KOMMARI dan Masyarakat adat desak pemerintah berikan bukti resmi pengukuhan kawasan hutan Riau

id KOMMARI Riau,Pansus PKH, lahan sitaan, pihak ketiga

KOMMARI dan Masyarakat adat desak pemerintah berikan bukti resmi pengukuhan kawasan hutan Riau

KOMMARI Riau dan Masyarakat adat Riau (Diana/Antara).

Pekanbaru (ANTARA) - Koalisi Masyarakat untuk Marwah Riau (KOMMARI) Provinsi Riau bersama masyarakat adat mendesak pemerintah pusat untuk segera mengambil sikap atas polemik yang muncul pasca penertiban kawasan hutan di Riau oleh Satgas PKH. Hal ini dipicu karena pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit hasil sitaan oleh PT Agrinas Palma Nusantara melalui sistem kerja sama operasional (KSO) mitra dengan pihak ketiga, tidak melibatkan masyarakat tempatan dan masyarakat adat.

"Kami akan berjuang sepenuh hati, kami tidak main-main dalam menjaga marwah Riau. Pemerintah pusat harus paham betul apa yang mereka lakukan di tanah melayu ini salah. Cukuplah mereka menzalimi kami dengan menyedot SDA selama 100 tahun yang kembali ke Riau tidak seberapa. Hari ini persoalan baru, hak-hak masyarakat adat dan masyarakat tempatan yang dikorbankan, ada yang tidak beres dengan aksi penyitaan lahan ini," Ketua Umum KOMMARI Riau M Taufik Tambusai kepada wartawan, Senin.

Menurut Taufik, ada dua persoalan mendasar yang selama ini terjadi atas lahan yang ada di Riau. Pertama, hingga saat ini pemerintah pusat tidak kunjung mengakui hak-hak ulayat masyarakat adat di Riau meski secara regulasi telah diatur.

"Ada banyak aturan untuk melindungi hak-hak adat. Bahkan pada ayat 3 Pasal 24A Permenhut P 62 tahun 2013 disebutkan bahwa sebahagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan," ujar Taufik

KOMMARI menolak sistem KSO yang diterapkan Agrinas. Sebab dengan sistem ini jelas-jelas tidak mengakui dan menghormati hak-hak tradisional masyarakat adat. Sepanjang Agrinas tidak memberikan tempat kepada masyarakat adat dan tempatan, maka KOMMARI bersama masyarakat adat menolak kehadiran mereka.

Bila desakan tersebut tidak diindahkan kata Taufik, mau tak mau KOMMARI bersamasemua masyarakat yang hak-haknya telah dirampas oleh dalih kawasan hutan, akanturun ke jalan.

Taufik kemudian mengingatkan agar Presiden Prabowo jangan mau terjebak dengan permainan dan data-data serampangan yang dibuat oleh Kehutanan.

"Kami tahu Presiden Prabowo sangat berpihak pada rakyat. Jadi, jangan gara-gara data-datakehutanan yang serampangan itu, Presiden Prabowo menjadi tumbal. Sementara persoalan kawasan hutan ini bukan terjadi di jaman presiden saat ini," kata Taufik .

Sekretaris Jenderal (Sekjen) KOMMARI, Abdul Aziz menyebut, tuntutan kedua yakni sampai sekarang pemerintah pusat khususnya KementerianKehutanan, belum pernah menunjukkan bukti-bukti proses pengukuhan kawasan hutan yang ada di Riau, khususnya terkait proses penataan batas di lapangan.

"Mulai dari SK 173 tahun 1986, SK 7651 Tahun 2011, SK 673 tahun 2014, SK 878tahun 2014 dan SK 903 tahun 2016, kami belum pernah mendapatkan bukti-bukti penataan batas kawasan hutan itu sesuai aturan yang berlaku," ucap dia.

Sejak hadirnya PP 33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan, Keputusan Dirjen Kehutanan nomor 85 tahun 1974 tentang PengukuhanHutan, Keputusan Menteri Kehutanan nomor 399 tahun 1990 tentang pengukuhan hutan, Keputusan Menteri Kehutanan nomor 32 tahun 2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, hingga PP 44 tahun 2004 tentang PerencanaanKehutanan, tata cara pengukuhan kawasan hutan itu telah diatur.

"Pengukuhan itu dimulai dari penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan. Dalam proses penataan batas itulah para pihak, baik itu kehutanan, masyarakat ataubadan hukum menyepakati batas-batas," terang Aziz.

Perwakilan Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Datuk Tarlaili, mengimbau agar pemerintah pusat memberikan perhatian dan mengakomodasi kepentingan tanah ulayat serta kesejahteraan masyarakat tempatan bukan justru menyerahkan penguasaan dan pengelolaannya kepada pihak ketiga.

"Kami kecewa kita putra daerah terzolimi dengan adanya program pemerintah yang tidak berpihak, kita minta agar ada perhatian kepada masyarakat adat dan tempatan agar tanah yang sebelumnya masuk tanah ulayat untuk dilepaskan dari kawasan hutan dan dilegalkan, dalam regulasi hak-hak ulayat diatur," kata dia.

Masyarakat tempatan dan masyarakat adat hingga kini tidak pernah dilibatkan dalam sosialisasi maupun skema pengelolaan kawasan tersebut.

Pewarta :
Editor: Afut Syafril Nursyirwan
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.