Pekanbaru (ANTARA) - Upaya pemulihan sosial dan lingkungan melalui skema Remediasi Forest Stewardship Council (FSC) di Riau terus mengalami kemajuan, dengan melibatkan masyarakat desa, akademisi, dan pemerintah daerah sebagai bagian dari proses pemulihan yang lebih inklusif.
Direktur Petala Unggul Gesang (PUG) Nazir Foead di Pekanbaru, Selasa, mengatakan sejak Januari 2025 pihaknya telah melakukan workshop dan pengenalan konsep remediasi di sejumlah kabupaten, di antaranya Kuantan Singingi, Pelalawan, Indragiri Hulu, dan Siak.
“Januari 2025, dibantu kawan-kawan kami melakukan pengenalan apa itu remediasi melalui workshop di kabupaten Kuansing, Pelalawan, Indragiri Hulu, dan Siak,” ujar Nazir.
Disebutkan program tersebut mendapat sambutan positif baik dari pemerintah pusat maupun daerah.
Pada agenda presentasi yang digelar besok, perwakilan desa akan memaparkan hasil identifikasi masalah dan harapan masyarakat.
“Ada bupati dan profesor juga, dan kita berharap respon perusahaan positif serta mau mendengar aspirasi masyarakat,” ujarnya.
Senior Advisor Kementerian Kehutanan sekaligus akademisi kebijakan lingkungan, Dr. Soeryo Adiwibowo, menjelaskan remediasi FSC merupakan kerangka penting untuk memulihkan ekosistem yang terdampak pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam.
“Implementasi remediasi FSC adalah kerangka pemulihan sosial dan lingkungan yang dirancang untuk memperbaiki dampak akibat aktivitas pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam,” katanya.
Menurut dia, pendekatan tersebut tidak sebatas menghijaukan kembali hutan, tetapi juga menyentuh penyelesaian konflik dan perlindungan masyarakat.
“Pendekatan ini menekankan pemulihan ekosistem, penyelesaian konflik tenurial, penguatan perlindungan masyarakat, serta keberlanjutan habitat satwa yang semakin tertekan akibat degradasi lingkungan,” ujarnya.
Representatif Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Mahir Takaka, menilai tingkat pemahaman masyarakat terhadap remediasi masih beragam.
“Sepuluh desa yang tersebar di kabupaten Riau ini adalah kekayaan besar Riau. Namun, huta yang dulu lebat, sekarang berganti menjadi sawit,” ujarnya.
Menurutnya, selain persoalan ekologis, konflik sosial turut menjadi hambatan. Pengaruh pemilihan kepala desa menimbulkan dualisme. Belum lagi persoalan investasi yang memicu konflik baru.
Selama sepuluh bulan terakhir, PUG bersama masyarakat telah melakukan identifikasi masalah di sepuluh desa sebagai dasar penyusunan rekomendasi remediasi.
Proses dialog dimulai dengan menyamakan pemahaman mengenai kerangka remediasi di tingkat desa.
“PUG menyiapkan kerangka acuan yang kemudian didiskusikan ulang,” kata Mahir.
Dari hasil identifikasi tersebut, fasilitator menentukan prioritas isu yang paling berdampak dan merumuskan rekomendasi agar persoalan serupa tidak terulang kembali.
“Kami merumuskan usulan agar masalah tidak terulang, kemudian dibuatkan berita acara yang ditandatangani pemerintah desa dan fasilitator desa,” tambahnya.
Mahir meyakini peningkatan pemahaman masyarakat terhadap remediasi FSC menjadi langkah awal menuju perubahan.
"Masyarakat dapat memahami dan mengambil peran,” ujarnya.
