Konflik HGU dan hak masyarakat adat jadi sorotan

id Hutan adat Riau,Hutan berkelanjutan

Konflik HGU dan hak masyarakat adat jadi sorotan

Peserta dialog pemangku kepentingan terhadap implementasi kebijakan Forest Stewardship Council (FSC). (ANTARA/dok)

Pekanbaru (ANTARA) - Akademisi Prof. Dr. Ashaluddin Jalil menyoroti pentingnya pelibatan masyarakat adat dalam pengelolaan lingkungan hidup guna mendukung keberlanjutan ekosistem.

Hal ini disampaikan dalam dialog pemangku kepentingan terhadap implementasi kebijakan Forest Stewardship Council (FSC) di Pekanbaru, Rabu.

“Masyarakat adat seperti Suku Sakai, Talang Mamak, Suku Laut, Suku Bonai, dan Suku Akit memiliki kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Mereka menjalani kehidupan sederhana, bergantung pada alam, tanpa eksploitasi berlebihan,” kata Prof. Ashaluddin.

Ia mengkritisi aktivitas perusahaan seperti Hak Guna Usaha (HGU) dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang sering mengabaikan hak masyarakat adat. Menurutnya, konflik sering muncul akibat terbatasnya akses masyarakat adat terhadap lahan dan sumber daya.

“Saat ini, banyak kasus masyarakat adat yang justru dijerat hukum saat mengelola tanah adat mereka karena dianggap masuk kawasan HGU. Mediasi antara masyarakat dan perusahaan sangat diperlukan untuk mencari solusi yang adil,” ujarnya.

Prof. Ashaluddin juga menggarisbawahi perlunya peran perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah dalam mendukung pemulihan lingkungan dan penguatan hak masyarakat adat.

Dalam dialog yang sama, Plt. Kepala Bappeda Provinsi Riau Purnama Irwansyah, mengungkapkan bahwa pengawasan tata kelola hutan perlu ditingkatkan untuk memastikan keberlanjutan.

“Kami mendorong penerapan sertifikasi FSC untuk meningkatkan transparansi dan tata kelola hutan yang lebih baik. Dua perusahaan besar di Riau, Arara Group dan RAPP Group, sudah mulai menjalin komunikasi dengan FSC terkait sertifikasi ini,” ungkapnya.

Ia menambahkan, sistem self-assessment yang kini diterapkan di HTI harus diimbangi dengan pengawasan ketat agar perusahaan tetap memenuhi standar sosial dan lingkungan.

Lanjutnya, Pemerintah Provinsi Riau telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk menangani isu-isu krusial, seperti konflik adat, infrastruktur, dan kualitas pendidikan.

“Dengan anggaran daerah yang terbatas, kami butuh dukungan berbagai pihak melalui pendekatan Penta Helix yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media,” tutup Purnama.