Itu yang harus dikembalikan,” ujarnya.

Guru Besar Ekologi Manusia IPB, Suryo Adiwibowo menjelaskan penerapan Remedy Framework di Riau sebagai momentum langka yang dapat membawa lompatan bagi kehidupan masyarakat dan lingkungan.

Ia menjelaskan bahwa FSC merupakan standar internasional yang lahir dari kegelisahan atas deforestasi besar-besaran di negara berkembang, mencakup prinsip hak adat, konservasi nilai tinggi, dan audit independen.

Representatif FSC Indonesia, Hartono Prabowo, dalam pernyataan yang dibacakan Standar Development Group FSC, Mahir Takaka, menyatakan program remediasi mendorong perusahaan kehutanan lebih bertanggung jawab terhadap isu sosial dan lingkungan.

Ia mengapresiasi kerja fasilitator desa yang selama lima bulan menghimpun aspirasi masyarakat dan menilai pertemuan hari ini sebagai langkah menuju pembentukan Core Dialogue Group, syarat resmi program remediasi.

“Program remediasi bukan kembali ke masa lalu, tetapi memperbaiki kerusakan demi masa depan yang lebih baik untuk semua,” ujarnya.

Asisten II Setdaprov Riau, Helmi D mewakili Plt Gubernur Riau SF Haryanto, menegaskan bahwa remediasi FSC merupakan upaya menghadirkan keadilan ekologis, sosial, dan ekonomi.

“Dampaknya bukan hanya lingkungan, tetapi juga akses masyarakat terhadap air bersih, pangan, hingga konflik ruang,” katanya.

Helmi menekankan bahwa rekomendasi desa tidak boleh berhenti di atas dokumen, tetapi harus berubah menjadi agenda aksi.

Pemerintah kabupaten turut menyampaikan komitmen, termasuk Sekda Inhu Zulfahmi Adrian yang menyoroti persoalan Talang Durian Cacar dan Talang Pring Jaya, serta Wakil Bupati Kuansing Mukhlisin yang menyebut luasnya HTI 86 ribu hektare telah menimbulkan konflik agraria dan kebutuhan kayu untuk budaya pacu jalur.

Kabag Hukum Pemkab Siak, Asrafli, menegaskan terbatasnya ruang gerak masyarakat akibat dominasi kawasan hutan dan izin HGU.

"Remediasi ini sangat sejalan dengan perjuangan kami agar masyarakat mendapatkan hak atas tanah dan hutan,” katanya.

Bupati Pelalawan Zukri menutup sesi dengan menegaskan bahwa industri telah memberi kontribusi bagi daerah, namun masih ada kondisi masa lalu yang harus diperbaiki.

"Industri dibutuhkan, tapi industri yang baik. Remediasi harus memberi dampak besar bagi rakyat,” ujarnya.

Pewarta :
Editor: Afut Syafril Nursyirwan
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.