Jakarta (ANTARA) - Pada tahun 2024, negara adidaya Amerika Serikat telah mempertunjukkan kepada dunia sebuah ajang debat yang bisa dikatakan sebagai kemunduran kualitas sawala dibandingkan dengan sejarah panjang debat Pemilihan Presiden AS selama ini.
Politico, media asal AS, menilai debat pilpres antara petahana Presiden AS Joe Biden melawan rivalnya, mantan Presiden AS Donald Trump, pada 27 Juni lalu, sebagai "kinerja terburuk dari kandidat presiden pemilu mana pun, dalam debat mana pun dalam sejarah Amerika modern".
Sorotan terutama tertuju kepada Biden, yang menurut Politico memiliki momen jawaban tergesa-gesa, tidak fokus, serta ada pernyataan yang terputus-putus. Adapun Trump, yang terus menerus disorot karena berbagai kebohongan yang dilontarkannya, dinilai menampilkan gaya debat yang lebih terkendali.
Kantor berita Reuters, dengan mengutip sejumlah orang yang merupakan sekutu, pendonor, dan mantan serta anggota tim Biden, menyalahkan penampilan Biden yang buruk itu terutama karena persiapan yang buruk dan kelelahan yang dialami kepala negara AS yang memang telah berusia 81 tahun itu.
Biden melakukan persiapan debat dengan menjalani "pengasingan" di Camp David (resor retret untuk Presiden AS) selama 6 hari sebelum hari H debat. Sebelum ke Camp David, Biden selama periode 14 hari menempuh sejumlah perjalanan resmi internasional, antara lain, ke Prancis dan Italia.
Sejumlah orang yang diwawancara Reuters menyatakan bahwa Biden tidak memiliki waktu istirahat yang cukup untuk acara sawala, dan jika staminanya menurun maka Biden juga akan terserang flu ringan, antara lain, karena perdebatan zona waktu akibat perjalanan panjang.
Hasilnya adalah penampilan Biden yang muncul di panggung sawala dengan kondisi wajah yang agak pucat, serta sejumlah bagian rambut yang dinilai tidak terlalu rapih, serta memiliki suara yang serak yang tidak membantu meningkatkan kualitas debat dia.
Mempertanyakan Biden
Akibat penampilan buruk tersebut, tidak sedikit orang yang mempertanyakan apakah Biden layak untuk terus dipertahankan dalam mengikuti seluruh proses penyelenggaraan Pemilu Presiden AS tahun ini?
Bahkan, sejumlah anggota DPR AS dari Partai Demokrat, seperti Lloyd Doggett dan Raul Grijalva, secara terbuka meminta Presiden AS Joe Biden untuk mundur dari pilpres menyusul kinerjanya yang lemah dalam debat pertama melawan Donald Trump.
Grijalva, sebagaimana dikutip New York Times, menyatakan bahwa saat ini adalah kesempatan untuk mencari kandidat lain, agar Biden dapat berperan untuk membuat Demokrat tetap mempertahankan kursi kepresidenan dengan mundur dari pilpres kali ini.
Selain anggota DPR AS, ada pula pendonor Partai Demokrat seperti Abigail Disney, yang berencana menahan sumbangan ke Demokrat sampai Biden mundur.
Abigail, cucu pendiri The Walt Disney Company, menyatakan ditahannya donasi itu menyusul kinerja Biden yang buruk dalam sawala pilpres. Selain itu, hal tersebut dinilai Abigali sebagai bentuk realisme karena bila Biden tidak mundur, maka Demokrat akan kalah, katanya kepada media CNBC.
Biden sendiri, dalam pertemuannya dengan para gubernur dari Partai Demokrat, menyatakan bahwa dirinya telah melakukan pemeriksaan medis setelah debat, dan hasilnya bahwa dia berada dalam kondisi kesehatan yang baik.
Anggota keluarganya, seperti sang istri yaitu Jill Biden, juga dengan tegas menyatakan bahwa suaminya tetap akan terus menjalani pilpres kali ini.
Sosok pengganti
Pertanyaan lainnya yang menarik untuk diutarakan adalah siapa sosok yang dinilai pantas menggantikan Biden dalam melawan Trump pada pilpres?
Financial Times memberitakan bahwa ketidakpuasan para donor membuat sejumlah orang tengah mencari pengganti Biden. Ada dua kandidat yang disebut-sebut, yaitu Gubernur Michigan Gretchen Whitmer dan Gubernur California Gavin Newsom.
Selain itu, nama Wapres AS Kamala Harris juga dipertimbangkan untuk menggantikan Biden.
Namun, beberapa donor lain diberitakan mengingatkan bahwa menggantikan Biden dengan sosok lain seperti Whitmer atau Newsom dapat menyebabkan "perang saudara" di dalam tubuh Partai Demokrat AS.
Survei yang dilakukan oleh Reuters/Ipsos secara daring terhadap 1.070 responden pada 1--2 Juli mengungkap bahwa hanya Michele Obama, Ibu Negara pada masa Presiden Barack Obama, yang bisa mengungguli Donald Trump.
Hasil survei dengan margin kesalahan plus minus 3,2 persen itu menemukan bahwa bila diadu, Michele Obama akan meraih 50 persen, sedangkan Trump 39 persen.
Sejumlah nama lainnya dari kalangan Partai Demokrat, menurut survei tersebut, ternyata tidak memiliki kapasitas untuk menarik jumlah pemilih guna mengalahkan Trump dalam pilpres AS.
Wapres Kamala Harris, misalnya, ketika diadu dengan Trump, hanya mendapatkan dukungan 42 persen dan kalah tipis dengan Trump yang berhasil meraup dukungan sebesar 43 persen.
Berbagai calon lainnya bahkan dinilai lebih parah bila diadu dengan Trump, seperti Newsom yang tertinggal 3 poin persentase bila diadu dengan Trump, serta Whitmer yang tertinggal 5 poin persentase bila diadu dengan Trump.
Namun, pernyataan dari Direktur Komunikasi Michele Obama menyatakan bahwa mantan Ibu Negara AS itu tidak akan mencalonkan diri sebagai pilpres.
Biden sendiri, dalam jangka pendek, akan menjadi tuan rumah bagi KTT Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Washington DC, 9--11 Juli mendatang.
Keraguan sekutu
Dengan kinerja yang buruk dalam penampilan debat, bukan tidak mungkin para pemimpin negara-negara Sekutu juga memiliki keraguan terhadap Biden.
Tentu saja, kritik dan keraguan itu barangkali tidak akan disampaikan secara langsung kepada Kepala Negara AS itu, tetapi penilaian dari para pemimpin negara lain itu bisa saja berdampak kepada komunikasi dan kolaborasi yang dilakukan oleh organisasi pakta pertahanan tersebut.
Apalagi, NATO saat ini juga tengah mengalami krisis, seperti bantuan dukungan kepada Ukraina dalam konflik melawan Rusia.
Analis politik Keith Preston, sebagaimana dikutip kantor berita Rusia Sputnik, menyatakan bahwa keputusan untuk mengundurkan diri dari pencalonan presiden, ujung-ujungnya adalah keputusan pribadi dari sang presiden itu sendiri.
Berbagai keputusan itu, ujar Preston, adalah tergantung, antara lain, dari penilaian kesehatan Biden, kelayakan politiknya, serta percakapan yang dilakukan Biden dengan orang-orang yang dia percayai serta anggota keluarganya.
Apa pun keputusan yang diambil Biden terkait dengan pencalonannya, hal itu pasti ditunggu dunia karena ajang seperti Pilpres AS bakal berdampak besar terhadap beragam aspek dalam kancah perpolitikan global.