APRIL Tak Lagi Terkait Dengan FSC

id april tak, lagi terkait, dengan fsc

APRIL Tak Lagi Terkait Dengan FSC

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Manajemen APRIL menegaskan kelompok usaha mereka tidak lagi terkait dengan kebijakan "Forest Stewardship Council" disebabkan kebijakan FSC yang merugikan Indonesia seperti penerapan ketentuan tunggal (cut-off date) setelah 1994.

"Kebijakan FSC tidak lagi mendukung bagi perusahaan yang ada di negara berkembang seperti Indonesia dalam mendapatkan sertifikasi itu, padahal penyertifikatan itu tidak wajib dan bersifat sukarela," kata Direktur RAPP Kusnan Rusmin yang juga juru bicara APRIL di Pekanbaru, Selasa.

Pihaknya tidak lagi terkait dengan FSC sejak 2011 setelah kebijakan lembaga tersebut dinilai merugikan.

APRIL juga menyatakan, kriteria SVLK yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia sangat ketat. Kriteria dan indikator penerapan SVLK diatur untuk memastikan kayu yang diperdagangkan berasal dari sumber yang legal.

Pelaksanaannya melibatkan lembaga asesor independen untuk melakukan penilaian dan penilikan legalitas kayu.

SVLK diterapkan secara mandatory untuk semua unit usaha perkayuan melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No P.38/Menhut-II/2009 jo No P.68/Menhut-II/2011 tanggal 21 Desember 2011.

Untuk proses ekspor, SVLK diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.64/2012 tanggal 22 Oktober 2012.

Penerapan sistem tersebut secara mandatory di semua unit usaha perkayuan mulai dari hulu hingga hilir juga menjadi nilai lebih dibandingkan dengan sistem yang diterapkan secara sukarela.

Pengakuan terhadap SVLK telah ditindaklanjuti dengan ditandatanganinya perjanjian kemitraan sukarela untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEG-T) antara Indonesia-Uni Eropa.

"Artinya, SVLK akan diakui secara legal oleh Uni Eropa yang dikenal ketat soal legalitas. Jika Uni Eropa saja sudah mengakui, seharusnya konsumen tidak lagi meragukan SVLK," katanya.

Kementerian Kehutanan menyatakan, produk berbasis kayu Indonesia tidak memerlukan sertifikat dari lembaga Forest Stewardship Council (FSC) untuk bisa diperdagangkan dan mengakses pasar.

Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto menyatakan, produk kayu Indonesia telah memiliki sertifikat berbasis Sistem Verfikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang memiliki standar lebih tinggi dari FSC.

"Kalau sudah memiliki SVLK, sebenarnya tidak perlu lagi sertifikat seperti FSC," katanya seusai membuka Rapat Koordinasi Pengelolan Barang Milik Negara di gedung Kementerian Kehutanan.

Hadi menyatakan SVLK memiliki standar yang lebih tinggi sebab diterapkan secara wajib bagi seluruh produk kayu dari hulu hingga hilir, berbeda dengan skema sertifikasi seperti FSC yang bersifat sukarela.

"SVLK lebih galak, sebab kalau tidak punya sertifikat itu, tidak bisa ekspor," katanya

Menurut dia, sertifikat FSC sejauh ini juga belum berhasil memberi harga premium bagi produknya, hal itu terlihat dari pengalaman sejumlah perusahaan produk kayu di Indonesia.

FSC, tambahnya, memang menjanjikan soal akses pasar, namun hal itu juga bisa dilakukan dengan sertifikat SVLK, apalagi nantinya setelah perjanjian kemitraan sukarela antara Indonesia-Uni Eropa ditandatangani, September 2013 akses pasar produk kayu ber-SVLK akan lebih luas di sana.