Pengelolaan hutan di Kuansing dinilai belum optimal, peran adat dan regulasi jadi sorotan

id Kebijakan FSC,Hutan berkelanjutan

Pengelolaan hutan di Kuansing dinilai belum optimal, peran adat dan regulasi jadi sorotan

Suasana Dialog pemangku kepentingan terhadap implementasi kebijakan FSC di Kuansing (ANTARA/Annisa Firdausi)

Kuansing (ANTARA) - Kekayaan sumber daya alam (SDA) di Kuantan Singingi (Kuansing) dinilai belum memberikan kesejahteraan maksimal bagi masyarakat setempat.

Pengelolaan hutan yang belum terencana dengan baik serta alih fungsi lahan yang tidak sesuai peruntukan menjadi tantangan utama dalam pemanfaatan kawasan hutan.

Akademisi Universitas Riau, Eka Armas Pailis menilai ada yang keliru jika SDA yang melimpah tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

"Apabila tidak mampu memberikan itu, berarti ada sesuatu yang salah, apakah itu salah dari pemimpin daerahnya, atau pimpinan nonformal di adat,” ujarnya saat dialog di Kuansing, Jumat (21/3).

Saat ini, sebagian besar kawasan hutan di Kuansing telah dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit, berlawanan dengan fungsi ekologisnya. Sementara itu, hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti jamur, madu, gaharu, dan buah-buahan bernilai ekonomi tinggi masih belum dikembangkan secara maksimal.

Minimnya pengetahuan serta keterampilan masyarakat dalam pemanfaatan HHBK, jasa lingkungan, dan ekowisata turut menjadi kendala.

Dalam diskusi lanjutan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, wacana kebijakan remediasi Forest Stewardship Council (FSC) mencuat.

Salah satu isu utama adalah hak masyarakat adat atas lahan yang sebelumnya digunakan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Ketika izin HTI berakhir, muncul usulan agar lahan tersebut dikembalikan kepada pemerintah atau masyarakat adat untuk dikelola secara berkelanjutan.

Penguatan ekonomi lokal melalui ekowisata dan HHBK pun menjadi perhatian utama. Diperlukan regulasi yang jelas serta penegakan hukum yang adil agar proses remediasi berjalan transparan dan tidak merugikan masyarakat adat.

"Perusahaan kehutanan juga diharapkan berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur dan program sosial di daerah terdampak," lanjutnya.

Akademisi dan Mantan Rektor Unri Prof. Dr. Ashaluddin Jalil menegaskan bahwa perbaikan tata kelola hutan tidak bisa berhenti di wacana semata.

"Proses ini tidak mudah dan tidak singkat. Ini adalah momen penting bagi kehidupan masyarakat ke depan, terutama untuk anak cucu. Kita tentu tidak ingin hujan dan banjir terus-menerus terjadi akibat salah kelola lingkungan,” katanya.

Sebagai tindak lanjut, diskusi dengan para Datuk dan pemangku adat akan terus dilakukan untuk menyusun strategi pengelolaan yang lebih baik.

Hasil pembahasan ini nantinya akan dievaluasi oleh peneliti independen, baik dari dalam maupun luar negeri, guna memastikan efektivitas dan transparansi kebijakan. Jika salah satu aspek dalam proses ini tidak terselesaikan, maka upaya perbaikan berisiko gagal.