Pekanbaru (ANTARA) - Tidak menyangka, seorang anak kecil berpakaian lucu dibonceng oleh sosok ibu, bukanlah menuju ke suatu tempat menyenangkan bagi anak. Namun, justru terhenti dalam sudut yang tak pernah terbayang bagi seorang anak, sudut keras penuh peluh dan debu pada satu tempat pemberhentian lampu lalu lintas. Badut kelinci dan anak-anak, bukanlah satu kombinasi yangtepat berada di lampu merah, sembari menenteng ember kecil tempat berpaut pungutan receh dari para pengasih.
Tak lain ada di Kota Pekanbaru, di mana kembali diguncang keprihatinan publik usai sebuah video viral di media sosial memperlihatkan dua anak perempuan diturunkan dari sepeda motor Nmax oleh seorang wanita dewasa.
Kedua anak tersebut kerap tampak di Jalan Sumatera, Pekanbaru. Salah satu dari mereka tampak mengenakan kostum badut kelinci, sementara anak lainnya menenteng ember kecil yang digunakan untuk menampung uang dari orang yang iba padanya. Video itu menyebar cepat dan menuai komentar tajam dari warganet.
Fenomena ini bukanlah hal baru di Kota Bertuah, berdasarkan pantauan, setiap hari di banyak persimpangan tampak anak di bawah umur meminta-minta ke pengendara yang berhenti. Berharap sejumlah uang dari rasa iba.
Beberapa diantaranya diketahui bertahun-tahun di persimpangan yang sama. Waktu bergulir, siang malam berganti, hingga usianya cukup duduk di bangku sekolah. Beberapa pula terkadang tak segan meminta dengan agak memaksa kala tak diberikan uang, merogoh hingga ke saku sepeda motor pengendara.
Wakil Wali Kota Pekanbaru Markurius Anwar mengaku miris. Ia menyampaikan bahwa peristiwa ini bisa menjadi ancaman serius terhadap status Pekanbaru sebagai Kota Layak Anak (KLA).
“Kita sedang berupaya menyusun agar Pekanbaru tetap masuk dalam daftar Kota Layak Anak. Namun karena masalah ini, bisa jadi malah tidak termasuk,” ujar Markurius kepada wartawan, Senin (16/6).
Pemerintah Kota Pekanbaru sendiri telah menargetkan Predikat Utama sebagai Kota Layak Anak (KLA) pada tahun 2025.
Bahkan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3APM) Kota Pekanbaru meminta semua OPD di Pemko Pekanbaru mengoptimalkan unsur-unsur yang diperlukan sebagai standar penilaian KLA oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
Namun dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, masih pantaskah Kota Bertuah ini menyandang status tersebut?
Tak ditemukan lagi
Setelah video itu beredar luas, Dinas Sosial Kota Pekanbaru langsung bergerak. Satgas Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) diturunkan ke lapangan untuk mencari keberadaan anak-anak tersebut. Namun hasilnya nihil, mereka tak lagi tampak.
“Biasanya saat satgas turun, kelompok ini langsung lari. Berdasarkan data yang kami miliki, anak-anak dalam video itu belum tercatat di data yang pernah kami jangkau,” kata Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Adriani.
Pihaknya meyakini bahwa pola seperti ini bukan hal baru. Pengemis musiman hingga kelompok yang mengeksploitasi anak-anak sudah berulang kali ditemukan.
Bahkan, baru-baru ini Dinsos Pekanbaru juga mengamankan seorang pengemis yang ternyata menggunakan mobil pribadi. Setelah diberikan teguran, ia menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatannya.
“Kami mengimbau masyarakat agar tidak memberikan sumbangan di jalan. Lebih baik disalurkan ke amil zakat atau langsung ke orang di sekitar kita yang benar-benar membutuhkan,” lanjut Adriani.
Terkait dugaan eksploitasi anak, Adriani menegaskan bahwa penanganan lebih lanjut akan melibatkan pihak kepolisian. Kasus seperti ini sudah seharusnya diproses melalui jalur hukum.
Nafkah bukan tanggungjawab anak
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Provinsi Riau, Ester menyayangkan kejadian ini. Ia menyebut tindakan tersebut telah melanggar Pasal 66 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa anak harus dilindungi dari segala bentuk eksploitasi ekonomi.
“Anak selayaknya tumbuh sehat, belajar, dan memiliki waktu istirahat. Kalau disuruh mengemis hingga malam, itu sudah merebut hak-haknya,” ucap Ester kepada ANTARA melalui telepon.
LPAI melihat kecenderungan masyarakat, bahkan orangtua anak mengabaikan hak dasar anak atas perlindungan. Dalam beberapa kasus, orangtua berdalih bahwa si anak sendiri yang ingin mengemis.
“Kami tidak bisa menerima alasan seperti itu. Mencari nafkah bukan tanggung jawab anak. Tugas kita semua adalah memastikan anak tidak direnggut masa depannya dengan cara seperti ini,” ujarnya.
Menurut Ester, selama ini edukasi telah dilakukan langsung di lapangan. Namun sayangnya, tanpa sanksi hukum yang tegas, pelaku eksploitasi tidak pernah jera.
“Kalau dibiarkan, akan ada dampak psikologis dan sosial jangka panjang. Bayangkan, anak yang seharusnya pulang sekolah untuk istirahat malah diantar ke simpang jalan untuk mengemis hingga tengah malam,” lanjutnya.
Pekanbaru belum layak
Ester menyoroti kenyataan di lapangan bahwa Pekanbaru masih jauh dari kata ideal untuk menyandang status Kota Layak Anak. Ia menyoroti minimnya ruang aman dan ramah anak di ruang publik.
“Taman bermain anak saja remang-remang, tidak ada pagar, lampu seadanya. Kalau masih ada anak yang disuruh mengemis di lampu merah, bagaimana bisa disebut layak?” kritiknya.
Status Kota Layak Anak sendiri diberikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kepada kota/kabupaten yang memenuhi indikator perlindungan hak anak, termasuk pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan masih banyak pekerjaan rumah.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinsos Kota Pekanbaru, pada tahun 2022 mencatat 77 anak jalanan dari total 257 PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial).
Jumlah ini kian meningkat selama bulan Ramadhan, dengan banyaknya anak yang mengamen dan mengemis di lampu merah. Awal tahun 2023, tercatat ada 35 PMKS yang ditertibkan, termasuk 8 anak jalanan dan 4 anak terlantar.
Berani bertindak
Ester juga mendorong masyarakat untuk tidak hanya menjadi penonton. Ia mengimbau agar warga yang melihat kejadian serupa di jalanan, tidak ragu untuk bertindak.
“Tolong berani melapor dan amankan si anak, misalnya ke kantor polisi atau kelurahan terdekat. Saat anak hilang, pasti orangtuanya akan mencarinya dan dari situlah kita bisa meminta kejelasan serta pertanggungjawaban,” tegas Ester.
Eksploitasi anak adalah luka sosial yang tak bisa ditutup dengan penghargaan administratif. Jika anak-anak masih menjadi korban kepentingan ekonomi orang dewasa, maka predikat Kota Layak Anak tidak lebih dari sekadar papan nama. Yang dibutuhkan adalah langkah nyata yaitu penindakan, edukasi, dan keberanian semua pihak untuk bertindak.